Hari ini tanggal 22 Desember merupakan
hari bersejarah bagi perempuan Indonesia yang diperingati sebagai Hari
Ibu. Hari dimana perempuan menyatukan dirinya dalam sebuah platform
perjuangan bersama untuk memperjuangkan kaumnya dibawah pemerintahan
kolonial Belanda pada masa-pra kemerdekaan. Mungkin lebih tepat jika
dikatakan bahwa tanggal 22 Desember diperingati sebagai hari perempuan
Indonesia. Namun tak banyak yang begitu mengetahui apa dan bagaimana
peran perjuangan perempuan pada masa itu dan bagaimana memaknainya dalam
konteks kekinian.
Awal Kebangkitan dan Perjuangan Kaum Perempuan
Tahun
1890-1930 merupakan tahun-tahun kebangkitan nasionalisme di Indonesia.
Di tahun inilah Rasuna Said,Kartini, Tirto Adhi Suryo, Tan Malaka, Dewi
Sartika, Maria Walanda Maramis, Siti Wardiah (istri KH Ahmad Dahlan),
Sri Wulandani Mangunsarkoro, Rohana Kudus, Nyi Ageng Serang, Cut Mutia,
Ki Hajar Dewantara, memulai gerakan perlawanan menentang pemerintahan
Belanda. Organisasi-organisasi pun mulai bermunculan seperti Budi Utomo
(1908) dan Serikat Islam pada tahun 1912 (sebelumnya bernama Serikat
Dagang Indonesia). Pada waktu itu juga berkembang organisasi kedaerahan
seperti Jong Java (sebelumnya bernama Tri Koro Darmo pada tahun
1915,kemudian berubah menjadi Jong Java di tahun 1918), Jong
Sumatranen Bond (1917), Jong Ambon (1918), Jong Celebes (1919) .
Selain
itu, organisasi perempuan mulai bermunculan diantaranya Putri Mardika
atas bentukan Budi Utomo(1912), yang kemudian mempelopori berdirinya
organisasi perempuan lainnya seperti Sekola Kautamaan Istri (didirikan
oleh Dewi Sartika di Tasikmalaya tahun 1913), Keradjinan Amal Setia
(didirikan oleh Rohana Kudus di Bukittinggi tahun 1914) Wanito Hadi
(Jepara 1915), Pawijatan Wanito (Magelang 1915), Poerborini (Tegal
1917), Pertjintaan Ibu Kepada Anak Temoroen/PIKAT (didirikan oleh Maria
Walanda Maramis di Minahasa pada tahun 1917), Wanito Soesilo (Pemalang
1918), Gorontalische Mohamedaanshe Vrouwenbeweging (Gorontalo 1920),
Wanodjo Oetomo (Jogjakarta 1920), Sarekat kaoem Ibu Soematera
(Bukittinggi 1920),Kemadjoean Istri (Jakarta dan Bogor 1926), Mardi
Kamoeliaan (Madiun 1927), Ina Toeni (Ambon 1927) Wanito Mulyo (Poetri
Indonesia (Jogjakarta,1927 ,merupakan cabang dari Jong Java yang
diketuai oleh Soejatin), Poeteri Setia (Manado 1928), Wanita Sahati
(Jakarta 1928).
Periode awal
kemunculan organisasi-organisasi perempuan ini lebih menguatamakan isu
"emansipasi" yang merupakan isu yang berkembang di dunia pada abad ke
17-18. Beberapa isu utama yang diangkat oleh organisasi perempuan pada
masa ini adalah kesetaraan dalam mendapatkan pendidikan, menyatakan
pendapat di muka umum, terlibat aktif dalam pengambilan keputusan
keluarga, memperoleh pengetahuan dan keahlian lainnya di luar rumah dan
lingkungan adat. Organisasi perempuan yang terbentuk mengalami
perkembangan pesat. Anggota organisasi-organisasi tersebut bertambah
banyak dan organisasi keagamaan semisal Muhammadyah pun turut ambil
bagian dengan membentuk Aisyiyah yang diketuai oleh Siti Wardiah yang
juga istri KH.Ahmad Dahlan.
Sementara
di sisi lain, mereka selalu bertindak hati-hati dalam mengeluarkan
pernyataan karena pemerintahan Belanda pada waktu itu juga semakin
represif dalam menghambat perkembangan organisasi-organisasi yang
menjamur, termasuk juga kepada organisasi perempuan.
Penyatuan gerakan ; Kongres Perempuan Indonesia I
Organisasi-organisasi
perempuan ini menyadari, banyak sekali hambatan dalam perjuangan
perempuan. Namun di sisi lain, semangat nasionalisme untuk mengangkat
derajat perempuan dari kebodohan secara adat dan intelektual inilah yang
kemudian membawa mereka pada pertemuan di Jogjakarta pada tahun 1928
untuk melakukan Kongres Perempuan, menyatukan visi dan misi secara
ekonomi dan politik. Setelah Sumpah Pemuda dikumandangkan pada 28
Oktober 1928, yang juga dihadiri oleh tokoh perempuan yaitu,Nyi Hajar
Dewantoro, Soejatin, Sitti Sundari, Sri Wulandani Mangunsarkoro dan
Johanna Masdani Tumbuan (Pembaca naskah Sumpah Pemuda pada Kongres
Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928) Sebelumnya, beberapa organisasi
perempuan mulai mengkoordinasikan diri untuk menggagas Kongres Perempuan
se-Indonesia.
Dengan tujuan
menyatukan cita-cita memajukan perempuan Indonesia, maka pada tanggal 22
Agustus 1928 di Jogjakarta, berbagai wakil dari organisasi perempuan
ini pertama kali mengadakan pertemuan. Pertemuan ini menyusun konsep
.penyatuan berbagai organisasi perempuan kedaerahan dalam sebuah payung
organisasi. Pada saat itu, disepakati lahirlah organisasi payung yang
diberi nama Perserikatan Perempuan Indonesia atau disingkat PPI. Ny.
Sukanto dipilih menjadi ketua PPI dan merekomendasikan akan
melaksanakan Kongres Perempuan se Indonesia pada tanggal 22 Desember
1928 di Jakarta dengan menunjuk Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro dan Sitti
Sundari sebagai panitia Kongres.
Kongres
Perempuan Pertama Indonesia kemudian terlaksana pada tanggal 22-25
Desember 1928 bertempat di Djoyodipuran,Yogyakarta. Kongres ini dihadiri
utusan 30 organisasi perempuan, 21 utusan dari organisasi laki-laki
(diantaranya Budi Oetomo dan PNI), wakil dari pemerintah dan pers.
Kongres
Perempuan Indonesia I menghasilkan poin-poin isu perjuangan perempuan
Indonesia yaitu pelibatan perempuan dalam pembangunan bangsa dan
berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, hak perempuan dalam rumah tangga,
pemberantasan buta huruf dan kesetaraan dalam hak memperoleh pendidikan,
hak-hak perempuan dalam perkawinan, pelarangan perkawinan anak di bawah
umur, perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita serta
menghancurkan ketimpangan dalam kesejahteraan sosial.
Dalam
kongres ini pula, PPI berubah nama menjadi Perserikatan Perhimpunan
Isteri Indonesia atau disingkat PPPI. Kongres Perempuan Indonesia I
inilah yang merupakan tonggak sejarah lahirnya hari Ibu di Indonesia.
Pada tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang
menyatakan bahwa tanggal 22 Desember diperingati secara nasional sebagai
Hari Ibu.
Rentetan sejarah ini
kemudian menjadi bibit kemunculan organisasi perempuan yang lebih
progresif dengan mengangkat program yang lebih radikal. Diantaranya
adalah Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) yang didirikan pada Juni 1950 dan
pada Kongres II (1954), Gerwis berubah nama menjadi Gerakan Wanita
Indonesia (Gerwani). Mengenai sejarah Gerwani akan dibahas pada waktu
yang lain.
Hari Ibu dan Masa Kini
Jika
kita melihat sejarah Hari Ibu, maka kita dapat menggariskan bahwa
perjuangan perempuan pada masa kolonial untuk maju mengambil peran
secara ekonomi dan politik. Kaum perempuan pada masa itu mempunyai
kesadararan perjuangan dan mengorganisir diri ke dalam wadah-wadah
organisasi perempuan. Mereka melihat bahwa untuk berjuang mengangkat
derajat dan hak perempuan, tidak cukup hanya dengan berjuang
sendiri-sendiri seperti para pendahulu mereka. Disinilah, poin
pentingnya. Walaupun di awal, perkembangan landasan organisasi perempuan
masih mengangkat isu sederhana dan domestik dan belum memiliki
ideologi yang jelas pada saat itu, namun adanya adanya gerakan yang
secara riil diwujudkan perempuan untuk terlibat aktif dalam memberantas
ketimpangan sosial yang tumbuh dalam feodalisme.
Sayangnya
jauh setelah Kongres Perempuan Indonesia I, terutama di masa Orde Baru
hingga sekarang, peringatan Hari Ibu mengalami pergeseran makna dalam
sejarahnya. Peringatan Hari Ibu dilakukan hanya sebagai bentuk kasih
sayang kepada ibu secara lahiriah. Bahwa memang benar ibu adalah juga
perempuan. Akan tetapi, ibu yang dimaknai disini hanyalah sosok ibu
secara domestikal bahkan dianggap sebagai kodrat yang berperan penting
dalam keluarga, membangun rumah tangga yang harmonis, menyediakan
makanan untuk keluarga, melahirkan, membesarkan dan mendidik anak-anak.
Poin-poin penting terlupakan dan isu-isu perempuan terabaikan., Banyak
generasi penerus tidak memahami, makna dari hari Ibu itu sendiri.
Alhasil, peringatan hari Ibu lebih bersifat seremonial budaya tanpa
muatan semangat perjuangan kaum perempuan itu sendiri.
Hingga
yang perlu dimunculkan sekarang adalah mengembalikan nilai-nilai
perjuangan perempuan. Nilai-nilai itu tidak hanya sebatas peran
perempuan dalam wilayah budaya secara umum dan domestik secara khusus
(feodalisme). Akan tetapi keterlibatan aktif perempuan dalam ekonomi dan
politik yang sudah dimulai pada Kongres Perempuan Indonesia I.
Kita
bisa melihat betapa perempuan menjadi objek peruntuhan dirinya sebagai
manusia yang tidak memiliki hak atas apapun bahkan tubuhnya sendiri.
Perempuan hanya menjadi objek seksualitas, tidak ada perlindungan dan
rasa aman untk dirinya. Beban domestik dan sosial, pemerkosaan,
meningkatnya angka kematian ibu melahirkan hingga upah murah bagi buruh
perempuan adalah model kekerasan yang dialami perempuan secara fisik dan
psikis.
Tugas kita adalah
melanjutkan perjuangan, melanjutkan cita-cita perempuan Indonesia bebas
dari kungkungan ekonomi, politik, sosial, budaya. Perjuangan perempuan
adalah Kesetaraan Perempuan, yang berarti membebaskan perempuan dari
budaya patriarki, melawan kapitalisme yang berarti mendapatkan hak yang
sama sebagai warga negara dan membebaskan perempuan dari penjajahan
ekonomi, sosial dan politik.
Selamat Hari Ibu 22 Desember 2013.
Engkau
yang ajarkan kami cara kembangkan kehidupan dengan bertani. Kini, kami
tak bisa terima dengan masa depan anak-anakmu yang terus dipaksa jadi
TKI. Ibu, kami masih pegang teguh cita-citamu untuk hilangkan
ketidakadilan diatas tanah kehidupan. Karena engkau telah ajarkan
pemilik hari esok tentang tanggungjawab perjuangan. #KisahIbuHari.
Sumber :
1. Susan Blackburn, Koesalah Soebagyo Toer, Kongres Perempuan Pertama-Tinjauan Ulang, Yayasan Obor Jakarta, 2007
2.
Marwati Djonoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia V - Zaman Kebangkitan Nasional dan Hindia Belanda, Balai
Pustaka, 2008
*Tulisan tahun 2013 ini saya revisi ulang untuk diterbitkan kembali.
Sumber Tulisan: FB Qory
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar, mengkritik, di kolum dibawah dengan komentar-komentar serrta kritikan yang ilmiah. study, organisasi, dan revolusi. salam muda kerakyatan, salam sosialisme