Industri pendidikan
Biaya
pendidikan tinggi yang selama ini sudah amat mahal dikhawatirkan
bertambah mahal karena pengelola perguruan tinggi yang berafiliasi
terhadap paham kapitalistik yang didorong motif ekonomi dan mengikuti
hukum pasar. Situasi ini akan menjadikan pendidikan tinggi sebagai
barang komersial, sama seperti barang dagangan lain dalam suatu
transaksi perniagaan.
Lazimnya
transaksi perniagaan, pertimbangan untung-rugi merupakan faktor penentu
dalam pengelolaan perguruan tinggi dan ini sudah jelas-jelas di lakukan
oleh rezim hari ini. Jika pendidikan tinggi sudah menjadi barang
komersial berharga mahal, sudah pasti hanya masyarakat konglomerat yang
mampu menjangkaunya. Masyarakat miskin (buruh, tani, nelayan, kaum
miskin kota) yang pendapatan orang tuanya sangat rendah, seperti buruh
yang upahnya rendah, tidak adanya jaminan status kerja. Dari kaum
tertindas (miskin) ini kian sulit mendapat akses ke layanan pendidikan
tinggi karena ekonomi orang tua mereka tak mampu menjangkau mahalnya
pendidikan.
Hak
dasar setiap warga negara untuk mendapat pendidikan bermutu seperti
yang tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945 fasal 31 ayat 1 kian sulit
dipenuhi, terlebih karena sejauh ini kemampuan dibawah pemerintahan
rezim SBY-Bodiono tidak pernah memihak dan melindungi rakyat miskin
melainkan berpihak kepada kaum pemodal, melalui aneka instrumen
kebijakan yang menganut paham Neoliberal, tidak akan pernah memihak
kepada rakyat tertindas (miskin).
Padahal,
empat isu besar yaitu pendidikan gratis, ilmiah, demokratis, dan
bervisi kerakyatan yang bayak diteriakkan oleh rakyat, mahasiswa dan
element-element masyarakat lainnya. justru merupakan persoalan utama
yang tidak pernah mendapat perhatian khusus. Kejadain seperti ini
dikarenakan system pendidikan kita di tangani oleh para perumus
kebijakan neoliberal ditambah lagi pengelola perguruan tinggi yang pro
terhadap system neoliberal atau system pasar industrial, lengkap sudah
struktur penindasan dalam system pendidikan kita.
Kehadiran
UU PT yang disahkan pemerintahan razim SBY jilid II tahun 2012,
sejatinya hanya penegasan belaka atas kenyataan bahwa pendidikan tinggi
di Indonesia telah berkembang menjadi industri. Seperti di negara-negara
kapitalis, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, pendidikan
tinggi memang merupakan lahan industri strategis yang menjadi bagian
dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan.
Di
negara-negara itu, industri pendidikan tinggi tumbuh pesat menjadi
industri jasa dan perdagangan yang lain. Lihat sentra-sentra industri
pendidikan tinggi dunia yang sungguh memikat, seperti Boston, New York,
California; Toronto, British Columbia; London, Manchester, Cambridge;
atau Sydney, Melbourne, Canberra. Perkembangan industri pendidikan
tinggi menuju komersialisasi pun tak terbendung, ditandai proses
kapitalisasi ilmu pengetahuan terutama ketika pertumbuhan ekonomi
digerakkan iptek knowledge-and technology-driven economic growth.
Program pendidikan industrial
Dalam
industry pendidikan pada perguruan tinggi, baik itu suwasta maupun
negri, perguruan tinggi gencarnya mempromosikan beberapa program
unggulannya. Program unggulan ini dapat kita lihat seperti, akreditasi
program studi, jurusan didalamnya seperti teknik, kedokteran, ekonomi
dan lain-lain.
Akreditasi program studi dalam Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), merupakan
syarat minimal, namun, tidak cukup memadai untuk dijadikan poin jual
pada perguruan tinggi. Kini perguruan tinggi berlomba mengemas dan
menonjolkan beberapa program unggulan lain, seperti sertifikasai
internasional melalui AACSB (American Association of Colleges and Schools of Business)
organisasi profesi di luar negeri. kerja sama dengan industry dan kerja
sama dengan internasional. Hal ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi
yang ada adalah industry yang mencari keuntungan (profit).
Dengan
kutipan bayak diatas menunjukkan bahwa, perguruan tinggi yang ada di
negeri tidak ada satupun yang memikirkan peserta didik, mereka hanya
memikirkan promosi yang menguntungkan bagi mereka. Pendidikan hari ini
adalah lahan basa untuk merauk keuntungan. Adapun pelajaran yang
didapat, itu tidak lain hanya memihak pada sistem yang mereka terapkan
yaitu system kapitalistik.
Strategi pemasaran pada industry pendidikan
Kompetisi
global sudah melanda dunia pendidikan. Setiap tahun, saat kelulusan SMA
dan SMK bersaing untuk mendapatkan institusi pilihan, perguruan tinggi
pun berlomba-lomba mempromosikan diri dan menjaring calon-calon
mahasiswa potensial. Potensial bisa berarti mampu secara akademis atau
finansial. PERGURUAN tinggi dari luar negeri pun tidak mau kalah, dan
gencar berpromosi. Begitu pula perguruan-perguruan tinggi swasta (PTS)
melakukan berbagai upaya pemasaran dan menjadikan dunia pendidikan
tinggi seperti bisnis dan industri. Kini beberapa perguruan tinggi
negeri (PTN) tidak mau ketinggalan dengan membuka jalur khusus atau
ekstensi. Perguruan
tinggi negri membuat langkah lebih cepat dari perguruan tinggi suwasta
dengan menggunakan negara sebagai alat yang berkuasa dalam proses
pendidikan di negeri ini, memperkenalkan perguruan tingginya dengan
berbagai macam fasilitas dan akreditasi lebih tinnggi, bekerja sama
dengan perusahan-perusahaan besar. Sudah sangat jelas orientasi
pendidikan kita. Baik itu perguruan tinggi negri ataupun perguruan
tinggi swasta sudah jelas-jelas mengejar keuntungan (profit), dalam bidang pendidikan yang berorientasi pada perusahan-perusahan yang bermodal besar.
baru-baru
ini kita sudah melihat berita-berita di berbagai media cetak maupun
elektronik, kelulusan siswa dari berbagai sekolah yang ada. Pada standar
kelulusan pada tahun 2010 yaitu, 5.50, dan pada tahun 2013-2014 untuk SMA standar nilai kelulusan 5.60 dan untuk SMK standar kelulusan 7.00, standar nilai kelulusan dari
semua mata pelajaran, yang masuk dalam ujian nasional (UN), dengan
standar nilai setinggi ini memberatkan para siswa, dan guru siswa dalam
keadaan yang tegang, berusaha agar para anak didik mereka bisa lulus
ujian nasional.
Mengejar
nilai yang telah di sepakati sebagai standar kelulusan peserta ujian
merupakan hasil dari kesepakatan beberapa perusahaan-perusahaan besar,
karena dengan nilai yang sudah di standarkan dapat memikat hati para
pengusaha (pemodal) dan menginvestasikan modalnya dalam bentuk bantuan dan lain-lain kepada sekolah atau perguruan tinggi.
Dan
bayak kalangan yang tidak bertanggung jawab mengambil kesempatan dengan
nilai standar kelulasan ini, praktek sogok-menyogokpun di laksanakan
dengan melakukan transaksi pada orang tua siswa agar anaknya di luluskan
dan ini menggunakan bayak duit, bagi orang tua siswa dari kalangan
buruh, petani, nelayan yang tak mampu mebayar sogokan menjadi korban
transaksi ini. Meskipun anak dari kalangan yang tak mampu tadi ini,
memiliki bakat, pintar, cerdas tetapi tidak memliki modal (uang) untuk
menyogok tidak di luluskan, apalagi jika anak itu memang sudah bodoh,
nakal dan sebagainya.
Dalam
sistem pendidikan yang berorientasi kepada modal, Sekolah bukan lagi
semata-mata tempat menuntut ilmu tetapi, sekolah telah berputar arah
menjadi ajang bisnis. Dengan kejadian diatas kita akan teringat pada
masa penjajahan belanda dimana kaum pribumi yang miskin dan melarat
tidak dapat mengenyam yang namanya pendidikan, hanya dari kalangan anak
priyai yang bias sekolah karena disamping bayak duit mereka juga dekat
dengan pemerintahan hindia belanda pada waktu itu. Dan dari kalangan
pribumi yang melarat kehidupannya di biarkan terus-terusan bodoh dan
patuh terhadap kemauan pemerintah hindia belanda, dan menggunakan tenaga
mereka secara gratis.ditulis oleh: yang masih melawan, anggota KP-SGMK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar, mengkritik, di kolum dibawah dengan komentar-komentar serrta kritikan yang ilmiah. study, organisasi, dan revolusi. salam muda kerakyatan, salam sosialisme