Pencabutan Subsidi adalah Kebijakan Ekonomi Neo-Liberalisme, Bukan Kebijakan untuk Rakyat

Rabu, 19 November 2014

KEBIJAKAN NEOLIBERALISME

Neoliberalisme bertujuan pada kekuasaan pasar, dengan mengurangi intervensi Negara dalam hal gerak ekonomi, intervensi Negara dalam bidang ekonomi seperti pemberian subsidi kepada rakyatnya, nasionalisasi perusahaan sebagai sumber pendapatan Negara kini, harus lepas dalam ekonomi neoliberalisme, subsidi harus di cabut dan sampai pada privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi milik individu, Negara dilarang terlibat penuh atau ikut campur dalam gerak ekonomi. Seperti pada contoh kasus upah pekerja, dalam pemahaman neoliberalisme pemerintah tidak berhak ikut campur dalam penentuan gaji pekerja atau dalam masalah-masalah tenaga kerja sepenuhnya ini urusan antara si pengusaha pemilik modal dan si pekerja. Pendorong utama kembalinya kekuatan kekuasaan pasar adalah privatisasi aktivitas-aktivitas ekonomi, terlebih pada usaha-usaha industri yang dimiliki dan dikelola pemerintah.

Penerapan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara mencolok dimotori oleh Inggris melalui pelaksanaan privatisasi seluruh BUMN mereka. Penyebarluasan agenda-agenda ekonomi neoliberal ke seluruh penjuru dunia, menemukan momentum setelah dialaminya krisis moneter oleh beberapa Negara Amerika Latin pada penghujung 1980an. Sebagaimana dikemukakan Stiglitz, dalam rangka menanggulangi krisis moneter yang dialami oleh beberapa negara Amerika Latin, bekerja sama dengan Departemen keuangan AS dan Bank Dunia, IMF sepakat meluncurkan sebuah paket kebijakan ekonomi yang dikenal sebagai paket kebijakan Konsensus Washington.

Agenda pokok paket kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program penyesuaian struktural IMF tersebut dalam garis besarnya meliputi: (1) pelaksanan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuknya, (2) pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan, (3) pelaksanaan liberalisasi sektor perdagangan, dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN.

Kritik terhadap neoliberalisme terutama sekali berkaitan dengan negara-negara berkembang yang aset-asetnya telah dimiliki oleh pihak asing. Negara-negara berkembang yang institusi ekonomi dan politiknya belum terbangun tetapi telah dikuras sebagai akibat tidak terlindungi dari arus deras perdagangan dan modal. Bahkan dalam gerakan neoliberal sendiri terdapat kritik terhadap banyaknya negara maju telah menuntut negara lain untuk meliberalisasi pasar mereka bagi barang-barang hasil industri mereka, sementara mereka sendiri melakukan proteksi terhadap pasar pertanian domestik mereka.

KEBIJAKAN EKONOMI NEOLIBERALISME DI INDONESIA

Di Indonesia, walaupun sebenarnya pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal telah dimulai sejak pertengahan 1980-an, antara lain melalui paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, pelaksanaannya secara massif menemukan momentumnya setelah Indonesia dilanda krisis moneter pada pertengahan 1997. Menyusul kemerosotan nilai rupiah, Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui penanda-tanganan Letter of Intent (LOI), yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk Bahan Bakar Minyak, yang sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell. Begitu juga dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom, BNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang.( www.id.wikipedia.org)

Tahun 2015 pasar bebas Indonesia didepan mata, segala kebijakan mengarah pada keleluasaan investor besar dunia memainkan peran di Negara ini, perluasan pasar dari hasil produksi korporasi telah terbuka sebebas-bebasnya di negri ini, bahkan sampai pada kebebasan korporasi besar menguras sumber daya alam Indonesia melalui proyek Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang mulai dari tahun 2011-2025 nantinya.     

Lewat pemetaan Sumber Daya Alam di berbagai lokasi di Indonesia, pemerintah telah menetapkan enam Koridor Ekonomi (KE). Sumatera menjadi KE sentra produksi dan pengolahan hasil bumi. Jawa harus mendorong industri dan jasa nasional. Pusat produksi hasil tambang dan lumbung energi bertempat di Kalimantan. Produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, migas dan pertambangan nasional berada di Sulawesi. Bidang pariwisata, peternakan dan perikanan ditetapkan di Bali-Nusa Tenggara. Lalu, koridor Papua-kepulauan Maluku adalah lahan pangembangan pangan, peternakan dan perikanan.

Pada lain pihak, investor telah menyiapkan ancang-ancang. Sejumlah usulan diajukan untuk mempermudah perampokan hasil alam di berbagai daerah.  Mereka menilai, perlunya revisi terhadap beberapa peraturan perundangan, seperti: UU Ketenagakerjaan, UU Pembebasan Lahan untuk Infrastruktur, UU Tata Ruang, UU Kehutanan serta UU Pertambangan.

Perencenaan yang sempurna dari rezim SBY untuk para penganut ekonomi neoliberalisme beserta Negara imperialis untuk merampok habis sumber kekayaan alam negeri ini, dilanjutkan oleh rezim hari ini berkuasa Jokowi yang begitu siap menyambung proyek neolib dari rezim penguasa sebelumnya.   
PENCABUTAN SUBSIDI DAN DEREGULASI SEBAGAI KEBIJAKAN EKONOMI POLITIK NEOLIBERALISME

Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) naik lagi, yah.., naik lagi, dan ini merupakan yang kedelapan kalinya BBM dan pencabutan subsidi di bidang energy dicabut, setelah keruntuhan rezim otoriter soeharto, dan sebagai rezim neoliberal sekaligus komperador pertama membuka kerang ekonomi neoliberalisme dinegri ini melaui LOI (Letter of Inten) dan GATs (General Agreement Trade Service). Ini adalah awal dimana negri ini mampu dikontrol, baik secara poltik maupun ekonomi oleh sistem kapitalisme global. Negeri  yang dulunya syarat akan perlawanan imperialisme kini berkiblat pada Negara-negara imperialis.

Rezim jokowi-JK yang pernah diwanti-wanti menjadi pemimpin alternative di balik carut-marutnya system ekonomi Indonesia yang tengah dilanda berbagai persoalan baik secara internal maupun eksternal, dengan kondisi yang tak terkendali dan berdampak sistemik ini, Indonesia memilih jalan ngutang sana-sini untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia, jokowi-JK tak memiliki cara apapun sebagai borjuasi nasional yang lemah untuk keluar dari problem ekonomi politik ini kecuali mengambil jalan mencabut subsidi rakyat yang dianggap membebani APBN Negara menjadi jalan keluar, lagi-lagi rakyat menjadi korban dari kerakusan kapitalisme global.

Syarat mutlak dari ekonomi neoliberalisme ini, selain privatisasi perusahan-perusahan Negara, juga mencabut subsidi publik yang dianggap tidak menguntungkan itu. Jadi, pencabutan subsidi, bukan keinginan rakyat, akan tetapi keinginan para Negara imperialis untuk mengakumulasi modal dari Negara-negara jajahan seperti Indonesia. Dan ini sangat bertentangan dengan UUD 1945 dimana air, bumi dan segala isi yang menyangkut hajat hidup orang banyak semuanya dimiliki oleh Negara, namun Kini konstitusi Negara hanya menjadi pajangan semata, dan tak memiliki kekuatan apapun.

Ada beberapa regulasi yang mendorong terjadinya pencabutan subsidi untuk rakyat Indonesia seperti; Pencabutan subsidi disektor pendidikan dengan ditopang dengan regulasi seperti Undang-Undang no. 12 Pendidikan Tinggi(UU PT) tahun 2012, pencabutan subsidi sektor MIGAS ditopang dengan regulasi seperti UU No 22 tahun 2001 tentang MIGAS, dan beberapa peraturan pemerintah, UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang di proyeksikan pembangunan ekonomi indonesia mulai 2011 sampai 2025, dan masih banyak lainnya. Deregulasi juga sebagai syarat mutlak dalam ekonomi neoliberalisme yang telah dianut penguasa negeri ini telah membuat undang-undang dan berbagai peraturan lainnya yang sesuai dengan keinginan investor.

Selain investor ini, memakai uang Negara dalam menyelamatkan krisis kapitalisme,  juga memakai Negara sebagai pembuat peraturan perundang-undangan untuk melegalkan penjajahan di negeri ini. seperti pada tahun 2012 kemarin, Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) telah berhasil mengganti 17 peraturan yang dinilai menghambat laju pembangunan. Sejumlah peraturan dimaksud, terkait permasalahan agraria, penanaman modal, pertambangan hingga industri. (readersblog.mongabay.co.id)

Sebenarnya, subsidi untuk rakyat teutama subsidi BBM sudah lama dicabut oleh pemerintah sebelumnya, seperti yang dikatakan oleh salah satu fundamentalis neo-liberal Indonesia yang selalu bersikeras menaikkan harga BBM dengan alasan "mengurangi beban subsidi BBM", mengakui bahwa tidak ada subsidi dalam BBM. "Masih ada surplus penerimaan BBM dibanding biaya yang dikeluarkan," begitulah kata Anggito Abimayu dalam talkshow di tvone hari senin (13/3)(forum.detik.com). Sehingga subsidi BBM bagaimanapun, harus dicabut. Nah, dengan pencabutan subsidi BBM yang dijadikan alasan oleh rezim jokowi-JK untuk pengalihan subsidi ke sektor lain, seperti kesehatan, pendidikan dan juga perlindungan social sebgai sumber dana dalam mensukseskan program yang katanya merakyat sebagai bentuk sogokan dalam proyek besar yang akan segera dilancarkannya yang juga tidak terlepas dari pinjaman dana dari Negara-negara imperialis akan menggores luka lama yang masih belum mampu disembuhkan.

Bagaimanapun, dari serangkaian serangan Negara-negara imperialis yang membawa ekonomi neoliberalisme di Indonesia, rakyat pekerja/kaum buruh-lah yang merasakan betul dampak dari pasar bebas ini. pembangunan perusahaan di Indonesia tidak terlepas dari penerapan upah yang rendah. Karena dalam ekonomi kapitalisme-neoliberalisme, keuntungan yang besar menjadi paling menentukan, dan berpatokan pada permintaan pasar bukam pada kebutuhan riil rakyat secara umum, dan sangat bertolak belakang dengan ekonomi sosialisme. Sehingga, dalam ekonomi neoliberalisme penentuan upah, Negara/pemerintah harus keluar, dan biarkan pengusaha dan pekerja yang menentukan upah. Disini terlihat bahwa pertentangan klas terlihat nyata, maka dari itu kaum buruh harus sadar akan klasnya sendiri dan sadar siapa yang menjadi lawannya. Negara sebagai instrument politik neoliberalisme kini mencapai tingkatan sempurnahnya dan harus dilawan dengan politik klas pekerja dengan disiplin, progresif dan revolusioner.  

Tato : Biro ideologi SGMK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar, mengkritik, di kolum dibawah dengan komentar-komentar serrta kritikan yang ilmiah. study, organisasi, dan revolusi. salam muda kerakyatan, salam sosialisme