Negara dan Penindasan Terahadap Perempuan

Kamis, 13 Februari 2014

Catatan ringkas ini tidak akan menjelaskan panjang lebar soal teori-teori negara, namun hanya menunjukkan bentuk aktual dari negara yang menindas perempuan. Soal negara sendiri bukan hal yang agung, tapi menyangkut sejarah masyarakat dimana asal usul negara bisa diketahui, apalagi menyangkut wilayah tertentu. Dalam sejarah ini, kita mengetahui munculnya keluarga patriarhhal sebagai transisi dari keluarga kekerabatan klasik menuju keluarga monogami modern.



Apa yang perlu digarisbawahi dari munculnya keluarga patriarkhal sebagai sejarah kekalahan perempuan bukan hanya suatu ‘revolusi’ dalam tatanan masyarakat, tetapi salah satu pengalaman yang sangat menentukan dalam sejarah kemanusiaan. Perubahan mendasar bisa terjadi tanpa menghancurkan salah satu anggota masyarakat (kaum lelaki). Karena industri besar telah memindahkan perempuan dari rumah ke pasar kerja dan pabrik sehinga perempuan menjadi pemberi nafkah keluarga, maka sisa-sisa terakhir dari dominasi laki-laki dalam rumah tangga kelas pekerja sudah kehilangan semua dasarnya, kecuali mungkin tinggal brutalitas terhadap perempuan yang masih terikat kuat pada stabilitas keluarga monogamy ala borjuasi. Jadi, keluarga kelas pekerja tidak lagi merupakan monogami dalam pengertian ketat, bahkan dalam soal gairah cinta dan ikatan cinta kasih yang sangat kuat dari kedua belah pihak. Perempuan sekarang sudah menyadari hak cerai dan ketika lelaki dan perempuan tidak bisa hidup bersama lagi, mereka pun bercerai.

Namun, kendala pembebasan perempuan ini tetap menyangkut organisasi reproduksi dari keluarga individual, jadi juga menyangkut pertumbuhan populasi dalam masyarakat. Ketika perempuan pekerja memenuhi kewajibannya sebagai pelayan pribadi keluarga, dia disisihkan dari produksi publik dan tidak bisa mendapatkan penghasilan lagi. Sebaliknya, ketika dia ingin mengambil bagian dalam industri publik dan mendapatkan penghasilan secara independen untuk hidupnya, dia tidak bisa memenuhi kewajiban-kewajibannya. Keluarga monogami dalam rumah tangga kelas pekerja perempuan sesungguhnya rapuh, oleh karena itu, premis awal dari emansipasi perempuan adalah keterlibatan kembali seluruh perempuan dalam industri publik sehingga kualitas yang ada dalam keluarga individual sebagai unit ekonomi masyarakat bisa dihapuskan. Dengan mengalihkan sarana-sarana produksi pada pemilikan umum, maka keluarga individual akan berhenti menjadi satuan ekonomi masyarakat. Urusan rumah tangga kemudian ditranformasi menjadi industri sosial dan pemeliharaan serta pendidikan anak-anak menjadi masalah publik.

Sementara itu, setelah penghapusan keluarga di antara kelas pekerja pada tahap awal dari revolusi industri, kapitalisme berupaya menerapkan bentuk keluarga borjuis pada paruh kedua abad ke 19 sebagai cara satu-satunya untuk meyakinkan generasi pekerja masa depan. Oleh karena itu, hukum sipil dan khutbah keagamaan gencar membatasi keterlibatan perempuan dalam kerja industrial. Namun, sejak Perang Dunia II, gerak akumulasi kapital yang tanpa kenal kasihan sudah menghancurkan hambatan-hambatan ini, sehingga bahkan di negara-negara yang didominasi oleh moral Khatolik atau hukum Islam, jumlah perempuan yang bekerja meningkat tajam, sementara di Inggris, mayoritas perempuan sudah bekerja.

Akan tetapi, reproduksi tetap diprivatisasi, meskipun negara mempunyai peran yang lebih besar dalam pelayanan sosial dan pendidikan pada era negara kesejahteraan diterapkan. Banyak perempuan mendapatkan penghasilan dan berharap hidup secara bebas, namun mereka tetap harus kembali memelihara anak dalam batas-batas keluarga monogami. Di luar kondisi ini berkembang perlawanan di antara baik kaum perempuan maupun laki-laki terhadap kondisi-kondisi historis dari masa silam: gaji rendah, diskriminasi seksual, komoditas tubuh perempuan, kekerasan dalam keluarga, kekecewaan dan sesal atas perkawinan yang hancur. Hanya saja perlu dicatat bahwa di satu sisi, emansipasi perempuan saat ini cenderung menjadi wacana dan tuntutan perempuan “kelas menengah” keatas karena kekuasaan politik dan sistem kekerabatan patriarkhi (termasuk kasus perceraian) yang membatasi peran kaum perempuan ini, di sisi lain, kaum perempuan dari kelas-kelas tertindas dan tersisih dari ekonomi formal kapital, bekerja dalam rumah tangga kelas borjuis dalam mengasuh anak atau urusan rumah tangga. Karena itu, masalahnya penindasan perempuan sesungguhnya tidak terkait dengan masalah gender, tapi pembagian kerja dalam tatanan masyarakat borjuis. Bahkan pelacuran maupun bentuk-bentuk eksploitasi seks lainnya juga berlangsung dalam konteks kehidupan kelas menengah ini. Jadi, emansipasi perempuan sesungguhnya tetap berkaitan dengan kondisi-kondisi kelas dalam sejarah masyarakat, bukan konsepsi ideal dan liberal. Hanya saja, perlawanan-perlawanan yang berlangsung dari semua kelas tertindas dalam menuntut kehidupan lebih baik bertentangan dengan tatanan masyarakat borjuis yang justru membunuh harapan ini.

Inilah kontradiksi-kontradiksi dalam upaya pembebasan perempuan dalam tatanan masyarakat borjuis. Kontradiksi-kontradiksi ini pada akhirnya mengarah pada perjuangan kelas pekerja melawan kelas borjuasi dan negara yang mengesahkan dan melembagakan pemilikan individual atas kekuatan-kekuatan produksi, karena disanalah kontradiksi pokok yang menyebabkan penindasan terhadap perempuan sebagai bagian kelas tertindas yang sama dengan laki-laki pekerja.
 
Ditulis Oleh: Hidayat Purnama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar, mengkritik, di kolum dibawah dengan komentar-komentar serrta kritikan yang ilmiah. study, organisasi, dan revolusi. salam muda kerakyatan, salam sosialisme