Perempuan Karir Dimata Kita

Jumat, 21 Februari 2014

Oleh ; Desi Natalia Mebang
  • Perempuan karir  “eksploitasi perempuan”
Wanita derajatnya lebih rendah dari laki–laki, ini anggapan umum yang berlaku sekarang mengenai kedudukan kaum hawa didalam masyarakat. Anggapan ini tercermin dengan prasangka– prasangka seperti "seorang istri harus melayani suami” “ perempuan tak pantas menjadi pemimpin “, “ setinggi apapun tingkat pendidikannya anak perempuan kalau sudah lulus, terus nikah, paling didapur saja”. lalu prasangka-prasangka ini mendapat penguatan dari struktur moral masyarakat yang terwujud dalam peraturan-peraturan agama dan adat. Bahkan dari zaman nenek-moyang kita, keadaannya memang sudah begini. Namun dengan perkembangan zaman, semakin terbuka lebar peluang bagi perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya. Kita banyak melihat perempuan–perempuan yang bekerja diluar rumah sebagai “wanita karir“, menjadi seorang wanita karir sudah menjadi hal yang lumrah di zaman modern seperti sekarang ini dan mayoritas perempuan beranggapan, perempuan tanpa karir, ibarat ikan tanpa air, dan ketinggalan zaman.  Keadaan kaum perempuan saat ini, tak seperti pada saat awal fase feodalisme kala itu, yang dimana perempuan semakin tidak mampu bergiat dalam lapangan produksi, maka iapun semakin tergeser ke pekerjaan-pekerjaan domestik (rumah tangga). Dan pada saat perempuan telah semakin terdesak ke lapangan domestik, pada saat itulah patriarki mulai menampakkan batang hidungnya.

Munculnya wanita karir  ditengah pandangan masyarakat saat ini, yang memandang“perempuan berderajat lebih rendah daripada laki-laki” dan lain–lainnya itu, terkait kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat, hal ini terjadi karena kaum perempuan sendirilah yang mendobrak pandangan itu dari dirinya sendiri, sehingga ia dapat keluar dari batas materilnya, dan ini merupakan hal yg baik bagi kaum perempuan walaupun hal ini tidak dapat menghilangkan watak patriarki. Selain di tindas oleh sistem kapitalisme, budaya patriarki yang menganggap kedudukan perempuan tidak sama dengan laki-laki; bahwa kaum perempuan secara biologis memang lebih lemah, adalah penghambat historis kemajuan tenaga produktif perempuan. Usia patriarki ini sudah ribuan tahun lamanya, ditandai sejak berakhirnya sistem komunal primitif[1]. Sehingga tak heran jika kaum perempuan sendiri sering kali tidak sadar dan pasrah, bahkan membela anggapan bahwa ketidaksetaraan gender adalah takdir biologisnya sebagai perempuan. Contoh nih, banyak kasus yang sering kita jumpai, para “ wanita karir “ memikul beban ganda , disatu sisi ia harus bekerja entah dimanapun itu setelah pulang kerja ia harus mengurusi suami, anak, rumahnya, perempuan bahkan harus menjadi “superwoman” dengan berperan ganda sebagai istri, ibu dan wanita karir. Di satu sisi, para wanita karir itu berjuang mengejar karirnya, di sisi lain mereka berjuang untuk mendapatkan kembali kehidupan mereka sebagai perempuan. Dan di satu sisi lain ada kelompok perempuan yang mengklaim mendapatkan kebebasan itu, (yang dimaksud disini kaum perempuan yang memaknai kebebasan dalam berekspresi, tetapi malah menjadi liberal), padahal mereka tidak lebih hanya sebagai alat jual-beli produk. Perempuan-perempuan ini tidak sungkan-sungkan memanfaatkan kemolekan tubuhnya untuk keperluan iklan komersial, menjual senyumnya saat bekerja sebagai sales dan menggunakan uang gajinya dari pekerjaan itu hanya untuk membeli barang-barang yang diperintahkan “harus mereka miliki”. Pendek kata, kaum perempuan yang sudah menjadi budak entitas komersil yang sebenarnya tidak membuat hidup kaum perempuan lebih sejahtera, bahkan rendah dimata masyarakat.
  • Perempuan dan perjuangannya
Hal diatas kaum perempuan massa kini malah memaknai kebebasan dirinya, malah menjadikan dirinya sangat liberal, berbeda dengan kisah perjuangan pembebasan kaum perempuan feminisme yang menuntut kebebasannya untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan setara, begitu juga dikesehatan, bahkan diranah politik , kaum perempuan menuntut adanya partisipasi perempuan dalam ranah perpolitikan,  seperti sejarah gerakan kaum perempuan internasional yang menuntut hak pilih di Amerika dan di Inggris pada tahun 1890 dan 1920 Feminisme gelombang pertama ini mewakili feminisme terorganisir dengan penekanan pada reformasi pada hukum keluarga dan peluang ekonomi [2].Pergerakan ini juga merupakan kelahiran gerakan feminisme pertama, yang pada awalnya dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet di Middelburg, Belanda, yang membentuk perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan, mendorong perhatian dunia terhadap feminisme menjelang abad 19. Perempuan-perempuan Eropa mulai mengkampanyekan Universal Sisterhood. Pergerakan perjuangan perempuan yang semula berpusat di Eropa pun kemudian berpindah ke Amerika Serikat dan berkembang pesat sejak terbitnya karya John Stuart Mill yang berjudul The Subjection of Women (1869). Dan untuk Indonesia sendiri, dari sejarah gerakan perempuan di Indonesia, awal gerakan pertama itu massanya R.A Kartini yang ia memandang pendidikan bagi kaum perempuan sebagai salah satu syarat, penting untuk memajukan rakyatnya, karena ibu yang terpelajar bisa diharapkan kemampuannya dalam mendidik anak-anak lebih baik; tidak hanya perempuan kalangan miskin, perempuan kalangan atas pun harus diberi kesempatan menjadi pencari nafkah sendiri, dan mencari pekerjaan yang cocok bagi mereka, misalnya menjadi perawat, bidan, dan guru; poligini harus dihapuskan karena merendahkan martabat kaum perempuan.

sebagian besar unsur gerakan perempuan Indonesia pada masa sebelum perang. Keanggotaan gerakan berasal dari kalangan atas. Perjuangan untuk pendidikan kaum perempuan dan reformasi perkawinan merupakan masalah pokok. Seperti halnya dengan organisasi-organisasi perempuan umumnya ketika itu, baik di Eropa maupun di kebanyakan negeri Dunia Ketiga [3], persoalan yang menjadi perhatian perempuan Indonesia adalah yang lebih berkaitan langsung dengan perempuan kelas atas. Sesudah berhasil mengatasi berbagai kesulitan yang besar, akhirnya R.A Kartini berhasil membuka sekolah yang pertama untuk gadis-gadis pribumi, di pekarangan rumah orangtuanya. Kartini bukanlah satu-satunya perempuan yang berjuang untuk pendidikan kaum perempuan pada zamannya. Beberapa butir dari cita-cita perempuan yang dinamis, dan dalam banyak hal juga berjiwa pemberontak ini, diikuti oleh tokoh-tokoh perempuan lainnya, terutama cita-citanya tentang pendidikan bagi kaum perempuan. Di Jawa Barat, Dewi Sartika menyebarkan pandangan yang sama, dan di daerah Minangkabau, Sumatra Barat, Rohana Kudus berbuat serupa pula. Meskipun demikian, Kartini yang menjadi simbol gerakan perempuan Indonesia, yang diperingati hari lahirnya, 21 April. Selanjutnya gerakan perempuan di Indonesia pun bermunculan, perempuan yang pertama, Poetri Mardika didirikan tahun 1912 , yang ada hubungannya dengan organisasi pertama di Indonesia Boedi Oetomo, dan bermunculan perkumpulan-perkumpulan perempuan dengan nama-nama "Putri Sejati" dan "Wanita Utama."[4] Dan masih banyak lagi organisasi–organisasi perempuan lainnya, namun sebelum organisasi-organisasi nasional ini berdiri, Kartini sudah sering mendengungkan gagasan-gagasan nasionalisnya.

Namun gerakan perempuan yang paling besar dan paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia adalah Gerakan Wanita Indonesia atau GERWANI, dan dalam kurun waktu itu GERWANI mengambil peranan sangat aktif dalam kampanye-kampanye untuk pemilihan umum parlementer, dan berhasil pula: empat orang anggotanya terpilih dalam pemilihan umum 1955 itu. Para aktivis GERWANI melakukan kegiatan besar-besaran pemberantasan buta huruf di kalangan perempuan, sekaligus mendidik para peserta mengenai masalah-masalah politik yang hangat pada masanya, termasuk masalah-masalah perempuan. Bersama dengan kaum perempun dari organisasi-organisasi lain, mereka saling membantu menyelenggarakan berbagai macam kegiatan, baik di tingkat kampung, kota,maupun provinsi, mengenai soal-soal seperti kesejahteraan keluarga, kesehatan, kebersihan, dan juga soal-soal yang lebih bersifat "feminis" seperti pelacuran, perkawinan anak-anak, dan perdagangan perempuan. Dan masih banyak lagi yang dilakukan oleh GERWANI, walaupun pada saat Suharto menjadi presiden organisasi perempuan “GERWANI” yang sangat erat kaitannya dengan PKI pada massa itu, dan ikut diberangus pula oleh Suharto pada saat pemerintahannya bersamaan dengan pembantaian PKI[5].

  • Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?
Dengan melemahnya gerakan - gerakan yang ada hari ini, mau itu buruh, petani, nelayan, KMK, mahasiswa, pemuda, perempuan dan sektor – sektor lainnya. Dan untuk kondisi digerakan perempuan hari ini baik itu feminisme liberal, radikal, sosialis, dan masih banyak lagi alirannya dan dengan organisasinya masing – masing. Namun menurutku untuk di Indonesia sendiri dengan kondisi gerakan di beberapa tahun terakhir belum ada gerakan perempuan yang benar – benar massif perjuangannya, apalagi setelah di brangusnya GERWANI pada rezim Soeharto, setelah itu tidak ada organisasi perempuan yang benar – benar bisa, baik itu dari kepemimpinan program , bahkan dari program – programnya sendiri terkhususnya yang mengatakan dirinya Feminisme Sosialis, program – programnya kebanyakan hanya membahas atau isu yang sering diangkat masalah “kekerasan seksual” dan yang berhubungan dengan kekerasan terhadap perempuan. Belum ada yang mampu menciptakan atmosfer perjuangan di Indonesia yang lebih progresif, bahkan tidak ada identitas yang membedakan mana organisasi yang feminisme sosialis, mana yang feminisme liberal, radikal bahkan dengan LSM, karena dari segi program tidak ada yang membedakan, semuanya bicara masalah kekerasan seksual, kebebasan seksual, masalah LGBT ( lesbi, gay, bioseksual, transeksual) , ya memang benar ini juga merupakan bentuk pembebasan yang harus diperjuangkan oleh kaum perempuan bahkan laki – lakipun wajib terlibat, namun menurutku tidak hanya harus berkutat di permasalah ini yang lama kelamaan menjadikan perspektif kita yang mengatakan feminism sosialis, malah lebih mengarah pada perspektif liberal dan radikal.  Satu – satunya hal yang dapat membedakan yaitu dari segi program.

Bagi kita hal yang bisa dilakukan saat ini sekaligus membedakan kita dengan kaum liberal dan radikal ialah mendorong isu-isu perempuan agar menjadi perhatian publik; memaksa pemerintah untuk membuat rekomondasi-rekomendasi rancangan kebijakan yang ditujukan untuk memajukan kesetaraan perempuan dalam bidang sosial, politik dan ekonomi serta memperluas organisasi gerakan perempuan yang berspektif social di Indonesia. Yang dalam tahap perjuangan, bicara masalah tuntutan adanya aturan mengenai diskriminasi, pelecehan seksual, serta kekerasan domestik. Lebih jauh lagi, untuk menjamin kesetaraan penuh antara perempuan dan laki-laki di tempat kerja adalah mengakui pekerjaan rumah tangga sebagai aktitivas yang produktif secara ekonomi, sehingga memberikan ibu rumah tangga hak untuk mendapatkan jaminan sosial[6]. Bahkan pada penghapusan budaya patriarki yang sudah sejak dahulu kala mengakar dimasyarakat kita.

Penulis Adalah: Biro Politik Komite Persiapan Sentra Gerakan Muda Kerakyatan (KP-SGMK)

catatan kaki:
[1] Lihat: The Dispossesion of Women, Pat Brewer, Resistance Book, 2000; diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Lilik HS, dengan judul Menyingkirkan Perempuan, terbit di PEMBEBASAN—tabloid PRD—sebanyak 5 edisi, pada tahun 2005.

[2] Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme.

[3] Kumari Jaya Wardena, Feminism and Nationalism in the Third World in 19th and early 20th Centuries ( The Haque: iss, 1982).

[4] Freede-de Stuars, op.cit.

[5] (Seri Bacaan Perempuan) [Sekolah Feminis] Sejarah Gerakan Perempuan Di Indonesia

[6] Perjuangan Pembebasan Perempuan dalam Revolusi Bolivarian Venezuela Diterjemahkan dari beberapa tulisan Sarah Wagner di www.venezuelanalysis.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar, mengkritik, di kolum dibawah dengan komentar-komentar serrta kritikan yang ilmiah. study, organisasi, dan revolusi. salam muda kerakyatan, salam sosialisme