Laman

Selasa, 06 Mei 2014

Pengantar Untuk Memahami Das Kapital


KOMODITI
Untuk mengawali ulasan tentang Das Kapital perlu kiranya untuk memahami pengertian komoditi karena komiditi adalah titik sentral dari ulasan Marx tentang bekerjanya kapital di tangan para kapitalis. Dalam pandangan Marx komoditi adalah segala sesuatu (biasanya berupa barang dan jasa) yang diproduksi oleh manusia untuk diperjual belikan. Jika seorang tukang kayu pergi ke hutan kemudian menebang kayu, dan kayu yang ditebangnya tersebut kemudian dijadikan sebagai bahan dasar untuk membuat sebuah meja makan, dan dengan pengetahuan dan keterampilannya dibuatlah sebuah meja makan oleh si tukang kayu tersebut, misalnya. Ketika meja makan tersebut telah selesai dibuatnya dan apabila meja makan yang dibuatnya tersebut tidak dia gunakan untuk kepentingannya sendiri atau keluarganya tetapi untuk kepentingan dijual-belikan, maka meja makan tersebut adalah sebuah komoditi. Jadi, status untuk dijual-belikan itulah yang memberikan identitas sebagai komoditi kepada sebuah meja makan yang dibuat oleh si tukang kayu tersebut.

Satu contoh lagi, misalnya ada seorang petani yang mengolah sawahnya untuk ditanami padi. Setelah padi yang dia tanam tersebut telah menguning dan dipanennya. Padi yang dipanen oleh petani tersebut apabila dikonsumsinya sendiri bukanlah komoditi. Namun, jika padi yang dipanennya tersebut kemudian diperjual-belikan, maka pada saat itulah padi yang dipanennya itu menyandang identitas sebagai komoditi.

Setelah di ulas tentang apa itu yang dinamakan dengan komoditi, selanjutnya tulisan ini akan bergerak pada ulasan tentang hal-hal yang dikandung dalam sebuah komoditi. Ada dua hal yang dikandung oleh sebuah komoditi, yakni kandungan nilai pakai dan nilai tukar. Apa itu nilai pakai dan nilai tukar? Berikut ini akan diulas mengenai apa yang dimaksud dengan nilai pakai dan nilai tukar.

NILAI PAKAI
Jika seseorang memakai sepatu sebagai alas kakinya, pertanyaannya adalah mengapa orang tersebut memakai sepatu itu? Karena sepatu yang dipakai oleh orang tersebut berfungsi sebagai alas kaki, menyelimuti kakinya dari debu, kotoran, air atau hawa dingin/panas. Mari disodorkan pertanyaan kepada orang tersebut? Bagaimana apabila sepatu yang dipakai oleh orang tersebut tidak memenuhi fungsi kegunaannya tersebut, misalnya sepatu itu sempit dan tidak muat ketika dikenakan oleh kaki orang tersebut? Tentunya orang tersebut akan menjawab bahwa dia tidak akan memakai sepatu tersebut karena ukurannya yang tidak sesuai dengan telapak kakinya. Berangkat dari sini, sekarang mari mengulas apa yang dinamakan dengan nilai pakai. Nilai pakai sesungguhnya tercermin dari fungsi dari sepatu tersebut dan fungsi tersebut dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan orang tersebut. Jadi, nilai pakai dapat didefinisikan sebagai komoditi yang berguna bagi si pengkonsumsinya. Jika suatu komoditi (dalam hal ini sepatu) apabila tidak berguna bagi si pengkonsumsinya, maka komoditi tersebut nilai pakainya sedang “ditidurkan.”

Nilai pakai dalam perealisasiannya dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk, yakni nilai pakai relatif dan nilai pakai universal. Nilai pakai relatif adalah komoditi yang berguna bagi orang-orang tertentu saja. Misalnya, sepatu atau baju bayi yang hanya berguna bagi bayi saja atau sebuah celana dengan ukuran tertentu yang hanya berguna bagi orang-orang yang memiliki ukuran lingkar pinggul tertentu saja. Sedangkan nilai pakai universal adalah komoditi yang berguna bagi siapa saja, misalnya sebuah komputer, note book yang digunakan untuk menggunakan menulis naskah ini, atau kendaraan bermotor. Inti pemahaman dari nilai pakai terletak pada berguna tidaknya sebuah komoditi yang diproduksi oleh manusia. Jika sebuah komoditi tidak berguna, maka komoditi tersebut tidak dapat disebut sebagai komoditi yang mengandung nilai pakai. Namun, jika komoditi tersebut berguna untuk memenuhi kebutuhan manusia, maka komoditi tersebut adalah komoditi yang mengandung nilai pakai.

Jadi, nilai pakai ada pada kebergunaan suatu komoditi. Suatu komoditi, sebagaimana telah penulis sebutkan, selain mengandung nilai pakai, komoditi juga mengandung nilai tukar? Apa yang dimaksud dengan nilai tukar tersebut? Dalam ulasan berikut penulis berusaha untuk mengulas mengenai pengertian atau pemahaman tentang nilai tukar.

NILAI TUKAR
Menurut Marx nilai tukar yang terkandung dalam sebuah komoditi akan tercermin ketika terjadi perjumpaan dengan komoditi lainnya. Kedua komoditi yang saling berjumpa tidak hanya sebagai syarat untuk menemukan cermin nilai tukar, tetapi juga digunakan untuk dilakukannya penyetaraan komoditi. Dua pasang sepatu, misalnya, nilai tukarnya terkandung di dalam sebuah jas ketika antara sepatu dan jas dipertemukan atau saling berjumpa. Demikian pula sebaliknya, sebuah jas, nilai tukarnya, tercermin dalam dua pasang sepatu.

Jika seseorang ingin mendapatkan sebuah jas, maka orang yang bersangkutan harus memiliki dua pasang sepatu untuk mendapatkan sebuah jas yang diinginkannya. Demikian juga halnya, apabila ada seseorang yang menginginkan dua pasang sepatu, maka orang yang bersangkutan harus memiliki sebuah jas untuk ditukarkan pada dua pasang sepatu. Berangkat dari sini, penulis sebenarnya hanya ingin menyampaikan kepada pembaca, bahwa nilai tukar yang terkandung di dalam sebuah komoditi harus memiliki kemampuan untuk menukarkan dirinya dengan komoditi lainnya. Selain harus memiliki kemampuan tersebut, syarat lainnya adalah komoditi yang bersangkutan harus memiliki nilai pakai yang berbeda dengan nilai pakai dengan komoditi lainnya. Sepatu, misalnya, nilai pakainya berbeda dengan nilai pakai sebuah jas. Apabila sepatu nilai pakainya terletak pada kegunaannya sebagai alas kaki, maka sebuah jas nilai pakainya terletak pada kegunaannya untuk membungkus tubuh. Jadi, ada perbedaan nilai pakai antara sepatu dan jas. Pertanyaannya, mengapa secara kuantitas, ada perbedaan antara pertukaran antara sepatu dan jas? Maksudnya, mengapa dua sepasang sepatu hanya bisa ditukarkan oleh sebuah jas? Mengapa tidak satu sepasang sepatu dan satu buah jas saja yang berlaku dalam pertukaran diantara dua komoditi yang saling berjumpa tersebut? Berikut ini penulis akan berusaha untuk dijawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Sebuah komoditi di dalam dirinya selain dapat dilihat wujudnya secara ragawi (misalnya dilihat—secara ragawi—sebagai sebuah sepatu, jas, tas, atau sebuah buku bacaan), di dalam ragawi komoditi tersebut, sebagaimana telah penulis ulas, juga mengandung dua nilai, yakni nilai pakai dan nilai tukar. Yang harus dicatat, berangkat dari sini, apapun bentuk dan kandungan nilai yang ada dalam komoditi tersebut, komoditi tersebut bisa ada dan dapat dinikmati kegunaannya bagi manusia karena diproduksi oleh manusia. Orang yang memproduksi komoditi ini dinamakan dengan pekerja. Artinya, komoditi bisa ada karena adanya curahan kerja dari pekerja. Tanpa adanya curahan kerja dari pekerja, komoditi tidak akan pernah ada dan dapat dinikmati oleh manusia. Contoh konkretnya seperti ini, sebagaimana telah penulis sebutkan di muka, bahwa untuk membuat sebuah meja makan si pembuatnya (baca: pekerja) harus memiliki sebuah batang kayu terlebih dahulu sebagai bahan baku untuk dibuat sebuah meja makan. Tidak hanya memiliki sebuah batang kayu, orang tersebut juga harus memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk memproduksi/mengerjakan batang kayu itu menjadi sebuah meja makan. Proses memproduksi/mengerjakan inilah yang dinamakan dengan curahan kerja. Tanpa adanya curahan kerja dari orang tersebut, sebatang kayu hanya akan teronggok menjadi batang kayu, batang kayu tersebut tidak akan pernah menjadi sebuah meja makan, walaupun orang memohon kepada Tuhan agar batang kayu tersebut dapat berubah dengan sendirinya menjadi sebuah meja makan, “sim salabim, cling!” tidak akan pernah batang kayu itu akan menjadi sebuah meja makan, bahkan kalau didiamkan saja bertahun-tahun, bisa jadi, batangan kayu tersebut menjadi lapuk dan kualitasnya menurun. Jadi, curahan kerja adalah syarat mutlak atau harus ada pada sebuah keberadaan komoditi.

Dalam memproduksi komoditi, durasi curahan kerja antara satu komoditi dan komoditi lainnya tidak sama atau berlain-lainan, tergantung tingkat kesulitan atau kerumitan dari sebuah proses produksi sebuah komoditi. Misalnya, sepasang sepatu proses produksinya memakan waktu selama 1 hari sedangkan sebuah jas proses produksinya memakan waktu selama 2 hari. Sebuah jam tangan, misalnya, proses produksinya memakan 2 hari sedangkan sebuah pakaian batik proses produksinya memakan waktu 4 hari. Nah, perbedaan durasi atau jangka waktu antara komoditi satu dengan yang lainnya inilah yang membuat komoditi memiliki nilai tukar yang berbeda-beda antara satu sama lain apabila mereka saling dipertukarkan. Misalnya, karena proses produksi sepasang sepatu memakan waktu 1 hari sedangkan sebuah jas dalam proses produksinya memakan waktu 2 hari, maka ketika mereka dipertukarkan 2 pasang sepatu hanya dapat ditukarkan oleh 1 buah jas. Di sinilah letak rahasia dari perbedaan nilai tukar antara komoditi satu dengan komoditi lainnya. Artinya perbedaan nilai tukar antar komoditi mencerminkan berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh pekerja untuk mencurahkan kerjanya dalam memproses sebuah komoditi. Dari sini, mungkin, ada sebuah pertanyaan yang mencuat seperti ini: “bagaimana apabila ada pekerja yang hanya bermalas-malasan dalam bekerja, sehingga jangka waktunya itu menjadi melar atau panjang, apakah komoditi yang diproduksinya tersebut, karena lama jangka waktu memproduksinya, nilai tukarnya menjadi naik dari nilai tukar normalnya?” Marx dalam buku yang ditulisnya, “Das Kapital Jilid I,” mengatakan bahwa pekerja yang pemalas, yang meproduk komoditinya lebih lama tersebut, akan menghasilkan nilai tukar yang normal seperti komoditi sejenis yang tidak dibuatnya. Mengapa? Karena hitungan durasi curahan kerja yang dimaksud Marx adalah durasi curahan kerja secara sosial. Jadi, Marx menggunakan standar sosial untuk menentukan durasi curahan kerja tersebut. Marx tidak perduli bahwa seorang pekerja itu pemalas atau rajin karena standar durasi curahan kerja secara sosiallah yang dipakai untuk menyetarakan antara nilai tukar komoditi satu dengan yang lainnya ketika komoditi saling dipertukarkan.

KERJA KONKRET, BERGUNA DAN KERJA ABSTRAK
Jika seorang pemahat patung melihat sebongkah batu yang teronggok dihadapannya, apa yang dilihat oleh si pemahat tersebut? Pemahat tersebut melihat adanya suatu potensi di dalam sebongkah batu sebuah patung. Penglihatan si tukang pemahat patung ini berbeda halnya dengan seorang ahli bangunan. Ahli bangunan tidak melihat sebongkah batu tersebut sebagai potensi untuk dibuat sebuah patung, akan tetapi ahli bangunan ini akan melihat potensi sebongkah batu tersebut sebagai fondasi sebuah bangunan atau, bisa jadi, sebagai dinding dari sebuah bangunan.

Potensi dapat didefinisikan sebagai kandungan bentuk pada suatu obyek. Kandungan bentuk dari suatu obyek ini akan mejadi bentuk yang konkret apabila ada proses produksi terhadap obyek tersebut, yang tentu saja melibatkan curahan kerja dari orang yang mengerjakannya (misalnya pemahat yang membuat batu itu berubah menjadi patung, atau si ahli bangunan yang mengubah sebongkah batu tersebut menjadi serpihan-serpihan dan dari serpihan tersebut si ahli bangunan ini menyusun dan menjadikannya sebuah dinding bangunan yang estetis). Proses produksi yang melibatkan curahan kerja di dalam obyek berupa batu tersebut inilah yang dinamakan dengan kerja konkret. Kerja konkret secara ringkas dapat dicontohkan: tukang jahit menjahit bahan baju dan jadilah baju, seorang tukang patung memahat sebongkah batu dan jadilah patung, seorang koki memasak daging sapi dan jadilah rendang, atau seorang petani menggarap sawah dan jadilah beras. Atau lebih ringkasnya lagi, kerja konkret, dapat dicontohkan seperti ini: tukang jahit menjahit, tukang patung memahat, seorang koki memasak, dan seorang petani memaculi sawah.

Manusia melakukan kerja kokret sudah tentu didasari oleh suatu tujuan. Apa tujuan dari kerja konkret yang dilakukan oleh manusia? Tujuan dari kerja kokret tidak lain adalah menciptakan kebergunaan. Produk akhir dari hasil kerja konkret itu—sudah tentu bertujuan untuk memberikan manfaat atau kegunaan bagi si penggunanya. Misalnya, hasil dari pertanian berguna untuk mencukupi kebutuhan makan si pengguna atau si pengkonsumsinya atau hasil kerja si tukang kayu yang menghasilkan sebuah pintu yang berguna sebagai pintu rumah atau sebuah bangunan. Jadi, aktivitas kerja yang dilakukan manusia terdiri dari dua kualitas, yakni kerja konkret dan kerja berguna. Kerja konkret dan kerja berguna ini merupakan syarat mutlak bagi terciptanya sebuah komoditi.

Telah penulis sebutkan bahwa di dalam sebuah komoditi terkandung dua nilai, yakni nilai pakai dan nilai tukar. Untuk memunculkan nilai yang disebutkan terakhir tersebut ada syarat yang harus dipenuhi oleh komoditi, yakni mempertemukan antara komiditi satu dengan komoditi lainnya. Dari pertemuan antar komoditi inilah kemudian antar komoditi tersebut dapat saling mencerminkan nilai tukarnya masing-masing. Ketika antar komiditi ini saling mencerminkan nilai tukar antara satu sama lain, maka berlakulah hukum penyetaraan. Misalnya, dua pasang sepatu—ketika ditukarkan—memiliki kesetaraan dengan satu buah jaket atau sepuluh buah kendaraan bermotor roda dua setara dengan satu buah mobil sedan.

Menurut seorang filsuf dari zaman Yunani Kuno, Aristoteles, kesetaraan antara komoditi satu dengan yang lainnya ketika saling ditukarkan sesungguhnya antara komiditi tersebut tidak dapat dikatakan setara karena apabila dilihat dari proses memproduksinya antara komoditi satu dengan komoditi lainnya, secara kualitas, sangat jelas berbeda. Kerja konkret dan kerja berguna yang dicurahkan ke dalam komoditi-komoditi yang saling dipertemukan tersebut sangatlah berbeda, misalnya kerja konkret dan kerja berguna petani berbeda dengan kerja konkret dan kerja berguna dari seorang tukang kayu. Dan berangkat dari perbedaan inilah yang menjadikan komoditi tidak mungkin disetarakan nilai tukarnya apabila mereka saling dipertemukan antara satu dengan yang lainnya (Aristoteles dalam David Smith dan Phil Evans, 2004). Marx mengakui atas ketidak setaraan antar komoditi yang saling dipertemukan tersebut, namun demikian Marx tetap mengakui adanya kesetaraan antar komoditi yang saling dipertemukan dan dipertukaran tersebut, akan tetapi walaupun Marx mengakui adanya kesetaraa tersebut, Marx sepakat dengan Aristoteles bahwa kesetaraan tidak dapat ditemui dari kerja konkret dan kerja berguna yang tercurah dari sebuah komoditi. Menurut Marx kesetaraan itu terletak dari kesepakatan sosial dari masyarakat. Berangkat dari kesepakatan sosial yang menyetarakan nilai tukar antara komoditi satu dengan komoditi yang lainnya, maka Marx mengatakan bahwa kerja yang tercurah—untuk menilai kesetaraan itu—bukanlah kerja konkret atau pun kerja berguna, akan tetapi kerja abstrak. Yah, inilah yang dimaksud dengan kerja abstrak oleh Karl Marx, curahan kerja yang hasil akhirnya menciptakan nilai tukar komoditi satu dengan komoditi lainnya dimana nilai tukar ini disepakati secara sosial setara.

NILAI RELATIF
Sebelum diulas mengenai kerja konkret, kerja berguna dan kerja abstrak penulis telah mengulas tentang pengertian tentang apa yang dinamakan dengan nilai lebih dan nilai tukar. Dalam ulasan berikutnya, penulis berusaha untuk menjabarkan tentang pengertian nilai relatif yang terkandung dalam sebuah komoditi.

Nilai relatif muncul di dalam dunia pertukaran antar komoditi. Ketika antar komoditi saling dipertukarkan, sebagaimana telah penulis sebutkan, seketika itulah antar komoditi satu dengan komoditi yang lainnya saling mencerminkan nilai tukarnya masing-masing. Misalnya, ketika komoditi berupa jaket dipertemukan dengan komoditi berupa satu unit komputer untuk dipertukarkan, maka jaket akan mencerminkan nilai tukar satu unit komputer, demikian pula sebaliknya. Hanya dengan 50 buah jaketlah orang bisa menukarkannya dengan satu unit komputer, dan jika orang ingin memiliki 50 jaket, maka orang tersebut harus menukarkannya dengan satu unit komputer. Jadi, satu unit komputer mencerminkan 50 buah jaket, sedangkan 50 jaket mencerminkan satu unit komputer. Di dalam dunia pertukaran antar komoditi, ternyata, komoditi berupa satu unit komputer ini tidak hanya dapat mencerminkan komoditi berupa jaket saja. Satu unit komputer dapat mencerminkan berbagai komoditi selain jaket, misalya, dia juga bisa mencerminkan nilai tukar sebuah sepeda, televisi, meja makan, jam dinding, atau alat musik berupa gitar.

Kemampuan 1 unit komputer, sebagaimana penulis tunjukan dalam bentuk skema tersebut, untuk mencerminkan berbagai nilai tukar komoditi, menurut Karl Marx, hal inilah yang dinamakan dengan nilai relatif. Atau dengan kata lain, menurut penulis, dapatlah dikatakan sebagai nilai patokan atau kiblat dari semua komoditi.

Nilai relatif atau pengkiblatan dari berbagai komoditi kepada satu bentuk komoditi ini, dalam perkembangannya, menderivasikan (menurunkan/mewariskan) interaksi pertukaran antara komoditi satu dengan yang lainnya, selain interaksi pertukaran antara 1 unit komputer dengan berbagai komoditi tersebut. Jika orang ingin memiliki 2 buah sepeda, maka dia harus memiliki 50 buah jaket sebagai alat tukarnya (2 buah sepeda >> 50 buah jaket). Jika orang ingin memiliki 3 buah gitar, maka dia harus memiliki 24 jam dinding (3 buah gitar >> 24 buah jam dinding) sebagai nilai tukarnya, dan begitu seterusnya, dimana pertukaran antar komoditi tersebut nilai tukarnya berkiblat kepada 1 unit komputer.

Nilai relatif, yang sebenarnya merupakan pencerminan dari curahan kerja abstrak oleh pekerja pada masing-masing komoditi tersebut, yang mewujud dalam bentuk satu komoditi (1 unit komputer) sebagai patokan atau kiblat, dalam perkembangannya, nilai relatif ini digantikan dengan emas. Yah, emas, sampai dengan saat ini, dijadikan sebagai nilai relatif terhadap berbagai interaksi nilai tukar berbagai komoditi, yang pada saat ini–berbagai komoditi tersebut–digantikan oleh simbol (tanda) berupa uang. Atau dengan kata lain emas disepakati secara sosial sebagai nilai relatif yang menjadi patokan atau kiblat dari berbagai nilai tukar yang pada saat ini menubuh dalam bentuk uang sebagai pengganti komoditi. Untuk lebih jelasnya, berikut ini penulis tunjukan hal ini dalam bentuk skema, sebagai berikut ini:

FETISHISME
Fetisisme adalah mitos atau khayalan. Di dalam dunia pertukaran antar komoditi fetisisme ini muncul dari kalangan ilmuwan-ekonom borjuis. Menurut ekonom borjuis komoditi sebagai kekuatan alat tukar terhadap komoditi lainnya, kekuatannya tersebut muncul dengan sendirinya. Dan karena dia muncul secara spontan dengan sendirinya, maka kemunculannya tersebut diamini oleh manusia dan kemudiaan, akhirnya, nilai tukar yang terkandung dalam komoditi tersebut disepakati secara sosial. Para ekonom borjuis tidak melihat adanya curahan kerja dari pekerja yang memproduksi komoditi yang kemudian mendorong berbagai nilai yang dikandung oleh komoditi tersebut. Anggapan dari para ekonom borjuis yang menganggap bahwa nilai tukar yang terkandung di dalam komoditi terlepas dari curahan kerja para pekerja tersebut, oleh Karl Marx diistilahkan dengan para ekonom vulgar yang terperangkap dalam kesadaran fetisisme.

Sebagaimana telah berusaha penulis ulas sebelumnya, bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam komoditi, seperti nilai pakai, nilai tukar, dan nilai relatif kemunculannya di dorong oleh aktivitas para pekerja yang mencurahkan kerjanya pada suatu obyek (alam) demi untuk terciptanya atau terproduksinya sebuah komoditi. Jadi, tidak benar apabila nilai-nilai yang terkandung di dalam komoditi tersebut muncul dengan sendirinya. Para ekonom borjuis, dengan mengatakan seperti itu, seakan-akan ingin menyampaikan bahwa nilai tukar yang terkandung di dalam komoditi itu adalah roh yang ditiupkan oleh Tuhan ke dalam tubuh-ragawi komoditi. Suatu prilaku yang sangat menggelikan.

Oleh: Kelompok Belajar Kapital

Lanjut Baca di: 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar, mengkritik, di kolum dibawah dengan komentar-komentar serrta kritikan yang ilmiah. study, organisasi, dan revolusi. salam muda kerakyatan, salam sosialisme