Tulisan: "Postmodernisme dari persepektif Materialisme Dialektik"

Kamis, 27 Februari 2014


Sebagai sebuah aliran pemikiran idealis yang cukup dominan di dunia akademis, meskipun belum menjadi ideologi dominan borjuasi, postmodernisme adalah sebuah tantangan. Sebelum menjawab tantangan ini, kita harus memahami terlebih dahulu postmodernisme. Makalah ini mencoba memahami postmodernisme dari asal-usul sejarah masyarakat secara global dan kemudian mengajukan kritik terhadapnya.  


1. Asal Usul Historis Postmodernisme: Ekonomi Politik Internasional dan Pandangan tentang Masyarakat dan Ilmu

Dalam memahami Postmodernisme, kita tidak mungkin hanya mengacu pada substansi pemikirannya, karena kehadiran postmodernisme sejak dasawarsa 1970an sangat terkait dengan kondisi ekonomi politik internasional pasca Perang Dunia II sebagai perang antar negara imperialis. 
Dalam Perang ini, di satu sisi ada negara-negara fasis: Jerman, Italia dan Jepang, sementara di sisi lain ada Sekutu dan negara sosialis baru, yakni Uni Soviet dan satelitnya. Sementara itu, pada dasawarsa 1940an, masyarakat China sendiri masih melancarkan perjuangan kemerdekaan melawan fasisme Jepang dalam koalisi antar partai nasionalis (partai Kuo Min-tang pimpinan Chiang Kai-sek) dan Partai Komunis China. Koalisi ini juga terjalin karena nasehat dan seruan Uni Soviet dibawah pimpinan Stalin. Namun, pembantaian ribuan kaum komunis oleh partai nasionalis China itu adalah pelajaran berarti sehingga Partai Komunis China yang program-programnya secara nyata melawan imperialisme fasis Jepang, mulai melancarkan perang internal terhadap partai nasionalis China itu. Di bawah kepemimpinan Mao, mereka mulai mengadakan long march tentara rakyat dari China Selatan untuk menyerang kekuasaan Kuo Min-tang yang reaksioner terhadap kebangkitan rakyat China melawan imperialisme Jepang.
Jadi, posisi Uni Soviet yang menyarankan koalisi ini menimbulkan bencana bagi perjuangan revolusioner rakyat China melawan imperialisme Jepang. Setelah Stalin digantikan Kruschev, pendirian ini tidak berubah, bahkan setelah Partai Komunis China dibawah pimpinan Mao dan kekuatan revolusioner China melancarkan serangannya terhadap kaum nasionalis Kuo Min-tang sampai mereka mampu mengalahkan partai nasionalis ini dan memproklamasikan negara Republik Rakyat China pada tanggal 1 Oktober 1949.

Setelah Perang Dunia II, ketegangan politik dunia menyangkut: persekutuan Uni Soviet yang mengambil jalan damai dengan kaum imperialis AS dan sekutunya, Revolusi Kebudayaan Rakyat China dan pendirian revolusioner China pada Era Mao (sampai wafatnya tahun 1976) dalam mendukung perjuangan pembebasan nasional dan kekuatan revolusioner melawan kolonialisme Eropa (Prancis, Belanda, Spanyol) di Afrika, Asia dan Amerika Latin.

Oleh karena itu, imperialisme setelah Perang Dunia II mencakup:
  • Hegemoni AS dan Imperialisme di kawasan barat secara ekonomi, politik, keuangan dan militer;
  • Pembenahan blok politik di negara-negara imperialis di Eropa dan Jepang untuk melawan blok Soviet;
  • Meningkatnya biaya negara untuk mengintegrasikan kelas pekerja dalam sistem kapitalis, atau dikenal dengan ‘negara kesejahteraan’, dengan kata lain kapitalisme monopoli negara;
  • Pembengkakan ekonomi militerisasi secara permanen, terutama di AS.
Sementara itu, Neo kolonialisme di negara Dunia Ketiga[1] mencakup:
  • Krisis imperialisme Eropa di negara-negara jajahan, perjuangan kemerdekaan politik dari borjuasi nasional selama dan setelah Perang Dunia II, hubungan partai-partai Stalinis dengan borjuasi nasional, seperti di China dengan Kuomintang, revolusi China dan Vietnam;
  • Penindasan perjuangan rakyat dan menerapkan kembali kekuasaan kolonial (status quo)dibawah kekuasaan militer dari imperialisme AS dan lembaga keuangan internasional;
  • Perkembangan kapitalisme global tergantung pada pemerasan luar biasa dari upah murah, syarat-syarat perdagangan yang berat sebelah dalam pemerintahan diktator yang anti demokrasi dan campur tangan langsung dari negara-negara imperialis;
  • Kekuasaan kapital multinasional dan pembagian kerja internasional yang tidak adil, penghancuran pertanian tradisional dan pengenalan ekspor tunggal dari hasil pertanian.
Posisi Uni Soviet ini sendiri akhirnya menarik dukungan perjuangan revolusioner dari kawasan kolonialisme dan hanya mendukung perang rakyat anti kolonial sebagai diplomasi (bargaining)dengan imperialis AS dan sekutunya. Apalagi, di kawasan Eropa Timur dan Asia Barat, Uni Soviet menegaskan kepemimpinannya dalam blok sosialis, bahkan dengan menindas pemberontakan rakyat di Berlin Timur 1953 dan Hungaria 1956, serta pendudukan militer di Cekoslovakia pada bulan Agustus 1968. Dengan demikian, hanya China pada era Mao yang berdiri pada posisi mendukung perjuangan pembebasan nasional dan kekuatan revolusioner di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Dukungan nyata ini pertama-tama terbukti dalam Perang Korea pada 1950-1953 dan Perang Vietnam. Dukungan terhadap perang ini tidak hanya menjadi pendirian Negara China di bawah pimpinan Partai Komunis China-Mao, namun dari seluruh rakyat, entah sebagai sukarelawan atau aksi-aksi long march besar-besaran di seluruh penjuru China.

Di luar daratan China, RRC pada era Mao juga mendukung perjuangan pembebasan di Afrika termasuk Aljazair sebagai kawasan koloni Prancis seperti halnya Vietnam, perjuangan rakyat Palestina melawan imperialisme AS dan Inggris, dan yang paling penting adalah dukungan terhadap konferensi Asia-Afrika sebagai kekuatan non blok di luar Uni Soviet dan AS-Sekutu. Meskipun demikian, kecuali bantuan militer yang besar dalam perang Korea dan Vietnam, China hanya memberikan bantuan terbatas untuk perjuangan pembebasan nasional di Afrika dan Asia secara umum, dan menekankan ekonomi berdikari serta garis perjuangan massa dalam melawan imperialisme-neo kolonialisme.
Ketegangan internasional ini sesungguhnya ditentukan oleh perebutan kekuatan-kekuatan produksi: antara ekonomi politik independensi-revolusioner dan imperialisme-neo kolonialisme. Posisi pertama tentu saja berbasis sosialisme Marxis dan posisi kedua berbasis liberalisme AS-revisionisme modern Uni Soviet. Inilah sejarah perjuangan kelas global pada dasawarsa 1940an-1960an: antara bangsa-bangsa terjajah dan bangsa-bangsa penjajah serta antara kelas-kelas tertindas dan kelas-kelas yang berkuasa di kawasan Afrika, Asia dan Amerika Latin, jadi antara independensi nasional-sosialis dan imperialisme-neo kolonialisme.
Oleh karena itu, pada dasawarsa 1960an, politik dunia bergolak dalam bentuk aksi-aksi rakyat Amerika Serikat menentang perang Vietnam yang dilancarkan oleh rejim imperialis, perang-perang gerilya di Afrika, pembantaian massal anggota Partai Komunis Indonesia dan simpatisannya serta pelarangan Marxisme secara legal di Indonesia, intervensi militer Uni Soviet di negara-negara satelitnya, pembangunan pangkalan-pangkalan militer AS di kawasan Asia Pasifik dan Timur Tengah, aksi buruh dan student di Prancis dalam menentang rejim negaranya yang menerapkan politik upah murah dan sistem pendidikan yang represif. Peristiwa penting lagi adalah kebangkitan revolusioner yang mengejutkan dari Partai Panther Hitam di jalan-jalan Oakland, California dan ledakan aksi dari lebih seratus kota ketika pemimpin perjuangan masyarakat sipil, Martin Luther King, Jr. dibunuh pada bulan April 1968, yang menandai pemusatan perjuangan melawan supremasi kulit putih dan signifikansi dari kemajuan hak-hak sipil dalam pembebasan kulit hitam.

Lalu dimanakah posisi Prancis sebagai tanah kelahiran postmodernisme? Sejak tahun 1830, Prancis adalah imperium kolonial di kawasan Afrika Utara dan Afrika Barat Aljazair, Tunisia Maroko dan Senegal, Indochina (Vietnam dan Kamboja), Komoro di Madagaskar, Tahiti di kawasan samudera Pasifik, kawasan Karibia, Amerika Latin dan Kanada di Amerika Utara. Perang Dunia I dan krisis ekonomi kapitalis pada tahun 1929-1930, berdampak besar pada negara Prancis serta mendorong Perang Dunia II setelah Revolusi Oktober 1917 di Rusia dan munculnya negara fasis Jerman dan Italia.

Dalam Perang Dunia II, di bawah rejim kolaboratif Vichy Prancis[2], kelompok-kelompok gerilya kecil terbentuk pasca serangan Jerman ke Paris. Kelompok-kelompok ini diorganisasikan dengan baik di kawasan selatan dan menarik dukungan dari pelbagai partai, terutama kaum komunis. Kontak dengan pemerintahan de Gaulle yang menjalankan pemerintahan di London dan perlawanan di Prancis terus meningkat. Secara bertahap, de Gaulle mampu mengontrol perlawanan rakyat Prancis dari luar negeri.

Pada tahun 1943, de Gualle pindah ke Aljazair setelah bertentangan dengan Churchill dan presiden AS, Franklin Roosevelt.  Selama perang berkecamuk melawan pendudukan Jerman, tuntutan tenaga kerja untuk industri perang Jerman semakin besar dari Prancis, sehingga tingkat perlawanan kelas pekerja Prancis semakin meningkat. Selama 1944, rakyat Prancis menunjukkan perlawanan berarti terhadap Jerman. Setelah pasukan Sekutu mendarat di Normandia pada tanggal 6 Juni 1944, Prancis secara bertahap dibebaskan dari pendudukan Jerman. Kaum komunis kemudian berupaya mengambil alih kekuasaan, terutama melalui perlawanannya terhadap Jerman di Paris pada bulan Agustus 1944. Namun, de Gaulle akhirnya mampu mengukuhkan kekuasaannya di seluruh Prancis. Pemerintahan sementara terbentuk di bawah kepemimpinan de Gaulle. Serangan terhadap kolaborator Nazi, pemerintahan Vichy, dilancarkan. Kira-kira 10.000 orang dihukum mati dan 40.000 orang dipenjarakan. Laval diadili dan dihukum mati. Pétain juga diadili dan didakwa hukuman mati, namun diperingan dengan penjara seumur hidup.

Meskipun pemerintahan de Gualle secara umum berhasil mereformasi kapitalisme dan integrasinya dengan pasar bersama Eropa, namun ia kurang berhasil menyelesaikan masalah kolonial. Di Vietnam, gerakan-gerakan perlawanan rakyat dilancarkan pada Jepang yang menduduki Vietnam selama Perang Dunia II. Setelah Perang, gerakan-gerakan ini mengarah pada perlawanan terhadap imperialisme Prancis. Dari tahun 1946 sampai 1954, tentara Prancis berupaya menekan perlawanan rakyat Vietnam di bawah pimpinan Ho Chi Minh dan mengalami kekalahan yang memalukan di Perang Indochina ini. Pemicu perang ini adalah kegagalan Republik Demokratik Vietnam dan Pemerintahan Prancis dalam kesepekatan kompromis tentang kekuasaan Prancis di Vietnam setelah Perang Dunia II. Selama tahun 1950, Partai Komunis China mendukung penuh perjuangan Vietnam, sebaliknya AS mendukung Prancis. Setelah kekalahan ini, Perdana Menteri Prancis, Mendès-France menarik kekuatan militernya dari Vietnam dan menghadapi masalah penyerahan kedaulatan di Maroko dan Tunisia.

Pemerintahan Prancis juga menghadapi kondisi yang lebih sulit di Aljazair dan mayoritas bangsa Aljazair menginginkan kemerdekaan meskipun sekitar satu juta orang Eropa di sana menuntut perlindungan dari kekuasaan Prancis. Perang kemerdekaan pecah pada tahun 1954 di Aljazair dan sejumlah besar pasukan Prancis yang dikirimkan ke Aljazair mulai dikurangi. Dalam perang inilah, China juga mendukung perjuangan rakyat Aljazair dengan melatih para gerilyawan di kamp-kamp militer rahasia. Pendirian ini sangat bertentangan dengan Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) yang menarik campur tangan terhadap perjuangan rakyat di kawasan kolonial berdasar tiga jalan revisionis mereka: hidup berdampingan secara damai dengan imperialisme AS, persaingan damai antara blok kapitalis dan blok sosialis, dan transisi damai menuju sosialisme. Partai Komunis Prancis bahkan berpendirian bahwa Aljazair adalah bagian dari Prancis. Oleh karena itu, China menganggap PKUS dan partai-partai komunis yang berpendirian sama dengannya sebagai “para pembela neokolonialisme.”

Dalam kondisi politik internasional ini, pada bulan Mei 1968, buruh Prancis melancarkan pemogokan terbesar dalam sejarah. Ia dikobarkan oleh krisis politik yang bertolak dari pemberontakan student di Paris. Aksi ini juga berlangsung dengan latar belakang kebangkitan perjuangan kaum perempuan dan kulit hitam di akhir dasawarsa 1960an dan radikalisasi pemuda secara global.

Partai Komunis Prancis dengan salah satu jajaran pemimpinnya adalah Louis Althusser, tidak mendukung gerakan massa ini, karena pendirian mereka yang sama dengan revisionisme modern dari Partai Komunis Uni Soviet. Selain itu, ia adalah bagian dari rejim de Gualle dan meskipun pernah membangun front persatuan rakyat melawan Nazi Jerman pada masa Perang Dunia II, popularitasnya sangat merosot karena pendirian-pendirian yang revisionis dan reaksioner, terutama terhadap perjuangan kemerdekaan Aljazair.

Pada dasawarsa 1960an ini, Marxisme sangat dominan dalam melandasi perjuangan rakyat dunia yang sedang bergolak sampai di Eropa Barat dan Amerika Serikat sebagai kota metropolitan dari imperialisme. Kiblatnya tidak ada lagi kecuali China pada era Mao yang di dalam negeri sendiri juga sedang menghadapi sosok-sosok pimpinan Partai Komunis China yang menempuh jalan kapitalis atau merestorasi kapitalisme seperti Deng Xiaoping dan faksinya. Sampai pada dasawarsa 1970an, tradisi ilmiah di universitas secara global masih sangat kuat dipengaruhi oleh Marxisme. Di atas perang rakyat dan radikalisasi pemuda melawan kapitalisme, imperialisme dan neo kolonialisme inilah, para pemikir postmodernis seperti Foucault, Derrida, Lyotard and Baudrillard melancarkan serangan pemikiran terhadap Marxisme. Di samping mereka, kesimpulan yang sama dicapai dari sudut pandang berbeda, yakni pendirian “neo-skeptis” dari filsafat modern Amerika: Quine, Rorty, De Man and Stanley Fish. Karya para filosof Amerika ini pun secara khusus mengajukan kritik terhadap Marxisme.

Dalam menanggapi gerakan massa pada bulan Mei 1968, psikolog postmodernis, Deleuze dan Guattari berpendapat bahwa Mei 1968 adalah molekul… tidak bisa direduksi pada wilayah kelas. Letusan perjuangan kelas pekerja setelah kekalahan tiga dasawarsa di Eropa Barat, sepenuhnya diabaikan oleh analisa postmodernis tentang aksi Mei 1968. Analisa postmodernis lainnya mengungkapkan, “Paris sedang bergolak. 10 juta rakyat Prancis turun aksi. Long March damai ini kemudian menjadi perang: barikade, pembakaran mobil dan pelemparan bom molotov. Bahkan fakultas Baudrillard dikacaukan selama dua bulan. Siapa yang bertanggung jawab? Mereka adalah student yang dikenal dengan Enragés (kaum maniak) dan beberapa diantaranya adalah murid Baudrillard. Namun mereka diilhami oleh Situasionis Internasional. Revolusi ini gagal. Beberapa sejarahwan menganggapnya kadaluwarsa karena student memasuki libur musim panas.”[3]

Faktanya, 10 juta demonstran adalah buruh. Sementara mayoritas student radikal bukan mendapat ilham dari Situasionis Internasional, namun dari Leninisme, Trotskyisme dan Maoisme, jadi secara umum Marxisme. Revolusi May 1968 gagal karena kekuasaan Partai Komunis Prancis yang Stalinis-revisionis, melumpuhkan buruh dan memisahkan mereka dari pemberontakan student.

Lalu apa isi pandangan para pemikir postmodernis tentang masyarakat dan ilmu? Selama satu dasawarsa, mayoritas intelektual Prancis mengabaikan Marxisme dan secara terbuka memeluk kapitalisme Prancis. Mereka yang masih ingin mempertahankan pendirian kritis terhadap kapitalisme tanpa Marxisme harus mengembangkan strukturalisme dalam ortodoksi anti rasional. Sebastiano Timpanaro[4] menjabarkan peran penting Louis Althusser yang memadukan Marxisme dengan strukturalisme dalam mengendapkan transisi serangan terhadap Marxisme.

Frederick Jameson kemudian memaparkan kondisi postmodern ini sebagai berikut: “Berapa tahun terakhir ditandai dengan pandangan masa depan yang terbalik… matinya ideologi, seni atau kelas sosial, ‘krisis’ Leninisme, demokrasi sosial atau negara kesejahteraan, dsb). Semua ini adalah tanda dari apa yang disebut postmodernisme.”[5] Jameson kemudian mengunngkapkan kondisi masyarakat pasca industri, teori chaos dalam ilmu pengetahuan dan tentu saja “berakhirnya sejarah“. Sebagai serangan pada apa yang disebut narasi agung Marxisme, kritik postmodernisme bisa diabstraksikan sebagai berikut:
  • tidak ada kebenaran obyektif yang bisa dipahami pemikiran ilmiah;
  • tidak ada subyek manusia yang bebas, individu hanya hasil hubungan dengan pengaruh luar dan unsur-unsur determinan;
  • bahasa tidak merepresentasikan realitas, karena itu konsep ideologi sebagai kesadaran palsu tidak bermakna;
  • kemajuan dan keharusan sejarah tidak bermakna: formasi sosial dalam sejarah, sosiologi dan antropologi harus dipetakan, bukan dinilai dan dikategorisasi;
  • gerakan sosial atau masyarakat yang didasari kemungkinan pengetahuan ilmiah dan kebenaran obyektif bersandar pada “narasi agung” ketimbang logika internal yang mengesahkan eksistensinya; semua “meta-narasi” ini hanya mengesahkan penindasan;
  • perjuangan kelas dan sosialisme adalah contoh dari meta-narasi ini dan sudah ketinggalan zaman dalam dunia modern;
  • perlawanan terhadap penindasan yang tidak beralih pada penindasan lainnya adalah perlawanan terbatas, bersifat lokal dan kecil, seperti tertuang dalam analisa gerakan sosial baru. Bentuk perlawanan yang pokok adalah mengubah diri kita sendiri, mengolah kehidupan kita dalam “karya seni”.
Seni modern sendiri membantu mendefinisikan aspek penting dari ideologi borjuasi pada tahap imperialisme. Lapisan kecil dari borjuasi mampu mendorong dinamisme dari sistem mereka dan liberalisme ekonomi politik mereka melalui kreativitas seni progresif. Setelah 1945, imperialisme mengalami “masa kejayaan”. Pengukuhan imperlisme AS yang mencakup CIA, secara aktif mengajukan modernisme pasca Perang Dunia II dengan hiasan perkembangan teknologi progresif. Namun ledakan kapitalisme sejak eksplorasi minyak bumi dan pengembangan mekanika modern ini tetap mengalami krisis silih berganti per dasawarsa, yakni gelembung keuangan dalam lembaga-lembaga kapitalis perbankan dan pasar saham. Selain itu, ketika modernisme diterapkan secara fungsional, terutama dalam arsitektur, keyakinannya ditekukkan ketika kota-kota pencakar langit berubah menjadi perkampungan kaum miskin kota dan beberapa bangunannya dihancurkan. Namun pada umumnya, kapitalisme tetap mengesahkan seni dan ilmu yang mengabaikan manusia, tidak mengulas penderitaan yang dialami manusia dalam kapitalisme. Kapitalisme dengan seni modernnya bertahan secara dingin di atas ironi ini dan pertanyaan serius manapun.

Meskipun demikian, perubahan ideologi yang mendasar adalah krisis kepercayaan pada konsep kemajuan kapitalisme itu sendiri dan postmodernisme adalah salah satu hasilnya. Unsur irasional dari pemikiran borjuasi ini menantang dominasinya karena peristiwa penting selama tiga dasawarsa sebelum tahun abad ke 21: berakhirnya ledakan ekonomi pasca Perang Dunia; kekalahan perjuangan kelas pekerja dan runtuhnya Uni Soviet yang revisionis.
Oleh karena itu, beberapa pemikir postmodernis seperti Derrida, berkecil hati terhadap dunia yang tak berpengharapan ini dan menyerukan kembali pada Marxisme sebagai teori radikal. Yang lainnya seperti Rorty secara bersemangat memeluk realitas reaksioner baru yang mendesak kita untuk menerima Amerika modern sebagai teladan dari bentuk masyarakat terbaik,[6] dan mengungkapkan harapan bahwa Amerika akan terus memberi contoh toleransi dan persamaan. Dengan demikian, kita mendengar nada tentang “krisis postmodernisme”. Dalam hal ini, Jean Baudrillard mengungkapkan kepada para pengikutnya tentang kegagalan postmodernisme sebagai pandangan dunia: Postmodernisme adalah kemunduran. Ia adalah tahap paling merosot, artifisial dan ekletik. Ia tak bermakna. Kita mustahil mendefinisikan apa yang sedang terjadi saat ini. Ada kekosongan dari apa yang saya analisa.[7]

2. Kritik atas Postmodernisme: Idealisme versus Materialisme Dialektik
Lantaran fosil-fosil postmodernisme masih menarik perhatian, diangkat dan dibicarakan di dunia akademis sebagai tempat student mencari pengetahuan ilmiah, maka kritik-kritik terhadap postmodernisme harus diungkapkan. Kritik ini sepenuhnya bertolak dari materialisme historis dan dialektika karena postmodernisme sendiri menyerang secara kritis dasar-dasar sosialisme ilmiah ini. Metode ini juga bertujuan memahami secara jelas apa itu sosialisme ilmiah karena kritik postmodernisme sering kali mengaburkan pandangan sosialisme ilmiah di khalayak pembacanya atau dengan sengaja mengabaikan konsep-konsep dasarnya.

Seperti diabstrasikan sebelumnya, salah satu dasar kritik postmodernisme terhadap Marxisme adalah penolakannya atas kemampuan bahasa dalam merepresentasikan realitas. Para pemikir postmodernis menemukan metodenya dalam kritik atas “strukturalisme” dari ahli bahasa Ferdinand de Saussure. Saussure berupaya memahami struktur bahasa dengan mengungkap hubungan antara dunia dan pikiran yang menandainya. Dia mengungkap otonomi relatif dari struktur bahasa dari dunia yang dibahasnya, karena sifat bahasa yang arbiter.

Oleh karena itu, semua “teks” terbentuk dari metafor atau alat linguistik lainnya yang menyembunyikan makna sebenarnya. Tugas pemikir kritis adalah membongkar teks ini dan mengungkap makna internalnya melalui “pembacaan tertutup”. Seperti dokter ahli jiwa yang memeriksa kejangan pasien untuk mengungkap sebab mendasar dari penyakitnya, Derrida memandang “teks marjinal” sebagai titik pijak penting untuk kritik terhadap serangkaian ide. Derrida memberikan ulasan literal terhadap pelbagai aspek budaya Barat. Dia tidak meletakkan kebenaran absolute yang disembunyikan oleh bahasa. Seperti semua pemikir postmodernis, ia menolak konsep ideologi.

Bilamana Derrida mengingkari bahwa ada dunia yang bisa diketahui di balik teks, maka Foucault melihat sebuah refleksi hubungan kekuasaan dari masyarakat dalam makna-makna tersembunyi yang diungkap melalui dekonstruksi. Para pemikir postmodernis berpendapat bahwa setiap meta wacana atau meta narasi akan melegitimasi kekuasaan dan penindasan politiknya. Rasionalitas Pencerahan (Englightment) mengungkapkan sejumlah meta wacana ini: liberalisme, Marxisme, fasisme, filsafat Hegelian, Darwinisme Sosial, dsb. Menurut mereka, tugas intelektual adalah mengkritik rasionalitas itu sendiri sehingga pelanggaran kekuasaan tidak terulang.

Postmodernisme pada dasarnya memandang masalah “kekuasaan” (power) sebagai penindasan sosial yang merujuk pada pemikiran Nietzsche. Dia memandang bahwa perjuangan kelas hanyalah salah satu ekpresi dari perjuangan yang lebih mendasar di dalam masyarakat, yakni “will to power”. Foucault menolak untuk memberikan penilaian antara represi dan kekuasaan yang dilawan oleh gerakan sosial. Dia menolak menulis “sejarah” dan lebih memilih “geneologi”, misalnya kemajuan yang tidak mendorong kemajuan, hukum atau keharusan.

Namun, di dalam perspektif postmodernisme, ada kesepakatan umum, yakni kritik terhadap Marxisme. Secara mendasar, para pemikir postmodernis menolak kemungkinan mengetahui dunia obyektif. Ketika mereka memahami dunia sosial, semua menolak historisitasnya.

Setelah mengetahui substansi pemikiran postmodernis ini, kritik bisa dikemukakan dari materialisme dialektik. Materialisme dialektik sesungguhnya tidak bertolak dari filsafat pemikiran itu sendiri, tapi dari perkembangan ilmu alam dan sejarah masyarakat. Menurut Marx, Hegel adalah pemikir pertama yang mengungkap signifikansi dialektika sebagai sistem pemikiran dalam memahami realitas sosial dan alam. Namun, dialektika Hegel mengacu pada pikiran atau ide dari manusia abstrak. Dalam hal ini, Marx menegaskan bahwa dialektika itu sesungguhnya terdapat di dalam sejarah masyarakat dan alam, sementara dialektika pikiran itu sendiri adalah refleksi dari dialektika realitas itu sendiri. Lantaran Hegel tidak beralih dari bidang ide dan hanya memandang sejarah masyarakat sebagai realitas yang tak beraturan (chaos), maka dia merefleksikan bahwa sejarah masyarakat ini sesungguhnya adalah dialektika ide: tesis—anti tesis, sebagai perkembangan diri dari ide absolut. Dengan demikian, Hegel tidak pernah memikirkan hukum-hukum internal dari sejarah masyarakat itu, tapi menyelesaikannya sebagai perkembangan ide absolut.

Dengan mengakui dialektika dalam sejarah masyarakat dan alam, maka Marx mencoba mengungkap konsep-konsep materialis tentang sejarah sebagai kritik terhadap filsafat Hegelian dan kritik atas materialisme Feuerbach yang masih mengabstraksi manusia sebagai sosok individual. Materialisme historis inilah titik pembeda pendirian Marx dan Engels dengan idealisme Jerman dan idealisme secara umum.

Saya sudah mengungkapkan kritik panjang lebar di dalam buku saya (Materialisme Historis: Ilmu Sejarah Masyarakat) tentang persoalan pokok dalam postmodernisme, seperti idealisme-skeptis Kantian yang ada didalamnya: das ding an sich, bahwa benda dan hal ihwal tidak bisa diketahui secara obyektif, dan masalah skriptualisme: memahami realitas dari teks saja dan sebagai masalah bahasa dalam linguistik dan semiotika. Dalam idealisme-skeptis Kantian, subyek tak mungkin memahami obyek, namun Hegel kemudian menentangnya bahwa subyek bisa mengetahui obyek sesuai dengan perkembangan pemikirannya. Marx kemudian mengambil analogi tentang hakekat air sungai. Hakekat air sungai adalah kondisinya yang nyata dalam perjalanan waktu, dulu air sungai di Rhineland jernih dan masih liar, namun kemudian tercemar limbah pabrik setelah industrialisasi di Jerman.

Dalam makalah ini, saya hanya mengungkap kritik lebih lanjut tentang skeptisisme terhadap realitas obyektif, misalnya hukum gerak yang nyata dan sudah ditemukan. Jutaan orang di dunia ini bepergian dengan pesawat udara. Pesawat ini digerakkan oleh mesin yang didasari hukum aerodinamika yang melawan gravitasi. Ilmu ini telah mengungkap hukum alam yang obyektif. Namun, para pemikir postmodernis yang tidak percaya pada kebenaran obyektif dan menganggap hukum-hukum ini hanya sebagai metafor yang tidak mengacu pada realitas sebenarnya, mungkin bisa berpikir bahwa metafor yang sama bisa didapatkan dalam puisi tentang bidadari yang terbang ke bulan. Akan tetapi, mereka hanya bisa terbang ke Amerika Serikat dengan menggunakan pesawat udara, bukan dengan impian tentang sayap bidadari itu.

Materialisme dialektik menentang skeptisisme terhadap fakta sejarah yang menunjukkan bahwa manusia sudah menguasai hukum alam dengan pengetahuan yang lebih akurat. Kemajuan kekuatan produksi dari zaman primitif sampai masyarakat sipil modern, berlangsung karena interaksi pikiran manusia, kesadaran dan dunia obyektif. Jika dunia obyektif ini tak bisa diketahui melalui panca indera yang berpusat di otak, maka kemajuan ini tidak akan pernah tercapai. Namun, sebelum penolakan postmodernis terhadap kebenaran obyektif ini, Althusser sudah mengkritik ilmu pengetahuan (science) yang menjadi pelayan dunia nyata. Ilmu harus dipisahkan dari bidang praktek sosial. Jika dunia nyata bukan titik pijak yang sah untuk menciptakan pengetahuan teoritis, kemudian apa itu ilmu? Menurut Althusser, ilmu hanyalah soal membaca (reading) dari ilmuwan yang dingin, jadi dalam ruang idealisme.


Althusser kemudian menyusun trik penting bagi seorang Marxis dalam memisahkan teori dari dunia nyata dan tidak memberikan panduan apapun tentang bagaimana teori diterapkan dalam praktek di dunia ini agar bisa mengubahnya. Akhirnya, dia kembali pada idealisme rasionalis yang memandang kebenaran sebagai serangkaian logika internal yang koheren di dalam praktek. Menurut Lacan, Althusser meminjam ide bahwa dunia nyata tidak bisa diketahui secara sadar sehingga orang terjerat dalam pemahaman imajinatif tentang dunia dan kedudukan mereka di dalamnya.

Althusser sesungguhnya mencoba mencari materialisme historis non-Stalinis dengan menolak Hegel. Tidak seperti Marx, dia sesungguhnya tidak menolak idealisme Hegel, namun hanya menolak sejarah komprehensif dan sistemik dari Hegel. Dia akhirnya menghancurkan koherensi Marxisme: konsep materialis yang mendasar bahwa manusia yang sadar adalah sosok aktif dari perubahan sosial. Menurut hemat saya, pandangan Althusser memang a-historis dan kembali juga pada skriptualisme sebagai praktek ilmiah yang absolut, karena dia hanya mengusulkan pembacaan atas teks Marx, dan teks apapun sebenarnya. Pada titik ini, dia sesungguhnya pemikir transisional dari postmodernisme.

Akhirnya dari dua point kajian ini, saya menyimpulkan bahwa postmodernisme adalah perangkat ideologis dari seksi borjuis kecil Prancis, atau kreasi kapitalisme Prancis untuk melawan kebangkitan perjuangan kelas pekerja yang diminati kaum muda radikal dan berbasis pada “ilmu sosial klasik”: Marxisme. Selain itu, ia adalah pengingkaran dari elit Partai Komunis Prancis sendiri atas konsep-konsep dan pendirian revolusioner dalam Marxisme. Dalam siklus krisis kapitalisme, ia menjadi penghibur bagi kelas menengah: intelektual yang pro kapitalisme dan imperialisme dan mengabaikan bencana sosial dan dampak lingkungan dari krisis ini. Jadi, ia bisa menjadi alibi intelektual di tengah penindasan struktural kapitalisme.

Mengingat bukti sejarah bahwa Sosialisme Ilmiah telah memandu revolusi sosial dan pembebasan kelas-kelas tertindas di kawasan Asia dan Amerika Latin serta Afrika, maka gerakan sosial di dunia ketiga dalam kondisi ekonomi-politik dan ilmu pengetahuan yang tak imbang dengan negara-negara imperialis, berkepentingan untuk bersandar kembali pada dialektika dan materialisme historis. Selama gerakan sosial masih terperangkap dalam idealisme, maka ia tidak akan pernah bisa memahami kondisi masyarakatnya dan konsekwensinya tidak pernah mampu mengajukan solusi bagi perjuangan revolusioner melawan kapitalisme dan imperialisme. Perangkap inilah yang secara tersembunyi dipasok dalam kesadaran ilmiah dengan mengingkari perspektif perjuangan kelas dalam sejarah masyarakat. Borjuasi dan kelas menengah di negara-negara imperialis tentu akan ketakutan melihat kebangkitan revolusioner dari masyarakat dunia ketiga, karena ini berarti menghapuskan pengerukan sumber alam dan tenaga kerja dunia ketiga. Pendek kata, materialisme historis dan dialektika alam adalah ilmu yang bermanfaat bagi pembebasan manusia dalam kontradiksi internal dan eksternalnya. Ilmu sejarah manusia dan alam ini adalah resolusi konflik antara manusia dan alam serta antara sesama manusia–resolusi yang sejati dari perpecahan antara eksistensi dan hakekat kehidupan, antara obyektifikasi dan konfirmasi diri, antara kebebasan dan keharusan, antara individu dan spesies.

[1] Istilah Dunia Ketiga ini pertama digunakan oleh Frantz Fanon, seorang ahli psikologi dan politisi keturunan Prancis. Dia mengkajinya dalam konteks Perang Dingin, yakni pertikaian dua blok: blok Dunia Pertama dipimpin AS, dan blok Dunia Kedua dipimpin Uni Soviet Rusia. Dalam dua blok ini, Negara Ketiga mencakup negara-negara yang kurang berkembang secara ekonomi dan teknologi. Negara-negara Dunia Ketiga ini terletak di Amerika Latin, Afrika dan Asia. Secara politik, mereka pada umumnya tidak bersekutu dengan kedua blok. Beberapa negara kemudian segera mencapai tingkat negara-negara industri baru, namun yang lain tetap tak mampu berkembang menjadi negara industri maju. Republik Rakyat China sendiri mengambil langkah restorasi kapitalisme setelah kematian Mao Zedong pada tahun 1976.

[2] Vichy adalah kota besar di Prancis Tengah. Setelah Prancis dikalahkan Jerman pada tahun 1940, selama Perang Dunia II, Vichy menjadi wilayah pemerintahan Prancis yang berkolaborasi dengan Jerman di bawah pimpinan Marshal Henri Pétain dan wakilnya Pierre Laval. Rejim Vichy adalah pemerintahan fasis yang bersekutu erat dengan Jerman, namun menjalankan kekuasaan di kawasan Prancis yang tidak diduduki Jerman dan kawasan kolonial sampai akhir tahun 1942, ketika Jerman menduduki semua kota metropolitan Prancis.

[3] C. Horrocks and Z Jevtic, Baudrillard for Beginners, Cambridge, 1996.

[4] S. Timpanaro, On Materialism, London 1975. Lihat juga S. Clegg “The remains of Louis Althusser”,International Socialism, No 53, London, 1991.

[5] F. Jameson, Postmodernism or the Cultural Logic of Late Capitalism, London, 1991.

[6] Bandingkan, R.Rorty, Contingency, Irony and Solidarity, Cambridge, 1989.

[7] Dikutip dalam C. Horrocks and Z Jervin, op cit.

OLEH : HIDAYAT PURNAMA

sumber utama: fmdmakassar.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar, mengkritik, di kolum dibawah dengan komentar-komentar serrta kritikan yang ilmiah. study, organisasi, dan revolusi. salam muda kerakyatan, salam sosialisme