Vokalis Hard Rock Bertema Demokrasi Liberal

Selasa, 25 Maret 2014


Ditulis oleh Hidayat Purnama pada tahun 2011 tahun lalu
Saya tidak sedang melecehkan para pejuang Hak Asasi Manusia (HAM), pro-demokrasi, dan kaum intelektual yang saat ini sedang ramai menyuarakan masalah-masalah petani yang disebut sebagai konflik saja. Judul tulisan ini berasal dari peristilahan para aktivis itu sendiri ketika dalam seminar-seminar atau diskusi panel yang diadakan mereka
, masalah-masalah rakyat dibicarakan dengan vokal, dan cukup dinyatakan secara vokal, lalu senyap kembali. Dengan vokal yang bernada Hard Rock (aliran musik berirama cadas dan rancak), mereka membahas masalah tani dengan kritik yang tajam dari sudut pandang HAM, demokrasi dan anti militerisme yang mendasari konflik tersebut, di media-media massa: televisi, radio dan koran.

Begitulah tema perbincangan kelas menengah perkotaan yang kini terdengar cadas, keras dan lantang. Ketika mereka menelusuri akar-akar konflik, sebagai intelektual, mereka tidak sampai mengungkap penindasan struktural dari karakter kekuasaan negara pro imperialis. Namun mereka sudah mengungkap penyebabnya, yakni pengusaha dan birokrat yang membuka secara luas tanah petani untuk diperjualbelikan demi penumpukan modal, serta mencemooh penumpang gelap dalam kasus-kasus konflik pertanahan. Kesimpulan lainnya juga menyangkut pelanggaran hak asasi manusia. Ketika mereka sudah melihat dengan jelas kepentingan pengusaha yang bersekongkol dengan birokrat, mereka tidak pernah mengatakan bahwa akar penindasan adalah perluasan modal/kapital untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari sumber-sumber produksi tanah dan kerja. Mereka lalu mengatakan bahwa mereka tidak anti usaha, atau jelasnya tidak anti ekspansi kapital sebagai hukum atau karakter dari kapitalisme yang mendasari penindasan struktural itu. Meskipun mereka mengetahui secara empiris (pengalaman) dan berdasarkan pengamatan lapangan, bahwa penyebab mendasarnya adalah kapitalisme, tetapi sikapnya tidak anti kapitalisme, malah menghindar dari penemuannya tentang penyebab mendasar dengan menyuarakan pelanggaran hak-hak asasi manusia. Jadi mereka hanya menekankan akibat, bukan sebabnya. Mereka juga menyimpulkan bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM ini melanggar demokrasi dengan mengungkap tindakan militerisme dalam kehidupan masyarakat, yakni penanganan konflik dengan jalan kekerasan bersenjata. Jadi, mereka juga anti militerisme yang memang merupakan musuh demokrasi. Namun, apa boleh buat, mereka hanya lantang dan keras di vokal, tidak dalam tindakan, serta mengolah-olah bahasa provokatif. Tanpa mengurangi rasa hormat pada kesyahidan seorang Munir sebagai pejuang HAM, pada akhirnya, suara mereka menjadi lirih ketika menggantikan birokrat lama atau ketika panggung musik Hard Rock sudah usai dan tangan ramah kapitalisme melalui filantropi-nya (kedermawanan) menggamit aktivitas mereka dengan kucuran hibah dana yang bahkan melebihi subsidi kesejahteraan rakyat.

Hak asasi manusia yang juga dengan lantang dan keras (tidak hanya dimulut, tapi dengan tindakan militer), disuarakan oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, justru menjadi dalih untuk mengesahkan pembantaian masyarakat sipil di Afghanistan, Irak, Afrika, Balkan, Libya dan lain-lain. Pengertian hak asasi manusia itu ternyata mempunyai selaksa sayap dan bisa ditafsirkan sesuai dengan selera dan kepentingan kekuasaan. Secara umum, HAM memang sudah disyahkan dalam undang-undang, lembaganya bahkan dibangun dengan megah dan gagah, namun ia menjadi huruf mati di atas kertas meja-meja perkantoran.

Lalu apa yang dimaksud demokrasi? Orang mungkin mengandaikan kebebasan berpendapat, beraspirasi dan bahkan berserikat. Namun, saya sepakat dengan Arundhati Roy (seorang aktivis dan penulis tentang perjuangan rakyat terutama di Asia selatan, asal India), bahwa demokrasi harus dilihat sebagai model atau dalam bahasa saya, dari sudut pandang bentuk kekuasaan politik dan ekonomi. Model demokrasi liberal dengan sistem elektoral (Pemilu) yang diterapkan di negara-negara modern, termasuk Indonesia saat ini, menunjukkan bahwa yang mencapai kekuasaan itu hanyalah orang-orang kaya dan elit sosial (dalam tiga lembaga kekuasaan demokrasi borjuasi: yudikatif/pengadilan tanpa dipilih rakyat, legislatif/dewan perwakilan yang dipilih rakyat, eksekutif/pemerintahan/birokrasi tanpa dipilih rakyat). Tanpa modal uang untuk terlibat dalam prosesi pemilu, orang per orang dari kelas pekerja dan lapisan rakyat secara umum tidak mungkin masuk dalam dewan perwakilan, apalagi lembaga paruhan kekuasaan demokrasi liberal lainnya. Jika demikian, bagaimana aspirasi rakyat bisa diwujudkan? Lebih dari itu, media-media massa yang dimiliki atau bersekutu dengan para pemilik modal dan para wakilnya, juga menyebarkan opini dan pandangan yang melindungi dan melanggengkan kepentingan-kepentingan elit pemodal dan birokrasi dengan nada cenderung kritis. Apakah model demokrasi seperti ini yang membuka jalan mewujudkan kedaulatan rakyat sebagai makna harfiah dari demokrasi itu sendiri? Niscaya, sampai kapanpun seperti dibuktikan sejarah negara-negara demokrasi, kedaulatan rakyat dalam ekonomi dan politik itu tidak kunjung terwujudkan, tidak di Amerika Serikat, Inggris, Jepang, tidak juga di Mesir, Pakistan, India dan Indonesia itu sendiri.

Kemudian apa itu militerisme? Sebagai cara menerapkan kekuasaan politik, untuk kasus di Indonesia, para perwira tinggi militer setelah kejatuhan Soekarno, mempunyai kekuasaan sangat besar dalam ekonomi dan politik, bahkan dalam bidang sosial itu sendiri, sehingga peran militer tidak hanya menyangkut pertahanan, tapi melekat pada ekonomi dan politik selama lebih dari tiga dasawarsa. Setelah fungsi sosial dan politik militer itu dikurangi pasca gerakan reformasi, namun cara-cara dan kedudukan militeristik dalam arti penanganan kasus ekonomi politik masyarakat dengan kekerasan bersenjata dan dominasi militer dalam kepemimpinan politik lokal atau nasional, tak bisa dihapuskan secara tuntas. Bahkan, dengan berganti pada kewenangan otonom polisi di bidang keamanan, cara-cara militeristik itu menjadi pola umum dalam menangani masalah-masalah ekonomi politik masyarakat, apalagi dengan dalih memberantas terorisme. Oleh karena itu, salah satu isu pokok dari gerakan “demokrasi” di Indonesia adalah anti militerisme.

Dalam hal militerisme yang membungkam, bahkan menindas kedaulatan ekonomi politik rakyat, anti militerisme adalah bagian penting dari perjuangan masyarakat sipil. Akan tetapi, dengan model apa? Cara-cara seperti apa? Apakah dengan demokrasi liberal-pemilu? Dengan lembaga-lembaga pemantau dalam masyarakat sipil seperti Komnas HAM, LSM-LSM dan sarana-sarana menyalurkan aspirasi publik seperti seminar, media massa dan lain-lain? Sebelum menjawabnya, pengertian militer itu harus dipahami secara tepat, terutama dalam perjuangan ekonomi-politik rakyat. Secara bahasa, militer (military) mempunyai pengertian (1) ilmu yang berhubungan dengan perang, pertahanan dan penyerangan, mundur dan menyerah; (2) kata sifat yang berkaitan dengan atau diterapkan dengan senjata yang berbeda dengan cara-cara sipil. Sebagai ilmu yang berhubungan dengan perang, tentu saja militer diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan atas wilayah dan tanggung jawab ini secara sosial diemban oleh setiap orang dari massa rakyat untuk melawan setiap musuhnya. Dari pengertian ini, militer yang berposisi sebagai kekuatan berdiri sendiri dalam ekonomi politik dan tidak berkaitan secara nyata dengan ekonomi politik rakyat, akan menjadi kekuasaan ekonomi politik itu sendiri dan mengabdi pada kelompok pemodal atau kapitalis, imperialisme atau kapitalisme global. Posisi militer inilah yang menjadi musuh rakyat. Jika rakyat dilucuti dari ilmu dan tindakan militer untuk mempertahankan kedaulatan ekonomi politik, dengan seruan hak-hak asasi manusia yang abstrak, perjuangan tanpa kekerasan (non violence), demokrasi liberal, maka rakyat akan terus tak memiliki kedaulatannya. Rakyat menjadi massa yang dilumpuhkan, dikerdilkan dan dijadikan pesakitan di ujung tanduk kekuasaan elit dengan pasukan militernya sehingga kapanpun dan dimanapun rakyat menjadi korban pembantaian. Oleh karena itu, rakyat juga tak mampu berjuang mempertahankan hak-hak asasinya (dalam ekonomi dan politik) dari serangan imperialisme dan melepas belenggu penindasannya dari kelas penguasa nasional dengan kekuatan militernya yang pro imperialis.

Walhasil, perjuangan demokrasi rakyat tidak bisa menerima begitu saja seruan dan mempercayai para vokalis Hard Rock dalam demokrasi liberal-Pemilu, yang sesungguhnya hanya berfungsi hiburan di media massa. Demokrasi rakyat adalah antitesis dari kekuasaan elit ekonomi politik sipil dan militer, bukan dengan anti militer, tapi memahami militer itu sebagai sarana yang sangat penting dalam perjuangannya. Ini tidak berarti bahwa sarana-sarana propaganda modern lainnya tidak penting, tidak pula berarti bahwa perjuangan demokrasi masyarakat sipil itu dinafikan sama sekali, namun mungkinkah melancarkan propaganda gerakan rakyat yang efektif di media-media massa milik pemodal dan kelas penguasa itu sendiri? Pemikiran dan aksi anti perang atau perdamaian adalah damba moralitas kemanusiaan secara umum, namun mungkinkah ada perdamaian dalam kondisi masyarakat yang tidak adil dan di hadapan senjata yang selalu mengancam kehidupan, bahkan sudah membantai jutaan rakyat itu? Aksi-aksi ekstra parlementer dan kelembagaan sipil, jurnal, selebaran, pamflet, grafitti, radio mandiri, mimbar bebas, dan sebagainya, adalah sarana-sarana perjuangan, namun alat perjuangan modern ini bukan satu-satunya. Oleh karena itu, metode perjuangan militer tak bisa dilepaskan dari perjuangan demokrasi rakyat, sebab lapisan elit penguasa pada akhirnya pasti menerapkan militerisme untuk menumpas perjuangan rakyat itu. Sejarah masyarakat mengatakan demikian, sampai saat ini, sampai pada kasus Mesuji dan Bima!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar, mengkritik, di kolum dibawah dengan komentar-komentar serrta kritikan yang ilmiah. study, organisasi, dan revolusi. salam muda kerakyatan, salam sosialisme