Industri Pendidikan Indonesia

Selasa, 11 Maret 2014

Pecabutan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang dilakukan mahkamah konstitusi (MK) dan sekarang terlahir Undang-undang Pendidikan Tinggi (UU PT), sangat tidak berpengaruh terhadap kemajuan system pendidikan yang telah mempraktekkan dan memeluk system neoliberal. Penolakan dan wacana-wacana baru bermunculan dengan argumentasi logis-rasional, merujuk pada pengalaman PT BHMN (UI, UGM, IPB, ITB, USU, UPI dll), yang sampai sekarang masih mahal. Para mahasiswa dan element gerakan rakyat lainnya berdemonstrasi menentang pendidikan mahal, anti demokratis, menyimpan bayak diskriminatif dan masih  dianggap melegitimasi praktik komersialisasi pendidikan tinggi.
Industri pendidikan

Biaya pendidikan tinggi yang selama ini sudah amat mahal dikhawatirkan bertambah mahal karena pengelola perguruan tinggi yang berafiliasi terhadap paham kapitalistik yang didorong motif ekonomi dan mengikuti hukum pasar. Situasi ini akan menjadikan pendidikan tinggi sebagai barang komersial, sama seperti barang dagangan lain dalam suatu transaksi perniagaan.

Lazimnya transaksi perniagaan, pertimbangan untung-rugi merupakan faktor penentu dalam pengelolaan perguruan tinggi dan ini sudah jelas-jelas di lakukan oleh rezim hari ini. Jika pendidikan tinggi sudah menjadi barang komersial berharga mahal, sudah pasti hanya masyarakat konglomerat yang mampu menjangkaunya. Masyarakat miskin (buruh, tani, nelayan, kaum miskin kota) yang pendapatan orang tuanya sangat rendah, seperti buruh yang upahnya rendah, tidak adanya jaminan status kerja. Dari kaum tertindas (miskin) ini kian sulit mendapat akses ke layanan pendidikan tinggi karena ekonomi orang tua mereka tak mampu menjangkau mahalnya pendidikan.

Hak dasar setiap warga negara untuk mendapat pendidikan bermutu seperti yang tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945 fasal 31 ayat 1 kian sulit dipenuhi, terlebih karena sejauh ini kemampuan dibawah pemerintahan rezim SBY-Bodiono tidak pernah memihak dan melindungi rakyat miskin melainkan berpihak kepada kaum pemodal, melalui aneka instrumen kebijakan yang menganut paham Neoliberal, tidak akan pernah memihak kepada rakyat tertindas (miskin).

Padahal, empat isu besar yaitu pendidikan gratis, ilmiah, demokratis, dan bervisi kerakyatan yang bayak diteriakkan oleh rakyat, mahasiswa dan element-element masyarakat lainnya. justru merupakan persoalan utama yang tidak pernah mendapat perhatian khusus. Kejadain seperti ini dikarenakan system pendidikan kita di tangani oleh para perumus kebijakan neoliberal ditambah lagi pengelola perguruan tinggi yang pro terhadap system neoliberal atau system pasar industrial, lengkap sudah struktur penindasan dalam system pendidikan kita.

Kehadiran UU PT yang disahkan pemerintahan razim SBY jilid II tahun 2012, sejatinya hanya penegasan belaka atas kenyataan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia telah berkembang menjadi industri. Seperti di negara-negara kapitalis, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, pendidikan tinggi memang merupakan lahan industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan.

Di negara-negara itu, industri pendidikan tinggi tumbuh pesat menjadi industri jasa dan perdagangan yang lain. Lihat sentra-sentra industri pendidikan tinggi dunia yang sungguh memikat, seperti Boston, New York, California; Toronto, British Columbia; London, Manchester, Cambridge; atau Sydney, Melbourne, Canberra. Perkembangan industri pendidikan tinggi menuju komersialisasi pun tak terbendung, ditandai proses kapitalisasi ilmu pengetahuan terutama ketika pertumbuhan ekonomi digerakkan iptek knowledge-and technology-driven economic growth.

Program pendidikan industrial

Dalam industry pendidikan pada perguruan tinggi, baik itu suwasta maupun negri, perguruan tinggi gencarnya mempromosikan beberapa program unggulannya. Program unggulan ini dapat kita lihat seperti, akreditasi program studi, jurusan didalamnya seperti teknik, kedokteran, ekonomi dan lain-lain.

Akreditasi program studi dalam Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), merupakan syarat minimal, namun, tidak cukup memadai untuk dijadikan poin jual pada perguruan tinggi. Kini perguruan tinggi berlomba mengemas dan menonjolkan beberapa program unggulan lain, seperti sertifikasai internasional melalui AACSB (American Association of Colleges and Schools of Business) organisasi profesi di luar negeri. kerja sama dengan industry dan kerja sama dengan internasional. Hal ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi yang ada adalah industry yang mencari keuntungan (profit).

Dengan kutipan bayak diatas menunjukkan bahwa, perguruan tinggi yang ada di negeri tidak ada satupun yang memikirkan peserta didik, mereka hanya memikirkan promosi yang menguntungkan bagi mereka. Pendidikan hari ini adalah lahan basa untuk merauk keuntungan. Adapun pelajaran yang didapat, itu tidak lain hanya memihak pada sistem yang mereka terapkan  yaitu system kapitalistik.

Strategi pemasaran pada industry pendidikan 

Kompetisi global sudah melanda dunia pendidikan. Setiap tahun, saat kelulusan SMA dan SMK bersaing untuk mendapatkan institusi pilihan, perguruan tinggi pun berlomba-lomba mempromosikan diri dan menjaring calon-calon mahasiswa potensial. Potensial bisa berarti mampu secara akademis atau finansial. PERGURUAN tinggi dari luar negeri pun tidak mau kalah, dan gencar berpromosi. Begitu pula perguruan-perguruan tinggi swasta (PTS) melakukan berbagai upaya pemasaran dan menjadikan dunia pendidikan tinggi seperti bisnis dan industri. Kini beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) tidak mau ketinggalan dengan membuka jalur khusus atau ekstensi. Perguruan tinggi negri membuat langkah lebih cepat dari perguruan tinggi suwasta dengan menggunakan negara sebagai alat yang berkuasa dalam proses pendidikan di negeri ini, memperkenalkan perguruan tingginya dengan berbagai macam fasilitas dan akreditasi lebih tinnggi, bekerja sama dengan perusahan-perusahaan besar. Sudah sangat jelas orientasi pendidikan kita. Baik itu perguruan tinggi negri ataupun perguruan tinggi swasta sudah jelas-jelas mengejar keuntungan (profit), dalam bidang pendidikan yang berorientasi pada perusahan-perusahan yang bermodal besar. 

baru-baru ini kita sudah melihat berita-berita di berbagai media cetak maupun elektronik, kelulusan siswa dari berbagai sekolah yang ada. Pada standar kelulusan pada tahun 2010 yaitu, 5.50, dan pada tahun 2013-2014 untuk SMA standar nilai kelulusan 5.60 dan untuk SMK standar kelulusan 7.00, standar nilai kelulusan dari semua mata pelajaran, yang masuk dalam ujian nasional (UN), dengan standar nilai setinggi ini memberatkan para siswa, dan guru siswa dalam keadaan yang tegang, berusaha agar para anak didik mereka bisa lulus ujian nasional.

Mengejar nilai yang telah di sepakati sebagai standar kelulusan peserta ujian merupakan hasil dari kesepakatan beberapa perusahaan-perusahaan besar, karena dengan nilai yang sudah di standarkan dapat memikat hati para pengusaha (pemodal) dan menginvestasikan modalnya dalam bentuk bantuan dan lain-lain  kepada sekolah atau perguruan tinggi.

Dan bayak kalangan yang tidak bertanggung jawab mengambil kesempatan dengan nilai standar kelulasan ini, praktek sogok-menyogokpun di laksanakan dengan melakukan transaksi pada orang tua siswa agar anaknya di luluskan dan ini menggunakan bayak duit, bagi orang tua siswa dari kalangan buruh, petani, nelayan yang tak mampu mebayar sogokan menjadi korban transaksi ini. Meskipun anak dari kalangan yang tak mampu tadi ini, memiliki bakat, pintar, cerdas tetapi tidak memliki modal (uang) untuk menyogok tidak di luluskan, apalagi jika anak itu memang sudah bodoh, nakal dan sebagainya. 

Dalam sistem pendidikan yang berorientasi kepada modal, Sekolah bukan lagi semata-mata tempat menuntut ilmu tetapi, sekolah telah berputar arah menjadi ajang bisnis. Dengan kejadian diatas kita akan teringat pada masa penjajahan belanda dimana kaum pribumi yang miskin dan melarat tidak dapat mengenyam yang namanya pendidikan, hanya dari kalangan anak priyai yang bias sekolah karena disamping bayak duit mereka juga dekat dengan pemerintahan hindia belanda pada waktu itu. Dan dari kalangan pribumi yang melarat kehidupannya di biarkan terus-terusan bodoh dan patuh terhadap kemauan pemerintah hindia belanda, dan menggunakan tenaga mereka secara gratis.

ditulis oleh: yang masih melawan, anggota KP-SGMK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar, mengkritik, di kolum dibawah dengan komentar-komentar serrta kritikan yang ilmiah. study, organisasi, dan revolusi. salam muda kerakyatan, salam sosialisme