Laman

Rabu, 26 Maret 2014

Mengomentari Kabar dari Politikindonesia.com tentang Berita “Kemendikbud Siapkan Rp2,4 Triliun untuk Pendidikan Gratis”

Jangan suka meng"ilusi" http://politikindonesia.com

Menarik memang untuk diperbincangkan soal pendidikan ini, sya masih teringat kasus seoarang 2 org siswa bersaudara di polewali mandar yang dipecat (DO) karena melaporkan tindakan pihak sekolah yang mengambil bantuan siswa yg kurang mampu ini (kompas : 2014). nah, dengan adanya berita seperti ini mungkin akan menjadi perhatian khususnya pemerintah dalam meng-hambur2kan anggaran negara yg tidak tepat sasaran dan dimanfaatkan beberapa oknum, sejauh mana kontrol negara dengan praktek tersebut?  Memajukan pendidikan tidak hanya Memberikan bantuan yang begitu besar dan tidak tepat sasaran dan tidak terkontrol itu. Okelah, dengan adanya subsidi dari pemerintah ini mungkin akan sangatmembantu rakyat yang kurang mampu untuk menyekolahkan anaknya, namun bukan hanya memberikan anggaran dalam memajukan pendidikan, ada hal-hal lain juga menunjang kemajuan pendidikan. Seperti kurikulum dan praktek pembelajaran disekolah dan bagaimana dengan sekolah2 swasta?. Dan apakah pendidikan hanya sampai pada sekolah menengah atas (SMA)? Tidak,  masih banyak sekolah2 yang harus dilalui,  seperti pendidikan tinggi, jika kita ingin berbicara soal memajukan sumber daya manusia dan mengurangi anggka kemiskinan di negara ini. Masih sangat cepat mendigbud ini mengambil kesimpulan bahwa dengan bantuan subsidi pendidikan ini akan mengurangi tingkat kemiskinan, tanpa melihat kontradiksi-kontradiksi lainnya, seperti perluasan lapangan pekerjaan yang terjangkau oleh rakyat, bukan hanya itu, bahkan sampai pada persoalan politik dan ideologi (tapi itu dah jauh) sangatlah kontradiktif untuk memajukan pendidikan, dimana pendidikan telah dijadikan sebgai industri jasa seperti penjelasan dalam General Agreement on Trade in Service (GATTs) yang telah disepakati oleh pemerintah Indonesia, (WTO : 1994).

Pendidikan gratis yang diprogramkan oleh pemerintah, baik itu pemerintah daerah, maupun pemerintah pusat. Jangan lupa bahwa dalam pendidikan ada istilah otonomi penuh pada sektor pendidikan, dimana pemerintah daerah yang ada telah diberikan tugas penuh dalam mengembangkan pendidikannya sendiri, ada juga pendidikan semi otonom yang masih bersangkut paut oleh pemerintah, seperti memberikan subsidi pada pendidikan yg berstatus “negri” hanya “negeri”, kenapa pemerintah dalam memajukan pendidikan tidak memiliki power untuk menasionalisasi semua bentuk pendidikan yg ada. Oke lupakan, kita membahas saja soal seberapa efektifkah pendidikan gratis ala pemerintah itu? Sejauh ini banyak kalangan yang mengkritik program pendidikan gratis yang di praktekkan oleh pemerintah kita dalam meningkatkan pendidikan. Salah satunya beranggapan bahwas pendidikan gratis ini tidak efektif karena kurangnnya biaya dalam mendorong fasilitas sekolah dan sering kali anggaran pemerintah lambat dalam penyaluran anggaran ke daerah-daerah apalagi pada daerah terpencil (suaramerdeka.com : 2010). Meskipun anggaran dtelah sampai pada 2,4 trillyun untuk 150.000 siswa dan subsidi untuk mahasiswa yang kurang mampu (politikindonesia.com :2014) tapi, pasilitas dalam pengembangan pendidikan belum tercapai sepenuhnya. Pendidikan gratis sangat tidak sejalan dengan perkembangan pasilitas sokolah yang ada sehingga perkembangan pengetahuan atau terjangkaunya pendidikan pada kebutuhan rakyat belumlah tercapai bahkan jauh dari harapan. Karena praktek pendidikan gratis ala pemerintah ini tidak melihat dimensi lain dalam memajukan pendidikan seperti pasilitas, kurikulum, dan tentunya memenuhi kebutuhan rakyat pada tiap-tiap daerah.

Tadi, sempat juga disinggung soal bantuan subsidi pada mahasiswa yang kurang mampu sebanyak 20% dari total anggaran pendidikan, namun, hanya perguruan tinggi negri saja, yang swasta silahkan berusaha sendiri (begitu kira-kira yg ingin dikatan Mendigbud Muhammd Nuh).   siapa yang ingin disumbang/disubsidi... yang kuliah di PTN..?? trus yang di PTS gimana..?? jumlah Perguruan tinggin negri hanya berkisar 3 % saja dari semua wilayah yang ada, sedangkan jumpalh Perguruan tinggi Swasta 97%, Dari banyaknya Perguruan Tinggi Swasta tersebut dapat menampung sebanyak 2.298.830 atau sebesar 72%, sedangkan PTN hanya dapat menampung sebanyak 907.323 (20%) (Demikian diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Prof Dr Edy Suandi Hamid MEc dalam audiensi APTISI dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di Gedung Nusantara DPR RI. dari metrotvnews.com. : 2014). Ingat bahwa pada perguruan tinggi negri itu ada istilah UKT (uang Kuliah Tunggal). Sebelum diterapkannya Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa sudah mengeluh dengan semakin tinggi biaya pendidikan tinggi baik itu perguruan tinggi negri lebih perguruan tinggi luar negri (swasta), setelah itu diterapkanlah Uang Kuliah Tunggal sebagai subsidi silang, dimana yang orang tuanya mampu membayar lebih untuk mahasiswa yang orang tuanya kurang mampu. aturan itu masih sangat diskriminatif karena ketentuan siapa yang masuk dalam sistem UKT itu mereka yang orang tuanya sebagai pegawai, dan gaji pegawai hanya berkisar 3 juta sampai pada 5 juta per bulannya, dan biaya kuliah sampai pada 3 juta sampai 7 juta bahkan sampai puluhan juta ( saya ambil contoh UNM yang menaikkan biaya kuliah 3 juta per semester), apa yang harus dilakukan.. bantuan adalah kebohongan besar untuk mengilusi masyarakat bahwa pemerintah sangat prihatin dengan pendidikan, baik itu pendidikan tinggi maupun pendidikan SD-SMA/SMU/SMK.

Saya ngak usah membahas pendidikan tinggi swasta yang terlalu banyak di negri ini dan biaya juga tergolong amat sangat tinggi, semua orang sudah tahu, itu sangat mahal untuk kami yang pendapatan orang tua kami 1,5 sampai 5 juta/ bulannya, bahkan ada yang dibawah itu, seperti petani yang tidak menentu pendapatan mereka per bulannya.. trus mau diapakan itu..?? tentunya akan menjadi penganggur-penganggur.  Saya ulangi lagi Perguruan Tinggi Negeri sebanyak 110 PTN, dan Perguruan Tinggi Swasta sebanyak 5.614( data : wikipedia.com 2013). Jadi, jangan ingin dibodohi, jangan ingin di ilusi-ilusi oleh mereka yang tidak akan pernah memihak pada rakyat kecil. Satu kata lawan..! wujudkan pendidikan gratis, ilmiah, demokratis dan bertujuan pada kebutuhan rakyat. Buka lapangan pekerjaan seluas-luasnya dan nasionalisasi semua perusahaan-perusahaan vital.


Belajar, Organisasi, dan Revolusi


KP-SGMK




Selasa, 25 Maret 2014

Vokalis Hard Rock Bertema Demokrasi Liberal


Ditulis oleh Hidayat Purnama pada tahun 2011 tahun lalu
Saya tidak sedang melecehkan para pejuang Hak Asasi Manusia (HAM), pro-demokrasi, dan kaum intelektual yang saat ini sedang ramai menyuarakan masalah-masalah petani yang disebut sebagai konflik saja. Judul tulisan ini berasal dari peristilahan para aktivis itu sendiri ketika dalam seminar-seminar atau diskusi panel yang diadakan mereka
, masalah-masalah rakyat dibicarakan dengan vokal, dan cukup dinyatakan secara vokal, lalu senyap kembali. Dengan vokal yang bernada Hard Rock (aliran musik berirama cadas dan rancak), mereka membahas masalah tani dengan kritik yang tajam dari sudut pandang HAM, demokrasi dan anti militerisme yang mendasari konflik tersebut, di media-media massa: televisi, radio dan koran.

Begitulah tema perbincangan kelas menengah perkotaan yang kini terdengar cadas, keras dan lantang. Ketika mereka menelusuri akar-akar konflik, sebagai intelektual, mereka tidak sampai mengungkap penindasan struktural dari karakter kekuasaan negara pro imperialis. Namun mereka sudah mengungkap penyebabnya, yakni pengusaha dan birokrat yang membuka secara luas tanah petani untuk diperjualbelikan demi penumpukan modal, serta mencemooh penumpang gelap dalam kasus-kasus konflik pertanahan. Kesimpulan lainnya juga menyangkut pelanggaran hak asasi manusia. Ketika mereka sudah melihat dengan jelas kepentingan pengusaha yang bersekongkol dengan birokrat, mereka tidak pernah mengatakan bahwa akar penindasan adalah perluasan modal/kapital untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari sumber-sumber produksi tanah dan kerja. Mereka lalu mengatakan bahwa mereka tidak anti usaha, atau jelasnya tidak anti ekspansi kapital sebagai hukum atau karakter dari kapitalisme yang mendasari penindasan struktural itu. Meskipun mereka mengetahui secara empiris (pengalaman) dan berdasarkan pengamatan lapangan, bahwa penyebab mendasarnya adalah kapitalisme, tetapi sikapnya tidak anti kapitalisme, malah menghindar dari penemuannya tentang penyebab mendasar dengan menyuarakan pelanggaran hak-hak asasi manusia. Jadi mereka hanya menekankan akibat, bukan sebabnya. Mereka juga menyimpulkan bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM ini melanggar demokrasi dengan mengungkap tindakan militerisme dalam kehidupan masyarakat, yakni penanganan konflik dengan jalan kekerasan bersenjata. Jadi, mereka juga anti militerisme yang memang merupakan musuh demokrasi. Namun, apa boleh buat, mereka hanya lantang dan keras di vokal, tidak dalam tindakan, serta mengolah-olah bahasa provokatif. Tanpa mengurangi rasa hormat pada kesyahidan seorang Munir sebagai pejuang HAM, pada akhirnya, suara mereka menjadi lirih ketika menggantikan birokrat lama atau ketika panggung musik Hard Rock sudah usai dan tangan ramah kapitalisme melalui filantropi-nya (kedermawanan) menggamit aktivitas mereka dengan kucuran hibah dana yang bahkan melebihi subsidi kesejahteraan rakyat.

Hak asasi manusia yang juga dengan lantang dan keras (tidak hanya dimulut, tapi dengan tindakan militer), disuarakan oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, justru menjadi dalih untuk mengesahkan pembantaian masyarakat sipil di Afghanistan, Irak, Afrika, Balkan, Libya dan lain-lain. Pengertian hak asasi manusia itu ternyata mempunyai selaksa sayap dan bisa ditafsirkan sesuai dengan selera dan kepentingan kekuasaan. Secara umum, HAM memang sudah disyahkan dalam undang-undang, lembaganya bahkan dibangun dengan megah dan gagah, namun ia menjadi huruf mati di atas kertas meja-meja perkantoran.

Lalu apa yang dimaksud demokrasi? Orang mungkin mengandaikan kebebasan berpendapat, beraspirasi dan bahkan berserikat. Namun, saya sepakat dengan Arundhati Roy (seorang aktivis dan penulis tentang perjuangan rakyat terutama di Asia selatan, asal India), bahwa demokrasi harus dilihat sebagai model atau dalam bahasa saya, dari sudut pandang bentuk kekuasaan politik dan ekonomi. Model demokrasi liberal dengan sistem elektoral (Pemilu) yang diterapkan di negara-negara modern, termasuk Indonesia saat ini, menunjukkan bahwa yang mencapai kekuasaan itu hanyalah orang-orang kaya dan elit sosial (dalam tiga lembaga kekuasaan demokrasi borjuasi: yudikatif/pengadilan tanpa dipilih rakyat, legislatif/dewan perwakilan yang dipilih rakyat, eksekutif/pemerintahan/birokrasi tanpa dipilih rakyat). Tanpa modal uang untuk terlibat dalam prosesi pemilu, orang per orang dari kelas pekerja dan lapisan rakyat secara umum tidak mungkin masuk dalam dewan perwakilan, apalagi lembaga paruhan kekuasaan demokrasi liberal lainnya. Jika demikian, bagaimana aspirasi rakyat bisa diwujudkan? Lebih dari itu, media-media massa yang dimiliki atau bersekutu dengan para pemilik modal dan para wakilnya, juga menyebarkan opini dan pandangan yang melindungi dan melanggengkan kepentingan-kepentingan elit pemodal dan birokrasi dengan nada cenderung kritis. Apakah model demokrasi seperti ini yang membuka jalan mewujudkan kedaulatan rakyat sebagai makna harfiah dari demokrasi itu sendiri? Niscaya, sampai kapanpun seperti dibuktikan sejarah negara-negara demokrasi, kedaulatan rakyat dalam ekonomi dan politik itu tidak kunjung terwujudkan, tidak di Amerika Serikat, Inggris, Jepang, tidak juga di Mesir, Pakistan, India dan Indonesia itu sendiri.

Kemudian apa itu militerisme? Sebagai cara menerapkan kekuasaan politik, untuk kasus di Indonesia, para perwira tinggi militer setelah kejatuhan Soekarno, mempunyai kekuasaan sangat besar dalam ekonomi dan politik, bahkan dalam bidang sosial itu sendiri, sehingga peran militer tidak hanya menyangkut pertahanan, tapi melekat pada ekonomi dan politik selama lebih dari tiga dasawarsa. Setelah fungsi sosial dan politik militer itu dikurangi pasca gerakan reformasi, namun cara-cara dan kedudukan militeristik dalam arti penanganan kasus ekonomi politik masyarakat dengan kekerasan bersenjata dan dominasi militer dalam kepemimpinan politik lokal atau nasional, tak bisa dihapuskan secara tuntas. Bahkan, dengan berganti pada kewenangan otonom polisi di bidang keamanan, cara-cara militeristik itu menjadi pola umum dalam menangani masalah-masalah ekonomi politik masyarakat, apalagi dengan dalih memberantas terorisme. Oleh karena itu, salah satu isu pokok dari gerakan “demokrasi” di Indonesia adalah anti militerisme.

Dalam hal militerisme yang membungkam, bahkan menindas kedaulatan ekonomi politik rakyat, anti militerisme adalah bagian penting dari perjuangan masyarakat sipil. Akan tetapi, dengan model apa? Cara-cara seperti apa? Apakah dengan demokrasi liberal-pemilu? Dengan lembaga-lembaga pemantau dalam masyarakat sipil seperti Komnas HAM, LSM-LSM dan sarana-sarana menyalurkan aspirasi publik seperti seminar, media massa dan lain-lain? Sebelum menjawabnya, pengertian militer itu harus dipahami secara tepat, terutama dalam perjuangan ekonomi-politik rakyat. Secara bahasa, militer (military) mempunyai pengertian (1) ilmu yang berhubungan dengan perang, pertahanan dan penyerangan, mundur dan menyerah; (2) kata sifat yang berkaitan dengan atau diterapkan dengan senjata yang berbeda dengan cara-cara sipil. Sebagai ilmu yang berhubungan dengan perang, tentu saja militer diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan atas wilayah dan tanggung jawab ini secara sosial diemban oleh setiap orang dari massa rakyat untuk melawan setiap musuhnya. Dari pengertian ini, militer yang berposisi sebagai kekuatan berdiri sendiri dalam ekonomi politik dan tidak berkaitan secara nyata dengan ekonomi politik rakyat, akan menjadi kekuasaan ekonomi politik itu sendiri dan mengabdi pada kelompok pemodal atau kapitalis, imperialisme atau kapitalisme global. Posisi militer inilah yang menjadi musuh rakyat. Jika rakyat dilucuti dari ilmu dan tindakan militer untuk mempertahankan kedaulatan ekonomi politik, dengan seruan hak-hak asasi manusia yang abstrak, perjuangan tanpa kekerasan (non violence), demokrasi liberal, maka rakyat akan terus tak memiliki kedaulatannya. Rakyat menjadi massa yang dilumpuhkan, dikerdilkan dan dijadikan pesakitan di ujung tanduk kekuasaan elit dengan pasukan militernya sehingga kapanpun dan dimanapun rakyat menjadi korban pembantaian. Oleh karena itu, rakyat juga tak mampu berjuang mempertahankan hak-hak asasinya (dalam ekonomi dan politik) dari serangan imperialisme dan melepas belenggu penindasannya dari kelas penguasa nasional dengan kekuatan militernya yang pro imperialis.

Walhasil, perjuangan demokrasi rakyat tidak bisa menerima begitu saja seruan dan mempercayai para vokalis Hard Rock dalam demokrasi liberal-Pemilu, yang sesungguhnya hanya berfungsi hiburan di media massa. Demokrasi rakyat adalah antitesis dari kekuasaan elit ekonomi politik sipil dan militer, bukan dengan anti militer, tapi memahami militer itu sebagai sarana yang sangat penting dalam perjuangannya. Ini tidak berarti bahwa sarana-sarana propaganda modern lainnya tidak penting, tidak pula berarti bahwa perjuangan demokrasi masyarakat sipil itu dinafikan sama sekali, namun mungkinkah melancarkan propaganda gerakan rakyat yang efektif di media-media massa milik pemodal dan kelas penguasa itu sendiri? Pemikiran dan aksi anti perang atau perdamaian adalah damba moralitas kemanusiaan secara umum, namun mungkinkah ada perdamaian dalam kondisi masyarakat yang tidak adil dan di hadapan senjata yang selalu mengancam kehidupan, bahkan sudah membantai jutaan rakyat itu? Aksi-aksi ekstra parlementer dan kelembagaan sipil, jurnal, selebaran, pamflet, grafitti, radio mandiri, mimbar bebas, dan sebagainya, adalah sarana-sarana perjuangan, namun alat perjuangan modern ini bukan satu-satunya. Oleh karena itu, metode perjuangan militer tak bisa dilepaskan dari perjuangan demokrasi rakyat, sebab lapisan elit penguasa pada akhirnya pasti menerapkan militerisme untuk menumpas perjuangan rakyat itu. Sejarah masyarakat mengatakan demikian, sampai saat ini, sampai pada kasus Mesuji dan Bima!

Kamis, 20 Maret 2014

Manifesto Komite Politik Alternatif

  LAWAN PEMILU 2014;
BANGUN PARTAI ALTERNATIF!

Dengan semakin mendekatnya PEMILU 2014, rakyat semakin dihadapkan pada pilihan yang tidak ada bedanya. Wajah tokoh-tokoh caleg terpampang di setiap sudut jalan dengan tulisan-tulisan “mohon doa restu” atau “bersih, tegas, peduli”, dsb. Tetapi kami tahu, dan rakyat sebenarnya tahu, tidak ada satu pun calon dan partai yang akan menjawab persoalan rakyat. Kemunduran politik dalam PEMILU 2014 sekarang justru terjadi disaat para calon dan partai tidak lagi perlu mengusung program dan janji kepada rakyat. Kegagalan elite-elite politik dalam merealisasikan janji dan program kesejahteraan pada pemilu lalu bukan dijawab dengan memperjelas program dan mempertegas kontrol rakyat dalam mengawal program berikut calon-calon terpilih nanti nya, tetapi justru memundurkannya pada penokohan/figurisasi semata yang membodohkan melalui media-media massa. Kita rakyat Indonesia tidak bodoh! Sebagai bentuk tanggung jawab membangun bangsa dan rakyat dalam kurungan demokrasi yang semakin diperkecil, kami merasa perlu membangun suatu gerakan alternatif secara nasional yang mengambil sikap dan posisi tegas dalam PEMILU 2014 sekaligus memberi arah pada perjuangan rakyat ke depan nya. Maka berikut sikap dan seruan kami.
  1. PEMILU 2014 BUKAN PEMILU RAKYAT. Kesimpulan ini kami dasarkan pada kenyataan:

a)      Tidak ada satu pun program politik alternatif yang pro rakyat yang diprogramkan oleh partai-partai berikut calon-calon yang tampil sebagai peserta PEMILU 2014.

Kalaupun beberapa calon menjanjikan program ini dan itu, program ini tidak lebih dari sekedar ‘jualan’ karena tidak benar-benar mampu dijelaskan cara mencapainya. Ditambah pula dengan tidak berkapasitas nya partai-partai dan calon-calon tersebut dalam rekam jejak kepemimpinan untuk menjalankan program apapun yang mereka tawarkan.

b)      Tidak ada satu pun metode politik alternatif kerakyatan yang dijalankan oleh para peserta PEMILU 2014 yang menempatkan rakyat sebagai penguasa dari calon-calon wakil dan pemimpin nya kedepan. Ini dibuktikan dengan tidak ada nya satu pun calon yang memberikan hak kepada rakyat untuk mengevaluasi sampai mencopot mereka.

c)      Dua hal diatas bersumber dari tidak ada nya satu pun partai alternatif kerakyatan yang tampil sebagai peserta PEMILU 2014 karena dihambat oleh sistem dan aturan yang tidak demokratis. Sehingga PEMILU 2014 nanti dapat dikatakan sebagai PEMILU nya BORJUIS karena hanya diikuti oleh partai-partai bandit dan penipu yang meletakkan keberpihakannya bukan pada rakyat, melainkan pada modal.

Oleh karena nya, siapa pun yang akan memenangkan pemilu nanti nya, mereka akan tetap menjalankan skema liberalisasi segala bidang dan eksploitasi yang memiskinkan rakyat. Dan untuk itu kami akan terus pula melawan hasil-hasil PEMILU 2014.

  1. Tetapi bukan berarti kami dan rakyat sudah tidak membutuhkan demokrasi dan pemilu sebagai ajang demokrasi. Justru karena demokrasi yang ada hari ini sangat jauh dari memadai, maka PEMILU 2014 kami yakini tidak akan menghasilkan perubahan apa-apa, justru hanya akan membersihkan borok-borok partai politik yang selama ini bekerja menindas dan memiskinkan rakyat.

Oleh karena nya, dibutuhkan suatu GERAKAN ALTERNATIF yang mendorong pembukaan ruang demokrasi seluas-luasnya bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam politik yang menempatkan rakyat sebagai penguasa dari nasib bangsa dan rakyat kedepan. Partisipasi ini tidak dapat dibatasi hanya dengan memilih calon-calon yang ada, melainkan membangun satu kesatuan POLITIK ALTERNATIF untuk MELAWAN PEMILU 2014 yang berarti MELAWAN SISTEM PEMILU 2014 dan PARTAI-PARTAI PEMILU 2014, demi lahir nya PARTAI ALTERNATIF dan hadirnya pemilu yang benar-benar demokratis.

  1. Kehadiran partai alternatif nanti sekurang-kurang nya harus mengusung program-program alternatif kerakyatan bagi perubahan bangsa dan rakyat kedepan, yakni:

a)      Nasionalisasi aset-aset strategis bangsa dibawah kontrol rakyat, demi pengadaan sumber-sumber keuangan negara dan kesejahteraan rakyat. Aset-aset ini berada di berbagai sektor yang semakin dimiliki oleh swasta dan asing seperti: kehutanan, kelautan, perkebunan, tambang mineral dan energi, telekomunikasi, perbankan, transportasi, pendidikan dan kesehatan.

b)      Tangkap, adili dan sita kekayaan koruptor

c)      Industrialisasi nasional yang ramah lingkungan bagi kemandirian nasional dan pembukaan lapangan pekerjaan.

d)     Penghapusan hutang

e)      Reforma agraria sejati; yaitu melakukan tata kelola tanah dan sumber-sumber agraria yang modern dan berkeadilan.

f)       Pemberlakuan upah layak nasional dan penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourcing

g)      Pemberian subsidi bagi rakyat demi:
  1. Pendidikan, kesehatan dan air minum gratis
  2. Pangan, energi, perumahan, transportasi dan komunikasi murah.

h)      Penataan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan melalui partisipasi rakyat dan teknologi modern tepat guna.

i)        Kesetaraan hak sosial, ekonomi, politik dan budaya terhadap perempuan

j)        Pembukaan ruang demokrasi seluas-luasnya:
  1. Pencabutan seluruh UU anti-demokrasi, termasuk merubah sistem kepartaian dan pemilu menjadi partai dan pemilu yang demokratis.
  2. Kebebasan dan solidaritas untuk keberagaman suku, agama dan ras.
iii. Kebebasan berekspresi dan berkesenian bagi pembangunan kebudayaan kerakyatan.

k)      Pengadilan rakyat untuk para koruptor dan pelanggar kejahatan kemanusiaan berat.

l)        Hak referendum bagi rakyat untuk partisipasi dan kontrol kebijakan negara.

m)    Pembentukan badan-badan musyawarah rakyat yang berfungsi mengawasi dan mengontrol penjalanan program-program tersebut diatas oleh pemerintahan terpilih.
  1. Mengajak dan menyerukan kepada seluruh organisasi-organisasi gerakan rakyat untuk membangun persatuan rakyat dan bersama-sama menjadi tiang pembangunan partai alternatif bagi perubahan mendasar di Indonesia. 
  1. Dengan itu pula kami mengajak dan menyerukan kepada segenap unsur rakyat Indonesia yang sadar sejarah perjuangan rakyat untuk bergabung dalam gerakan alternatif ini, dengan cara:
a)      Melakukan aksi dan ekspresi perlawanan di kota masing-masing yang mengusung tema “Lawan PEMILU 2014, Bangun Partai Alternatif!” serta mengangkat 13 program rakyat diatas sebagai jalan keluar rakyat Indonesia.

Selanjutnya kami juga akan melakukan Aksi Serentak Nasional pada akhir Maret mendatang dan pemasangan ribuan poster di puluhan kota sebagai ajang sosialisasi kepara rakyat.

b)      Mengangkat simbol-simbol perjuangan rakyat berupa gambar tokoh-tokoh pejuang rakyat seperti Wiji Thukul, Marsinah, Munir, dll, dalam bentuk kaos, poster, coretan dinding, bendera, stiker, dsb sebagai lambang perlawanan terhadap PEMILU 2014.

c)      Melakukan pencoretan/penulisan program-program rakyat diatas atau tuntutan rakyat lainnya pada kertas suara dalam PEMILU DPR/DPRD dan PEMILU PRESIDEN mendatang sebagai bentuk perlawanan.
Pusat informasi: 021-96041547 
 (alternatif.politik.komite@gmail.com)

Organisasi-organisasi pembangun:
  1. KP SGBN                              : Sultoni
  2. KP SGMK                             : Pay
  3. SMI                                        : Martin
  4. GSPB                                     : Ata
  5. Partai Pembebasan Rakyat      : Surya
  6. PPI                                         :  Adi
  7. KPO PRP                               : Mika
  8. FPBI                                       : Helmi
  9. SBMI                                      : Ramses
  10. Pembebasan                            : Moken
  11. SBM                                       : Erwan
  12. Frontjak                                  : Nana
  13. Sebumi                                    : Ibob
  14. GRI                                         : Indra
  15. SPRI                                       : Nda
  16. LIPS                                       : Abu
  17. PPBI Jatim                              : Hary
  18. Mahardhika Mojokerto           : Iis
 Image

Rabu, 12 Maret 2014

Resensi Film Dokumenter "Jagal" The Act of Killing

Film tetang PKI
Jagal
"Dalam hal jumlah orang yang dibunuh, pembantaian anti-PKI di Indonesia menempati salah satu pembunuhan massal paling parah dalam abad 20". (Studi CIA pada tahun 1968)
Pada tahun 1965-1966, rejim militer sayap kanan yang merebut kekuasaan di Indonesia membantai dengan brutal hingga satu juta orang, khususnya para aktivis dan simpatisan Partai Komunis. Pihak Barat yang "demokratis" tidak hanya tidak memprotes tindakan tersebut namun dalam kasus-kasus tertentu malah menyerahkan daftar orang yang dianggap berbahaya dan dengan demikian harus dibantai, sebagaimana yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui CIA. Joshua Oppenheimer telah menghasilkan suatu film/dokumenter mengagumkan yang mana para pelaku atau bisa disebut sebagai para pembantai, berbicara dan memperagakan-ulang apa yang mereka lakukan pada 1960an.
"Kalau kita sukses bikin film ini,
Ini akan membuktikan kesalahan propaganda bahwa kaum komunis kejam,
dan membuktikan bahwa sebenarnya kita yang keam
Kita yang lebih kejam, hahaha
(...)
"Ini bukan tentang takut
Itu sudah terjadi 40 tahun lalu, jadi kasus kami sudah kadaluarsa
Ini bukan tentang takut. Ini tentang image
Seluruh masyarakat akan berkata:
"Kami sudah curiga. Mereka bohong kalau bilang kaum komunis, lah, yang kejam".
(Salah satu pembunuh)
Jangan harap kita menemui dokumenter sejarah konvensional. Jangan harap kita akan menemui cerita panjang berupa kumpulan pengakuan para keluarga korban pembantaian 1965-1966 di Indonesia. "The Act of Killing" tidak akan menyajikan latar belakang yang umum seperti itu. Siap-siaplah untuk menyaksikan hal yang lebih dahsyat, lebih meyakinkan, lebih menganggu, lebih mengerikan, dan bahkan lebih memikat. Bersiaplah untuk suatu fiksi-dokumenter yang lebih kuat dari berbagai film/dokumenter lainnya dalam memberikan kontribusi membantah propaganda resmi pemerintah yang menutupi pemusnahan satu juta komunis. Bersiaplah untuk sesuatu yang membantu mencabut kebohongan dan ketakutan terhadap komunisme yang berulang kali ditanamkan melalui kekerasan dan terror sistematis selama berlapis-lapis generasi yang berbeda. Salah seorang aktivis pernah mengatakan pada saya bahwa ketakutan terhadap komunisme ini ditularkan nyaris bersamaan dengan susu ibu. Maka bersiaplah untuk menyaksikan suatu cerita yang bukan dituturkan oleh korban melainkan oleh para pelaku yang secara harafiah ada di pusat panggung pembantaian tersebut. Dengan cara yang paling mengejutkan, film ini memperagakan kembali kekerasan, penyiksaanm dan pembunuhan yang dilakukan oleh gerombolan pembantai di Indonesia sejak Oktober 1965.
Joshua Oppenheimer, Sutradara The Act of Killing, berhasil dalam mencapai suatu hal yang luar biasa: memenangkan kepercayaan diri beberapa pembunuh dan penyiksa 1965 dan meyakinkan mereka untuk mendokumentasikan detil langkah demi langkah kegiatan mereka di lokasi kejadian yang asli, serta menjelaskan mimpi buruk-mimpi buruk mereka dan mengomentarinya. Sang sutradara mendorong mereka menguraikan pengalaman dan ingatan mereka serta menuliskannya ke dalam naskah film. Maka jadilah hal ini suatu film di dalam film. Mereka melakukannya dengan keteruseterangan yang blak-blakan di depan kamera, sembari menari, menyanyi, dan tertawa-tawa. Alih-alih menemui para pembunuh yang menyangkal tindakan mereka atau mencoba menggambarkan para korban sebagai pihak yang bersalah dan bertanggung jawab terhadap nasibnya sendiri, disini mereka menyatakan secara gamblang bahwa mereka bertanggung jawab atas semua yang telah mereka lakukan. Bahkan lebih parah, mereka malah menyombongkan perbuatan mereka. Dalam hal demikianlah dokumenter ini menampakkan paling jelas mengenai keterlibatan para pelaku pembantaian 1965-1966, bahkan lebih jelas dibanding film dokumenter manapun yang pernah dibuat sebelumnya.
Tokoh utama The Act of Killing adalah Anwar Congo, seorang preman muda di tahun 1960an, yang bekerja sebagai pencatut karcis bioskop di kota Medan, Sumatera Utara. Dia dan teman-teman satu komplotannya merupakan para penggemar film-film Hollywood, yang bergaya seperti James Dean, dan bahkan sempat mengorganisir suatu kelompok penggemar aktor tersebut. Saat Partai Komunis Indonesia menyerukan boikot terhadap film-film Amerika maka pendapatan Anwar Congo dan teman-temannya langsung menurun drastis. Hal ini yang kemudian memicu kebencian mereka dan preman-preman lainnya terhadap kaum komunis. Saat militer merencanakan pembantaian fisik terhadap PKI, mereka bersandar pada bantuan dari para preman tersebut dan juga pada banyak unsur lumpen di berbagai kota. Mereka juga merupakan para pimpinan lokal dari geng politik paramiliter yang disebut sebagai Pemuda Pancasila. Mereka menjadi bagian dari apa yang dijelaskan buku sejarah Indonesia sebagai "Kampanye Patriotis". Hal ini membuka gerbang terhadap segala hal yang sebelumnya tidak mungkin dibayangkan akan dilakukan oleh manusia sebelumnya. Preman-preman ini, dengan menggunakan imajinasi sakit mereka, menjelaskan bahwa mereka terus menerus menemukan cara baru dalam menyiksa dan membunuh. Karena mereka sebelumnya telah membunuh banyak orang dan menyadari bahwa pembunuhan tersebut menyita banyak waktu maka mereka menemukan cara baru yang mereka anggap lebih efisien. Dalam film ini mereka juga menjalankan peran antara pelaku dan korban secara bergantian. Hal ini kemudian mengarah pada berbagai perbincangan dan refleksi yang mengejutkan.
Dibutuhkan upaya khusus dalam berimajinasi untuk memahami dampak pembantaian massal ini terhadap kesadaran berbagai generasi Indonesia yang berbeda. Rakyat Indonesia secara disengaja dicecoki dampak ini oleh Kedikatoran Suharto dan para Jenderalnya melalui propaganda dan penindasan secara terus-menerus.
Trauma Nasional
Kami menanyai salah satu pimpinan gerakan 1998 yang menumbangkan Suharto mengenai bagaimana perasaannya dan keluarganya mengenai pembantaian 1965:
"Saya tidak memiliki pengalaman langsung dengan pembantaian massal 1965, karena saya baru lahir satu dekade kemudian. Namun saya merasakannya sebagai suatu trauma kolektif. Kakak ibu saya adalah seorang pimpinan Partai Komunis di tingkatan desa, ia dibunuh di hadapan keluarganya. Semua orang menceritakan bagaimana dia dibunuh saat saya masih kecil. Sampai kini kengerian tersebut masih terasa.
"Ayah saya juga hampir dibunuh saat itu, namun dia berhasil selamat. saat itu terdapat debat semalaman di antara para pembunuh yang mendiskusikan apakah ayah saya juga akan dibunuh atau tidak. Akhirnya diputuskan bahwa dia tidak dibunuh. Namun keadaan jiwanya sudah terguncang hebat dan hingga kini masih dalam keadaan rawan. Dia akhirnya mengalami sakit jiwa pada tahun 1998 saat pihak militer memburu saya.
"Singkat kata, saya pikir pembantaian massal 1965 menjelma menjadi trauma kolektif hampir untuk semua orang, bukan hanya terhadap mereka yang memiliki pengalaman langsung namun juga terhadap mereka yang memahami kisah tersebut."
Namun rasa takut tersebut kini tengah runtuh. Generasi baru telah tumbuh dan sadar politik serta semakin tertarik pada komunisme dan sejarah PKI. Lapisan-lapisan baru kaum pekerja dan kaum pemuda yang belum pernah dicekoki propaganda anti-komunis maupun yang belum pernah hidup dalam suatu lingkungan dimana tabu-tabu komunis hadir dalam segala aspek hidup mereka, kini mencari penjelasan-penjelasan historis.
Suatu perhatian istimewa diberikan dalam film dokumenter ini terhadap Pemuda Pancasila, suatu gerakan pemuda paramiliter dan hubungannya dengan negara. Pemuda Pancasila adalah milisi dengan jutaan anggota (terdiri dari tiga hingga lima juta orang) yang terdiri dari para preman, penjahat kelas teri, dan pemuda sektor informal dan para pemeras atau pemalak. Pemuda Pancasila merupakan hasil dari upaya untuk menciptakan basis massa terorganisir sebagai suatu reaksi melawan organisasi pemuda PKI, yaitu Pemuda Rakyat di tahun 1960an. Pemuda Pancasila secara khusus aktif di Sumatera Utara (Medan dan Aceh) dalam membantai kaum komunis. Mereka juga berafiliasi ke partai kediktatoran yaitu Partai Golkar. Gerakan ini masih eksis hingga saat ini sebagaimana yang ditampilkan dalam film dokumenter. Apa peran mereka saat ini? Jusuf Kalla, wakil presiden Indonesia, memberikan jawaban terus terang dalam pidato yang ditampilkan dalam film dokumenter ini. Dia menjelaskan dalam pertemuan dan di hadapan para kader dan pendukung politik Pemuda Pancasila:
“Semangat Pemuda Pancila, beberapa orang sering menuduh mereka sebagai organisasinya preman. Preman adalah orang yang bekerja diluar sistem, bukan di dalam pemerintahan. Kata preman berasal dari kata 'free men'. Bangsa ini butuh 'free men'. Kalau semua orang bekerja untuk pemerintah maka kita akan menjadi bangsa birokrat. Tidak ada yang selesai. Kita butuh preman untuk menjalankan sesuatu. Preman yang menyelesaikan pekerjaan. Kita butuh preman, yang berani mengambil resiko dalam pekerjaan. Gunakan otot! Otot bukan untuk berkelahi. Walaupun berkelahi itu kadang diperlukan. (tawa dan tepuk tangan membahana)”
Dalam kesempatan lainnya, pada suatu rapat akbar Pemuda Pancasila, Yapto Sorjosoemarno, Ketua Pemuda Pancasila, membacakan pidatonya di depan ribuan anggota Pemuda Pancasila dan para pejabat pemerintah, dan sekali lagi menyorot basis keberadaan Pemuda Pancasila:
"Semua anggota Pemuda Pancasila adalah para pahlawan yang memusnahkan kaum komunis, memerangi kaum neo-komunis dan ekstrim kiri, dan siapapun yang berkeinginan untuk memecah belah negara."
Merupakan suatu kesalahan bila kita menganggap bahwa Pemuda Pancasila merupakan milisi yang terdiri dari unsur-unsur lumpen dari atas ke bawah. Para pimpinan Pemuda Pancasila sebagian besar adalah orang yang memiliki pendidikan sangat tinggi, sekaligus memiliki koneksi-koneksi bisnis dan politik. Yapto adalah seorang pengacara yang menyelesaikan pendidikannya di Belanda. Dia juga memiliki sejumlah perusahaan. Ayahnya, seorang pensiunan Mayor Jenderal, merupakan anggota ningrat Jawa. Disini kita menyaksikan bagaimana premanisme, militerisme, kapitalisme, dan feodalisme membentuk jaringan interdependen yang kompleks.
Pemuda Pancasila adalah milisi sipil yang terdiri dari para preman yang disponsori pemerintah dan perusahaan-perusahaan swasta dan seringkali dikerahkan untuk menangani masalah keamanan dimana pihak kepolisian dianggap tidak efektif. Mereka adalah suatu jaringan kejahatan terorganisir dan milisi politik yang digunakan untuk mengintimidasi lawan-lawan mereka dan untuk mengintimidasi orang-orang kiri pada umumnya. Mereka merupakan organ pelengkap terhadap organ-organ represi negara lainnya. Indonesia penuh dengan segala macam milisi. Selain Pemuda Pancasila, juga terdapat banyak kelompok fundamentalis Islam yang aktif di tahun 1965-1966 dalam membunuhi orang-orang yang mereka anggap "atheis tak bertuhan". Walaupun mereka merupakan ancaman yang nyata dan berbahaya yerhadap gerakan buruh dan tani serta terhadap kaum kiri pada umumnya, mereka langsung kehilangan kehebatannya begitu massa turun memenuhi jalanan.
November 1998 menyaksikan kebangkitan kedua kaum mahasiswa dan massa perkotaan setelah jatuhnya Suharto. Habibie, kloning politiknya, dipasang di kursi kekuasaan untuk memberi kesan penampakan perubahan sembari menjamin pelestarian sistem yang masih berkuasa. Arak-arakan demonstran menyerukan "Gulingkan Habibie, kloning Suharto". Di titik ini mobilisasi jutaan orang memenuhi jalanan dan perkotaan. Pihak militer mengerahkan 30.000 tentara, 16 kapal perang yang sudah merapat di pelabuhan, termasuk satu kapal selam, dan satu peluncur roket. Bahkan rezim penguasa telah mengerahkan 125.000 preman dari seluruh penjuru ke kota sebagai penghadang para demonstran. Mereka gagal, karena kaum miskin dan pekerja dari berbagai lingkungan rakyat juga bangkit melawan mereka bersenjatakan golok, tongkat, dan pisau. Beberapa hari kemudian militer (dedengkot preman yang sesungguhnya) menarik diri agar tidak memicu pemberontakan yang makin meluas terhadap mereka. Hal ini merupakan indikasi bagus mengenai batas-batas pengerahan milisi-milisi demikian dalam suatu perjuangan kelas. Meskipun demikian massa yang diorganisir secara longgar di jalanan tidaklah cukup untuk melawan milisi-milisi Islamis sayap kanan. Langkah-langkah yang diambil oleh Federasi Serikat Pekerja Metal untuk mendirikan Garda Metal untuk melindungi demonstrasi mereka adalah suatu langkah yang bagus. Hal ini perlu diperluas dan dilakukan oleh serikat-serikat lainnya dan digunakan untuk melindungi pertemuan-pertemuan sayap kiri dari serbuan-serbuan fisik.
Impunitas
 
Suatu pertanyaan yang menyelimuti dokumenter ini adalah: Bagaimana bisa Joshua Oppenheimer meyakinkan para pembunuh 1965 untuk bicara dengan begitu blak-blakan di depan kamera? Di satu sisi adalah pertanyaan mengenai bagaimana memenangkan kepercayaan mereka selama tujuh tahun lamanya. Lalu di sisi lain adalah adanya perasaan impunitas atau kekebalan hukum. Namun hal ini tidak sepenuhnya terkait kekadaluarsaan kasus-kasus tindak kejahatan mereka. Apa yang lebih penting adalah adanya perasaan tidak bisa disentuh oleh hukum karena mereka memiliki para pelindung yang kuat dalam aparatus negara (yaitu para gubernur, editor-editor surat kabar, pejabat-pejabat militer, serta para politisi termasuk para politisi yang menempati jabatan tertinggi dalam sistem kekuasaan yang masih berlaku hingga hari ini), serta status mereka sebagai para pahlawan nasional dalam sejarah resmi.
Seperti yang kita bisa duga bahwa film ini tidak diputar di bioskop-bioskop lokal Jakarta, Medan, ataupun Surabaya. Pemerintahan "demokratis" ini tidak mengijinkan penyebarannya. Meskipun demikian, dalam beberapa bulan belakangan ini, para pemuda di seluruh Indonesia aktif menyelenggarakan pemutaran film The Act of Killing yang banyak di antaranya merupakan pemutaran rahasia. Antusiasme dimana para pemuda menonton dan merespon film dokumenter ini merupakan gejala jelas bahwa terdapat perubahan-perubahan dalam pola pikir pemuda, pelajar-mahasiswa, dan juga kaum pekerja. Mereka kurang terbebani oleh propaganda "Orde Baru" dan cenderung bersimpati terhadap komunisme. Ketakutan dan tabu anti-komunisme tengah menurun drastis.
"The Act of Killing" memberikan sumbangan besar dalam mengembalikan kebenaran sejarah dan membantu pengembalian ingatan kaum komunis yang dibantai. Sebagaimana yang dikisahkan oleh aktivis lainnya: "Saya benar-benar terkesan oleh luasnya jangkauan konspirasi di balik pembantaian terhadap PKI."
Meskipun demikian, film dokumenter ini menyisakan suatu hal yang sangat penting bilamana kita ingin memahami apa yang sebenarnya terjadi di 1965-1966. Bagaimana mungkin suatu partai Komunis terbesar di luar Uni Soviet dan Eropa Timur dibantai sampai berkalang tanah tanpa sedikitpun perlawanan yang berarti? PKI memiliki tiga juta anggota dan pendukung sebanyak 15 juta hingga 20 juta orang yang tersebar dalam berbagai organisasi massa. PKI sangatlah kuat.
Jawaban terhadap pertanyaan tersebut bukanlah karena persiapan pembantaian sistematis dan hampir mendekati tingkatan industrial. Bukan juga karena mereka lebih "kejam" daripada kita (yang memang faktanya selalu demikian). Bukan juga karena negara saat itu terlampau kuat (karena PKI memiliki banyak dukungan dari dalam angkatan bersenjata yang 40% di antaranya bersimpati terhadap PKI). Penjelasannya terletak bukan pada kurangnya senjata di tangan anggota komunis maupun absennya kelompok pertahanan buruh dan tani. Karena sebenarnya PKI memiliki senjata.
Jawabannya bersifat politis. PKI dan kader-kadernya secara politis dilucuti di hadapan serangan brutal negara dan preman-preman yang melayaninya. Penjelasannya terletak dalam politik dan kebijakan-kebijakan pimpinan PKI itu sendiri (untuk analisis yang lebih menyeluruh mengenai alasan-alasan politik ini.
PKI adalah suatu Partai Stalinis yang mana strategi politiknya diilhami oleh teori "dua tahap". "Teori" ini mengklaim bahwa kelas pekerja di negara-negara seperti Indonesia tidak siap untuk sosialisme. Prioritas pertamanya adalah konsolidasi kapitalisme dan pendirian aliansi dengan kaum yang mereka sebut sebagai borjuasi nasional, yaitu presiden Sukarno. Aliansi ini, yang membingungkan dan melumpuhkan PKI pada saat-saat yang menentukan, akhirnya terbukti fatal.
Selama hari-hari dan minggu-minggu awal permulaan pembantaian, para pimpinan PKI mencoba menenangkan dan meyakinkan kembali massa pendukungnya dengan harapan bahwa Bung Karno akan melindungi mereka. Namun perlindungan tersebut tidak pernah datang. Dalam peperangan, sebagaimana dalam perjuangan kelas, angka bukanlah satu-satunya faktor penentu. Inisiatif untuk penyerangan, dedikasi untuk mencapai tujuan-tujuan perjuangan dan bagaimana hal itu diperjuangan merupakan faktor-faktor yang bobotnya lebih berat dari sekedar angka. Namun faktor penentu ini ada di pihak musuh kelas yang bengis. Kebimbangan dan keraguan politik menghinggapi pihak pimpinan PKI.
"Jarang terjadi bahwa suatu partai sebesar PKI malah menggantungkan diri dengan penuh kepercayaan dan penuh harapan serta mengakomodasi dirinya pada suatu pecahan kelas yang disebut sebagai "borjuasi nasional" sementara di sisi lain mereka hanya sedikit sekali memahami borjuasi nasional,” ungkap Rex Mortimer dalam buku Komunisme Indonesia di bawah Sukarno - Ideologi dan Politik 1959-1965. Kini kita tahu apa konsekuensi pengabdian PKI terhadap kaum borjuasi nasional ini.
Pelajaran-pelajaran demikian harus dipelajari melalui studi sistematis Marxisme sejati (bukan karikatur Stalinisnya) dan dengan pengembangan kader-kader solid sejati yang berakar dalam gerakan. Perjuangan kelas Indonesia akan memberikan peluang berbeda di masa depan agar kelas pekerja mampu merebut kekuasaan dan menggulingkan kapitalisme. Keberhasilan perjuangan demi mewujudkan Indonesia sosialis akan menjadi penghargaan sekaligus pembalasan terbaik bagi kaum komunis yang mati hampir 50 tahun yang lalu.
Telah diterbitkan di Militan

Selasa, 11 Maret 2014

Industri Pendidikan Indonesia

Pecabutan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang dilakukan mahkamah konstitusi (MK) dan sekarang terlahir Undang-undang Pendidikan Tinggi (UU PT), sangat tidak berpengaruh terhadap kemajuan system pendidikan yang telah mempraktekkan dan memeluk system neoliberal. Penolakan dan wacana-wacana baru bermunculan dengan argumentasi logis-rasional, merujuk pada pengalaman PT BHMN (UI, UGM, IPB, ITB, USU, UPI dll), yang sampai sekarang masih mahal. Para mahasiswa dan element gerakan rakyat lainnya berdemonstrasi menentang pendidikan mahal, anti demokratis, menyimpan bayak diskriminatif dan masih  dianggap melegitimasi praktik komersialisasi pendidikan tinggi.
Industri pendidikan

Biaya pendidikan tinggi yang selama ini sudah amat mahal dikhawatirkan bertambah mahal karena pengelola perguruan tinggi yang berafiliasi terhadap paham kapitalistik yang didorong motif ekonomi dan mengikuti hukum pasar. Situasi ini akan menjadikan pendidikan tinggi sebagai barang komersial, sama seperti barang dagangan lain dalam suatu transaksi perniagaan.

Lazimnya transaksi perniagaan, pertimbangan untung-rugi merupakan faktor penentu dalam pengelolaan perguruan tinggi dan ini sudah jelas-jelas di lakukan oleh rezim hari ini. Jika pendidikan tinggi sudah menjadi barang komersial berharga mahal, sudah pasti hanya masyarakat konglomerat yang mampu menjangkaunya. Masyarakat miskin (buruh, tani, nelayan, kaum miskin kota) yang pendapatan orang tuanya sangat rendah, seperti buruh yang upahnya rendah, tidak adanya jaminan status kerja. Dari kaum tertindas (miskin) ini kian sulit mendapat akses ke layanan pendidikan tinggi karena ekonomi orang tua mereka tak mampu menjangkau mahalnya pendidikan.

Hak dasar setiap warga negara untuk mendapat pendidikan bermutu seperti yang tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945 fasal 31 ayat 1 kian sulit dipenuhi, terlebih karena sejauh ini kemampuan dibawah pemerintahan rezim SBY-Bodiono tidak pernah memihak dan melindungi rakyat miskin melainkan berpihak kepada kaum pemodal, melalui aneka instrumen kebijakan yang menganut paham Neoliberal, tidak akan pernah memihak kepada rakyat tertindas (miskin).

Padahal, empat isu besar yaitu pendidikan gratis, ilmiah, demokratis, dan bervisi kerakyatan yang bayak diteriakkan oleh rakyat, mahasiswa dan element-element masyarakat lainnya. justru merupakan persoalan utama yang tidak pernah mendapat perhatian khusus. Kejadain seperti ini dikarenakan system pendidikan kita di tangani oleh para perumus kebijakan neoliberal ditambah lagi pengelola perguruan tinggi yang pro terhadap system neoliberal atau system pasar industrial, lengkap sudah struktur penindasan dalam system pendidikan kita.

Kehadiran UU PT yang disahkan pemerintahan razim SBY jilid II tahun 2012, sejatinya hanya penegasan belaka atas kenyataan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia telah berkembang menjadi industri. Seperti di negara-negara kapitalis, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, pendidikan tinggi memang merupakan lahan industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan.

Di negara-negara itu, industri pendidikan tinggi tumbuh pesat menjadi industri jasa dan perdagangan yang lain. Lihat sentra-sentra industri pendidikan tinggi dunia yang sungguh memikat, seperti Boston, New York, California; Toronto, British Columbia; London, Manchester, Cambridge; atau Sydney, Melbourne, Canberra. Perkembangan industri pendidikan tinggi menuju komersialisasi pun tak terbendung, ditandai proses kapitalisasi ilmu pengetahuan terutama ketika pertumbuhan ekonomi digerakkan iptek knowledge-and technology-driven economic growth.

Program pendidikan industrial

Dalam industry pendidikan pada perguruan tinggi, baik itu suwasta maupun negri, perguruan tinggi gencarnya mempromosikan beberapa program unggulannya. Program unggulan ini dapat kita lihat seperti, akreditasi program studi, jurusan didalamnya seperti teknik, kedokteran, ekonomi dan lain-lain.

Akreditasi program studi dalam Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), merupakan syarat minimal, namun, tidak cukup memadai untuk dijadikan poin jual pada perguruan tinggi. Kini perguruan tinggi berlomba mengemas dan menonjolkan beberapa program unggulan lain, seperti sertifikasai internasional melalui AACSB (American Association of Colleges and Schools of Business) organisasi profesi di luar negeri. kerja sama dengan industry dan kerja sama dengan internasional. Hal ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi yang ada adalah industry yang mencari keuntungan (profit).

Dengan kutipan bayak diatas menunjukkan bahwa, perguruan tinggi yang ada di negeri tidak ada satupun yang memikirkan peserta didik, mereka hanya memikirkan promosi yang menguntungkan bagi mereka. Pendidikan hari ini adalah lahan basa untuk merauk keuntungan. Adapun pelajaran yang didapat, itu tidak lain hanya memihak pada sistem yang mereka terapkan  yaitu system kapitalistik.

Strategi pemasaran pada industry pendidikan 

Kompetisi global sudah melanda dunia pendidikan. Setiap tahun, saat kelulusan SMA dan SMK bersaing untuk mendapatkan institusi pilihan, perguruan tinggi pun berlomba-lomba mempromosikan diri dan menjaring calon-calon mahasiswa potensial. Potensial bisa berarti mampu secara akademis atau finansial. PERGURUAN tinggi dari luar negeri pun tidak mau kalah, dan gencar berpromosi. Begitu pula perguruan-perguruan tinggi swasta (PTS) melakukan berbagai upaya pemasaran dan menjadikan dunia pendidikan tinggi seperti bisnis dan industri. Kini beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) tidak mau ketinggalan dengan membuka jalur khusus atau ekstensi. Perguruan tinggi negri membuat langkah lebih cepat dari perguruan tinggi suwasta dengan menggunakan negara sebagai alat yang berkuasa dalam proses pendidikan di negeri ini, memperkenalkan perguruan tingginya dengan berbagai macam fasilitas dan akreditasi lebih tinnggi, bekerja sama dengan perusahan-perusahaan besar. Sudah sangat jelas orientasi pendidikan kita. Baik itu perguruan tinggi negri ataupun perguruan tinggi swasta sudah jelas-jelas mengejar keuntungan (profit), dalam bidang pendidikan yang berorientasi pada perusahan-perusahan yang bermodal besar. 

baru-baru ini kita sudah melihat berita-berita di berbagai media cetak maupun elektronik, kelulusan siswa dari berbagai sekolah yang ada. Pada standar kelulusan pada tahun 2010 yaitu, 5.50, dan pada tahun 2013-2014 untuk SMA standar nilai kelulusan 5.60 dan untuk SMK standar kelulusan 7.00, standar nilai kelulusan dari semua mata pelajaran, yang masuk dalam ujian nasional (UN), dengan standar nilai setinggi ini memberatkan para siswa, dan guru siswa dalam keadaan yang tegang, berusaha agar para anak didik mereka bisa lulus ujian nasional.

Mengejar nilai yang telah di sepakati sebagai standar kelulusan peserta ujian merupakan hasil dari kesepakatan beberapa perusahaan-perusahaan besar, karena dengan nilai yang sudah di standarkan dapat memikat hati para pengusaha (pemodal) dan menginvestasikan modalnya dalam bentuk bantuan dan lain-lain  kepada sekolah atau perguruan tinggi.

Dan bayak kalangan yang tidak bertanggung jawab mengambil kesempatan dengan nilai standar kelulasan ini, praktek sogok-menyogokpun di laksanakan dengan melakukan transaksi pada orang tua siswa agar anaknya di luluskan dan ini menggunakan bayak duit, bagi orang tua siswa dari kalangan buruh, petani, nelayan yang tak mampu mebayar sogokan menjadi korban transaksi ini. Meskipun anak dari kalangan yang tak mampu tadi ini, memiliki bakat, pintar, cerdas tetapi tidak memliki modal (uang) untuk menyogok tidak di luluskan, apalagi jika anak itu memang sudah bodoh, nakal dan sebagainya. 

Dalam sistem pendidikan yang berorientasi kepada modal, Sekolah bukan lagi semata-mata tempat menuntut ilmu tetapi, sekolah telah berputar arah menjadi ajang bisnis. Dengan kejadian diatas kita akan teringat pada masa penjajahan belanda dimana kaum pribumi yang miskin dan melarat tidak dapat mengenyam yang namanya pendidikan, hanya dari kalangan anak priyai yang bias sekolah karena disamping bayak duit mereka juga dekat dengan pemerintahan hindia belanda pada waktu itu. Dan dari kalangan pribumi yang melarat kehidupannya di biarkan terus-terusan bodoh dan patuh terhadap kemauan pemerintah hindia belanda, dan menggunakan tenaga mereka secara gratis.

ditulis oleh: yang masih melawan, anggota KP-SGMK

Selasa, 04 Maret 2014

Golput Hak Rakyat, dan Golput Tidak Hanya Sekedar Golput

 Mengapa Harus Golput 

Dalam pesta demokrasi partai borjuis serta pemilihan umum 2014, baik itu pemilihan calon legislatif (Pileg), maupun pemilihan Presiden periode 20014-2019 sangat marak diperbincangkan mengenai masalah golput atau sering orang-orang katakan dengan golongan putih. sangat menarik memang memperbincangkannya apalagi negara saat ini dalam situasi pemilihan calon pemimpin, dan pemilihan calon wakilrakyat DPR, ditambah lagi dengan pilihan golput yang sangat tinggi, melihat situasi dalam system demokrasi setengah hati ini, yang telah dibangun beberapa tahun setelah jatuhnya rejim soeharto yang otoriter dalam menjalankan sebuah kebijakan, bahkan sampai sekarangpun traumatik rakyat masih terasa akan kerakusan dan kekejaman yang dilakukan rejim otoriter soeharto sampai rezim setelahnya terhadap rakyat, dan tidak menutup kemungkinan pelanjut dari orde baru seperti SBY (Demokrat) yang tinggal beberapa bulan masa rezimnya berjalan akan selesaidan juga Partai Golkar dan beberapa pecahannya seperti Partai NASDEM (SuryaPalo), Partai GERINDRA (Prabowo Subianto), dan Partai HANURA (Wiranto). Dari beberapapartai pecahan dari partai Golkar ini sangat bernafsu untuk maju sebagai calon presiden 2014-2018 nantinya. Bahkan yang paling berbahaya adalah pernyataan dari partai Golkar yang menyatakan “jika partai Golkar menang dalam pemilu,maka suasana zaman pemerintahan orde baru yang otoriter itu akan dibumikan atau dijalankan kembali sebagai sistem yang baik, aman dan damai” miris.  

System demokrasi yang telah dibangun selama ini, menemukan titik jenuh dalam mengambil sebuah keputusan bagi rakyat yang telah sadar akan manipulasi yang dilakukanpara birokrat dalam mengambil kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat yaitu golput yang terorganisir. golput terorganisir disini adalah golput dimana rakyat menyatukan suara bahwa ketika bukan rakyat tertindas yang memimpin bangsa ini maka segala kebijakanpun tidak akan memihak kepada rakyat tertindasdan rakyat harus menyatukan ketidak sepakatan kepada system pemerintahan yang dikuasai para borjuis-borjuis yang hanya menjadikan rakyat sebagi budak-budak mereka di negeri-nya sendiri.

Pada pemilihan tingkat daerah beberapa waktu lalu banyak daerah yang mencapai angkagolput sampai dengan 40% dengan golput yang tidak jelas, apakah mereka golput karena faktor malas ataukah tidak memiliki kartu pemilihan untuk memilih  bahkan sampai pada kesadaran masyarkat yang  memang sudah tahu  dengan gerakan para borjuis yang mereka sudahtahu bahwa dengan kepemimpinan mereka hanya membuat masyarakat bawah tambah sengsara,ini menandakan bahwa tingkat golput sangat tinggi meskipun itu adalah golputyang tidak secara terorganisir dalam menyatukan suara untuk tidak memillih.

Golputyang banyak menimbulkan pro kontra di kalangan intelektual karena terkait dengan kepentingan mereka, golput yang difatwahkan haram oleh majlis ulamaindonesia (MUI) memperjelas bahwa sisem demokrasi yang kita bangun adalahsistem demokrasi ala para borjuis yang mementingkan kelompok mereka sendiri  bukan demokrasi dimana yang kita ketahu yaitudemokrasi dari rakyat untuk rakyat, bukan dari rakyat untuk kepentingan paraborjuis, pernyataan Nur Hidayatullah yang menyatakan bahwa warga negara yangtidak memilih adalah iblis, Tantomy Yahya kader Partai Golkar bahkan ingin mempidanakan barang siapa warga negara yang golput (tidak memilih) pernyataan yang miris. golputadalah salah satu hak setiap warga negara pada umumnya untuk menentukan pilihan mereka sesuai dalam undang-undang yaitu masyarakat berhak memilih dan  dipilih bukan wajib memilih.

Bukan Hanya Sekedar GolPut, Rakyat Harus Membangun Partai Politik Sendiri

Jika menelusuri angka golput sepanjang sejarah pemilihan presiden dan pemilihan calon legislatif DPR masuknya era reformasi tahun 1999 angka golput 10,2%, pilegtahun 2004 23,3%, dan pada tahun 2009 menjadi 29% pemilih yang tidak menggunakan haknya, maka dapat disimpulkan kurangnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan semakin meningkat tapi, dari sikap golput itu tidak akan membuat para elit politik borjuasi ini menghentikan pemilihan dan menawarkan kepemimpinan pada suara golput, tidak. Pada masa orde baru, tingkat partisipasi pemilih pada pemilu masa Orde Baru yang mencapai 80% hingga 90% baik-baik sajadan tidak dipermasalahkan. Di negara-negara lain angka golput bisa mencapai 50%sampai 60% diabandingkan di indonesia yang baru mencapai 40% angka golput.

Dengan mencantumkan angka-angka persentase golput diatas bukanlah sebagai bentuk ajakan untuk harus memilih. tetapi, dengan langkah golput yang kita pilihsebagai pilihan dengan alasan bahwa partai elit bojuis yang bertarung dalam kanca politik atau pemilihan nantinya adalah bukan perwakilan dari rakyattetapi perwakilan dari segelintir orang yang akan menjadikan bangsa ini jatuh dalam jurang kehancuran dengan membiarkan pihak asing menguasai sumber dayaalam negara dan menjalankan korupsi berjama’ah baik itu partai yang berlatarbelakang agama, nasionalisme, telah terinjeksi sebagai partai politik korup.

Pemilu tahun ini adalah pemilihan borjuasi yang akan melanjutkan kesengsaraan bagi rakyat secara luas. Bisa kita lihat dengan kasat mata, Partai manakah yang bukan sebelumnya menjalankan roda pemerintahan yang banyak menyensarakan rakyat, mencabut subsidi, menjual perusahan-perusahan milik negara, membiarkan perusahaan asing menguras kekayaan alam indonesia.? Dari sekian partai Politik tidak ada sama sekali yang menjadi perwakilan rakyat, dan perlu diketahui bahwa dari setiap pimpinan partai elit politik adalah pengusaha yang tentunya akan berbeda kepentingan dengan kepentingan massa rakyat.

Dengan melihat kenyataan daiatas, Kita tidak hanya bisa dengan sikap politik golput saja, jika partai-partai borjuis bukanlah solusi dari kesengsaraan rakyat, makarakyat harus membentuk partai politik sendiri, membangun kekuatan politik sendiri, tanpa harus diwakili oleh partai elit politik borjuis yang sedang bertarung. Massa rakyat, saatnya membagun organisasi-organisasi politik yang akan memihak pada rakyat itu sendiri. Belajar dari sejarah Kemerdekaan bangsaini dari penjajahan belanda. Bukan partai borjuis yang mengusir penjajah itu,tetapi rakyatlah dengan sikap politiknya mampu menumbangkan kekuasaan pemerintahan hindia belanda menjadi negara Republik Indonesia. saatnya rakyat indonesia sadar dan akan melawan segala bentuk pembodohan politik partai borjuis dan membentuk dan membangun politik sendiri, saatnya rakyat berpolitik sendiri, saatnya rakyat menentukan nasibnya sendiri karena tidak akan berubah suatu kaum jika bukan mereka sendiri yang mengubahnya, dan rakyat tertindaslah yang akan mewarisi kepemimpinan bangsa ini dan dunia ini.      

Oleh: Manusia yang Anti Terhadap Partai Borjuis dan Melawannya
Anggota: Komite Persiapan Sentra Gerakan Muda Kerakyatan (KP-SGMK)

Senin, 03 Maret 2014

Perempuan diranah Domestik dan Lingkungan

Oleh : Novitasari
"Sistem yang Jahat dan Perusakan Alam"
Tahukah kita sebagai manusia sangat bergantung dengan alam. tentu saja lahan satu-satunya yang bisa kita manfaatkan dimuka bumi ini untuk bisa menghasilkan bahan pangan berkualitas harus dengan lingkungan yang berkualitas pula. Mungkin kawan-kawan pernah mendengar dengan yang namanya global warming. Pemanasan suhu muka bumi makin bertambah setiap waktunya, hal ini disebabkan oleh salah satunya ialah berkurangnya lahan hijau untuk menyerap tenaga surya yang dipancarkan kebumi. Makin banyaknya lubang Ozon dilangit mengakibatkan suhu dibumi makin naik, dampak lain ialah dengan terganggunya iklim dan cuaca, naiknya volume air laut yang mengakibatkan makin kurangnya daratan bagi umat manusia.Menurut PBB penduduk dunia saat iniberjumlah 7,2 juta jiwa. Yang membutuhkan lahan untuk hidup dan secara otomatisakan memakan lahan lebih luas lagi untuk pemukiman,ini juga salah satu faktor yang menyebabkan bumi ini makin rentan akan bencana.

Namun, hal serius yang harus dibahas saat ini ialah mengarah pada eksploitasi besar-besaran yang terjadi saat ini. Di Negara bagian Eropa saat ini sedang mengalami krisis akibat dari penumpukan barang, yang disebabkan oleh permintaan yang ada lebih kecil/rendah dari pada barang yang diproduksi. Ini menjadikan negara-negara maju ini memperluas pasarnya keseluruh penjuru dunia agar tidak terjadi kerugian yang akan mengakibatkan para pemilik modal gulung tikar. Tentusaja yang menjadi tujuan utama dari akibat krisis yang terjadi ini, agar pemodaldapat mendapatkan keuntungan lagi ialah dengan mengeksploitasi Negara lain terutama negara-negara dunia ketiga (bekas jajahan) dan berkembang. Seperti negara-negara yang ada di wilayah Asia termasuk indonesia, Indonesia pun menjadi mangsa “pasar” dari barang-barang yang diproduksi , karena Indonesia menempati urutan ke empat besar populasi penduduknnya didunia.  Dan juga dikarenakan negara-negara miskin seperti di Indonesia sendiri masuk dalam sistem pasar kapitalisme internasional, maka tidak heran saat ini masuk era transformasi pengerukan alam gaya baru.Sekurangnya ada dua argumen yang melandasi anggapan tentang masalah lingkungan hidup di dalam sistem kapitalisme. Pertama, dengan berbasis persaingan sebagai karakter utama sistemini adalah perlombaan produksi komoditas semurah mungkin, di mana sumber dayaalam digolongkan ke dalam logika ini. Tidak heran eksploitasi besar-besaran terhadap alam (dan juga buruh) menjadi keharusan berjalanya roda kapitalis. SelanjutnyaKarakter kedua dari sistem ini adalah keharusan akumulasi tanpa batas.  Perdagangan-perdagangan  bergerak tanpa ada batas-batas negara danwilayah yang ada dipermukaan bumi untuk industri ekstraktif. jika pada masalalu, prakteknya melalui kolonialisme, dan dalam 40 tahun terakhir, berlangsung di bawah ramuan baru neoliberalisme. Transformasi sistemyang mereka lakukan dari tahun ketahun itulah yang akan membuat bertahanya sistem yang menghisap ini. Yang saat ini gencar - gencar dilakukan dinegara - negara berkembang khususnya negara kita ialah penanaman modal asing untuk pengelolaan sumber daya alam seperti minyak,gas dan batubara.

Negara- negara miskin seperti Di Indonesia pengeksploitasian  dikenal dengan kebijakan pemerintah dalam hal perekonomian, yaitu Masterplan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI).Lahan-lahan di Indonesia khususnya dibagian timur seperti Kalimantan, Papua adalah lahan basah pengelolaan industri migas ini. Pembagian wilayah sudah dilakukan sebagai tempat aktifitas produksi. khusus lahan Di Kaltim, saat initerdapat paling tidak 1.215 ijin (Versi JATAM Kaltim) dan 1.272 ijin (Versi Pemprov Kaltim) ijin pertambangan baik dalam bentuk KP maupun PKP2B yangmeliputi kawasan sekitar 5 juta hektar. Ini sama dengan luas Propinsi Jawa Barat digabung dengan Propinsi Banten. Seolah tidak mau kalah, industri perkebunan sawit skala besar pun terus menuntut ekspansi secara besar-besaran.  Pada Oktober 2010 tahun lalu, Dinas Perkebunan Kal-Tim melaporkan ada 311 perusahaan yang mengantongi ijin dengan total luasan 3,361juta hektar.  Hal ini tentu saja sangat penting kita bahas mengingat kalimantan bukan hanya lahan hijau bagi indonesia namun juga paru-paru bagidunia. Ancaman terbesar jika peruskan alam ini terjadi bencana alam, krisispangan, serta kesehatan bagi penduduk lokal akan terganggu bahkan konfliksosial akan semakin luas.

Rusaknya Alam dan Pengaruhnya Terhadap Perempuan yang Dominan di Ranah Domestik.

Beberapa kegiatan penambangan yang menggunakan bahan-bahan kimia yang digunakan dalam proses pengolahan mineral yang tentunya bila tidak dikelola dengan baik akan mencemari lahan, air, danudara, menyebabkan masalah-masalah kesehatan bagi para pekerja dan orang-orangyang tinggal di sekitar tambang. Bahan-bahan kimia beracun yang digunakan dalam pertambangan termasuk sianida dan merkuri. Dampak buruk yang disebabkan oleh proses penambangan terhadap kesehatan masyarakat, yaitu seperti keracunan logam berat, Infeksi Cacing Tambang, Diare, Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA)dan infeksi menular seksual sebagai konsekwensi logis dari semakin banyaknya kendaraan perusahaan yang keluar dan masuk  pada daerah penambangan yang tidak memperdulikan lagi nilai-nilai kesehatan bagi masyarakat  ini.

Lingkungan yang tak sehat inilahyang setiap harinya kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari kita, baik dalam ruang pekerjaan serta dilingkungan keluarga. atau orang yang paling rentan mendapatkan dampak dari tidak sehatnya lingkungan ialah seorang perempuan. karenawanita selain bekerja diluar rumah, setelah pulang dari aktifitasya diluar ia juga masih harus mengurusi ranah domestic (mengurus urusan rumah tangga) yang kegiatan sehari-hari seperti mengurusi anak, mencuci piring, mencuci baju, membersihkan rumah, memasak, dllnya. hal – hal seperti ini menjadi rutinitas seorang perempuan. Aktifitas rumah tangga lainya juga banyak dilakukan oleh perempuandan  bersentuhan langsung dengan lingkungan yang ada. Bersentuhan dengan air yang digunakan sehari-hari, namun tidaksehat, akibat dari pencemaran limbah-limbah tambang yang dekat dengan pemukiman warga. Tak heran jika saat ini, untuk dikawasan samarinda, khusunya perempuan yang menderita gangguan kesehatan makin meningkatMenurut KPA (Komisi Penanggulangan Aids) penderita HIV/AIDS sebesar 25% adalahibu rumah tangga, angka ini meningkat dari tahun ketahun penderita AIDSterbesar  58% adalah pegawai swasta yangbekerja dilingkungan tambang dan sektor lainya lingkungan yang tidak sehat.Untuk jumlah HIV/AIDS angka tertinggi tercapai 1.031 jiwa di samarinda dibandingkan dengan wilayah lain seperti Balikpapan dan Bontang. Sedangkan untuk kasus bayi yang meninggal dalam kandungan, anak Autis,bayi Hydrocephalus, di daerah pertambangan makin meningkat. penyakit lain yang makin meningkat menurut sumber data pemerintah adalah gangguan saluran pernapasan sebanyak 454 kasus terjadi di samarinda .Hal ini sangat miris, jika kita lihat banyaknya kasus diatas, yang diakibatkan dari kerusakan lingkungan yang berdampak pada buruknya kesehatan perempuan dan anak-anak.

Namun perlindungan kesehatan dan keselamatan wargapun tidak jelas di atur dalam Undang-undang, bahkan tidak adapertanggung jawaban dari pemerintah terhadap hal ini . Catatan buruk kapitalisme (di bidang lingkungan) disebabkan oleh sifat bawaannya yang mengusung proses akumulasi modal yang tak terkendali, pengerukan besar-besaran yang terjadi saat inikarena produksi yang tidak terkendali. Permasalahan- permasalahan ekologi adalah masalah politis dalam makna bahwa masalah-masalah tersebut dihasilkan atau sangat dipengaruhi oleh kesenjangan-kesenjangan kontrol atas kelompok-kelompok berkepentingan.  Sudah seharusnya masyarakat yang bisa menikmati kekayaan alam yang tersedia. Bukan pihak asingyang mengeruk secara berlebihan lalu keuntungannya dinikmati oleh segelintir pihak  saja.
Lalu Kita Harus Bagaimana?

Sebagai kaum yang paling dirugikan dari aktifitas produksi yang tidak meperhatikan aspek lingkungan. Keterlibatan dari berbagai pihak sangat penting. Emansipasi perempuan tidak hanya berbicara pada kesetaraan gender namun juga peran kita diranah publik harus terus dilakukan dalam hal isu-isu yang lebih maju dan kritis, yamembicarakan masalah kerusakan lingkungan hidup dan dampaknya tidak hanya bagiperempuan saja tapi bagi rakyat secara umumnya, membicarakan apa yang di-inginkan perempuan diranah politik, politik bisa mensetarakan perempuan, yang tidak mendiskriminasi perempuan, masalah jaminan kesehatan bagi penduduk yang beradadi dekat kawasan pertambangan,  hak-hakbagi buruh perempuan dllnya. Pembangunan dan penguatan politik yang maju tidak akan berjalan dengan baik jika kaum wanita tidak diikut sertakan. Kontrol semua pihak akan lebih mudah bagi kita membangun kekuatan yang berlandaskan kesadaran revolusioner. Namu, akan bertuju pada cita-cita menasionalisasi aset dibawah kontrol rakyat, mesin-mesin produksi serta sumber daya alam, diproduksi oleh rakyat sesuai dengan kebutuhannya lalu digunakan untuk kepentingan rakyat banyak. Hal ini yang akan kita capai bersama sistem yang membedakan antarasistem paham modal dan sistem yang dibangun oleh rakyat sendiri. Karena sesuatuhal dan segala permasalahan rakyatlah yang lebih tau dan mengerti apa yang baik dan seharusnya dilakukan. Pengolahan yang berpihak pada masyarakat banyak serta produksi yang tidak mengejar pada keuntungan segelintir orang. Produksi yangakan dijalankan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Karena kita sadari sumberdaya alam seperti minyak, batu baru dan sumber energi lain yang tidak dapatdidaur ulang harus dimanfaatkan untuk kebuthan bersama bukan karena keuntungan semata. 

Penulis adalah Anggota: Konsentrasi Mahasiswa Progresif - Sentra Gerakan Muda Kerakyatan (Samarinda)