Sejarah
Singkat Lahirnya Hari Tani Nasional (National
Farmer’s Day)
Presiden Soekarno menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang kemudian lebih dikenal dengan
sebutan UUPA 1960. Penetapan UUPA dapat dipandang sebagai tonggak sejarah
paling penting dalam sejarah agraria di Indonesia. Struktur agraria warisan
feodalisme dan kolonialisme di masa-masa awal revolusi kemerdekaan yang masih
menjadi problem pokok yang membelenggu kaum tani Indonesia pada saat itu, oleh
pemerintahan Soekarno berupaya dirombak, salah satunya melalui penetapan UUPA
1960.
Kalau kita membuka literatur-literatur yang menjelaskan
sejarah kelahiran UUPA 1960, maka akan terlihat dengan jelas, bahwa cita-cita
yang melandasi ditetapkannya UUPA tidak lain untuk menciptakan pemerataan
struktur penguasaan tanah yang diyakini akan mengangkat penghidupan kaum tani
Indonesia. Bahkan, program landreform (pembaruan agraria) yang menjadi
substansi dalam UUPA 1960, oleh Bung Karno sendiri dalam banyak kesempatan,
selalu disebut sebagai satu bagian mutlak dari Revolusi Indonesia !. Atas dasar
komitmen itu pula Bung Karno kemudian, melalui Keputusan Presiden No. 169 Tahun
1963, menetapkan hari kelahiran UUPA 1960 sebagai Hari Nasional Petani
Indonesia.
Berbagai unsure pergerakan rakyat, baik itu petani, buruh,
pemuda, memperingati hari tani nasional yang jatuh pada tanggal 24 September tiap
tahunnya. namun, sederatan kasus perampasan tanah petani masih saja menjadi
pemandangan yang memilukan dan tak mendapat perlindungan Negara. Dengan adanya
perampasan tanah atas rakyat (petani), tidak sedikit rakyat yang menjadi korban
kekerasan apparatus represif negara (polisi, dan TNI), bahkan sampai berlumuran
darah dan meninggal dunia memperahankan tanahnya.
Perampasan hak atas tanah rakyat (pribumi) telah dipraktekkan
sejak zaman kolonialisme Eropa (Portugis, Inggris, dan Belanda) kemudian di
susul oleh koonialisme Jepang, sekarang kolonialisme berubah wujud menjadi
globalisasi. Istilah globalisasi yang digembar-gemborkan para ekonom, pengamat,
dan politisi borjuis, mengubah gaya penjajahan lama kedunia penjajahan baru,
sehingga nampak bahwa bukan hanya penjajahan dari luar akan tetapi juga dari
dalam (dijajah oleh bangsa sendiri).
Sejak zaman penjajahan, perampasan tanah rakyat sampai
sekarang masih saja terjadi perampasan, baik secara paksa (represif) maupun
dengan sogokan. dengan gaya yang baru, dengan memakai otoritas Negara sebagai
bentuk legitimasi atas hak-hak dasar rakyat yaitu tanah telah menjadi alat
secara legal untuk merampas tanah rakyat. Undang-undang dasar sebagai landasan
hukum Negara telah membeku kaku dan tidak memiliki kekuaan apa-apa, serta hanya
sebagai pajangan konstitusi Negara berdaulat. dengan sekian banyaknya
intervensi Negara asing atas politik, ekonomi dan sosial budaya maka, kerang
kapitalisme-imperialisme, telah terbuka di negara ini dengan mempertahankan
Negara sebagai pelindung dari adaya aksi perlawanan rakyat yang telah dirampas
sumber penghidupannya.
Perlawanan Petani Vs Negara dan Koorporasi
Aksi perlawanan atas kesemenah-menahan pemerintah dan alat
represifitasnya (Poisi dan TNI) yang pro terhadap pemodal, baik pemodal asing
maupun pemodal dalam negeri telah terjadi di berbagai pulau/daerah di Negara
ini, petani dan buruh tani yang tergusur tanahnya oleh pembangunan melakukan perlawanan
atas hak-haknya yang telah dirampas. Dari perlawanan petani tersebut, tidak
sedikit yang menjadi korban banjir darah atas keganasan aparatus represif
Negara. Sederatan perawanan petani versus aparat Negara seperti yang terjadi
pada kasus perampasan tanah petani Rembang Karawang ratusan petani melawan ribuan
aparat polisi, kasus petani Urut Sewu Jawah Tengah dengan PT Mitra Niagatama
Cemerlang (tambang besi) yang dilindungi oleh TNI, perampasan tanah garapan petani
di takalar selawesi selatan, perampasan tanah oleh PT Lonsum di bulukumba Sulawesi
Selatan, kasus petani di Malili Luwu Timur Sulawesi Selatan, dan masih banyak
lagi sederatan kasus perampasan tanah dengan kekerasan di negeri ini.
Data KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), konflik agraria yang
terjadi pada tahun 2011 melibatkan 69.975 kepala keluarga dengan luasan areal
konflik mencapai 472.048,44 hektar. Dari 163 konflik agraria tahun 2010,
rinciannya 97 kasus di sektor perkebunan, 36 kasus di sektor kehutanan, 21
kasus di sektor infrastruktur, 8 kasus di sektor pertambangan, dan 1 kasus di
wilayah tambak atau pesisir. Dari sebaran konflik, Jawa Timur sebagai wilayah
yang paling banyak dengan 36 kasus, disusul Sumatera Utara 25, Sulawesi
Tenggara 15, Jawa Tengah 12, Jambi 11, Riau 10, Sumatera Selatan 9, dan sisanya
tersebar di sejumlah provinsi, dan konflik agraria ini mengalami peningkatan
terus-menerus dari tahun ketahun jika penguasa yang kong-kalikong dengan
pengusaha tetap berkuasa atas hajat hidup orang banyak. (kompas.com).
Perjuangan melawan kemiskinan dan kelaparan bukan saja merupakan kewajiban moral, atau pun sekedar kebijakan arif negara, melainkan lebih mendasar dari itu, kewajiban negara untuk mewujudkan pengakuan hak-hak asasi manusia, harus tetap diserukan dan diperjuangkan. Kewajiban ini secara legal diakui dan didukung oleh mayoritas negara-negara di dunia sebagaimana tercermin dalam dokumen-dokumen hukum international. Pasal 25 dari Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia 1948, menyatakan bahwa “Setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh taraf hidup yang layak bagi kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang, perumahan dan perawatan kesehatan. Dst” Dengan diteimanya Deklarasi HAM tersebut di atas, maka lahirlah berturut-turut dua perjanjian internasional yaitu Perjanjian tentang Hak-Hak Sipil dan Politik; dan Perjanjian tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (HESB),1996, (rumahkiri.net).
Dari rentetan kasus diatas menunjukkan bahwa, konflik perampasan tanah rakyat telah bayak terjadi, dan perampasan itu, di dukung oleh aparatus Negara sebagai perantara yang berpihak pada investor, baik investor asing maupun dalam negeri. Kapitalisme telah bekerja sama sebagai mitra dengan Negara dalam program MP3EI untuk mengakumulasi modal hasil dari perampasan tanah rakyat, kerja buruh dengan upah rendah, penjualan asset-aset vital dan sumber daya alam Negara. Komersialisasi sumber daya alam, dan tidak berlandaskan pada asas kemanusiaan merupakan bentuk Negara-negara kapitalis menjajah Negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Perang saudara, konflik antar warga, perang antar Negara, pengrusakan lingkungan, perampasan tanah, dst. adalah syarat mutlak gerak ekonomi kapitalisme, sepakat atau tidak bersepakat, dunia telah memperlihatkan kita bahwa kapitalisme-neoliberal telah merancang system dengan konsekwensi kepunahan umat manusia, dan sistem ekonomi kapitalisme yang menguasai politik negara telah gagal sebagai teori ekonomi umat manusia serta ideologi yang memanusiakan manusia.
Kepemiikan Negara atas industri manufaktur dan industri mineral melalui kebijakan Word Trade Organization (WTO), Negara kita Indonesia telah kehilangan kepemilikannya, artinya, bahwa perusahaan-perusahaan Negara telah di swastanisasikan dengan alasan mengejar pertumbuhan ekonomi dan ketergantungan atas utang Negara yang membuat pemerintah harus tunduk dan patuh pada keinginan kapitalisme global. Negara Indonesia seperti yang ditulis oleh Bonnie Setiawan dalam bukunya “WTO dan Perdagangan Abad 21” Indonesia menuju pada titik kehancuran baik secara ekonomi maupun politik. Kita telah hidup di tanah yang bukan milik kita lagi tapi, milik para pemodal besar.
Kepemilikan atas tanah yang bukan milik rakyat lagi, maka persatuan perlawanan kaum tertindas harus diwujudkan. mau tidak mau, suka atau tidak suka kita harus melawan dan merebut kembali hak-hak kita yang telah mereka rampas dengan segala tipu daya Negara. Seperti yang saya kemukakan sebelumlanya ini bukanlah soal moralitas, bukan menunggu kebijakan arif dari pemerintah yang pro terhadap pemodal, tetapi ini adalah soal kemanusiaan dan soal mempertehankan hidup selayak-layaknya. System kapitalisme telah memperlihatkan keburukannya, telah merampas hak mayoritas umat manusia. System kapitalisme bukanlah system yang memanusiakan-manusia melainkan sebuah system dimana penguasaan atas hajat hidup orang bayak yang dikontrol oleh segelintir orang yaitu kapitalis (pemodal). Sosialisme jalan sejati pembebasan rakyat tertindas, dan panjang umur perlawanan!
Perjuangan melawan kemiskinan dan kelaparan bukan saja merupakan kewajiban moral, atau pun sekedar kebijakan arif negara, melainkan lebih mendasar dari itu, kewajiban negara untuk mewujudkan pengakuan hak-hak asasi manusia, harus tetap diserukan dan diperjuangkan. Kewajiban ini secara legal diakui dan didukung oleh mayoritas negara-negara di dunia sebagaimana tercermin dalam dokumen-dokumen hukum international. Pasal 25 dari Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia 1948, menyatakan bahwa “Setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh taraf hidup yang layak bagi kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang, perumahan dan perawatan kesehatan. Dst” Dengan diteimanya Deklarasi HAM tersebut di atas, maka lahirlah berturut-turut dua perjanjian internasional yaitu Perjanjian tentang Hak-Hak Sipil dan Politik; dan Perjanjian tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (HESB),1996, (rumahkiri.net).
Dari rentetan kasus diatas menunjukkan bahwa, konflik perampasan tanah rakyat telah bayak terjadi, dan perampasan itu, di dukung oleh aparatus Negara sebagai perantara yang berpihak pada investor, baik investor asing maupun dalam negeri. Kapitalisme telah bekerja sama sebagai mitra dengan Negara dalam program MP3EI untuk mengakumulasi modal hasil dari perampasan tanah rakyat, kerja buruh dengan upah rendah, penjualan asset-aset vital dan sumber daya alam Negara. Komersialisasi sumber daya alam, dan tidak berlandaskan pada asas kemanusiaan merupakan bentuk Negara-negara kapitalis menjajah Negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Perang saudara, konflik antar warga, perang antar Negara, pengrusakan lingkungan, perampasan tanah, dst. adalah syarat mutlak gerak ekonomi kapitalisme, sepakat atau tidak bersepakat, dunia telah memperlihatkan kita bahwa kapitalisme-neoliberal telah merancang system dengan konsekwensi kepunahan umat manusia, dan sistem ekonomi kapitalisme yang menguasai politik negara telah gagal sebagai teori ekonomi umat manusia serta ideologi yang memanusiakan manusia.
Kepemiikan Negara atas industri manufaktur dan industri mineral melalui kebijakan Word Trade Organization (WTO), Negara kita Indonesia telah kehilangan kepemilikannya, artinya, bahwa perusahaan-perusahaan Negara telah di swastanisasikan dengan alasan mengejar pertumbuhan ekonomi dan ketergantungan atas utang Negara yang membuat pemerintah harus tunduk dan patuh pada keinginan kapitalisme global. Negara Indonesia seperti yang ditulis oleh Bonnie Setiawan dalam bukunya “WTO dan Perdagangan Abad 21” Indonesia menuju pada titik kehancuran baik secara ekonomi maupun politik. Kita telah hidup di tanah yang bukan milik kita lagi tapi, milik para pemodal besar.
Kepemilikan atas tanah yang bukan milik rakyat lagi, maka persatuan perlawanan kaum tertindas harus diwujudkan. mau tidak mau, suka atau tidak suka kita harus melawan dan merebut kembali hak-hak kita yang telah mereka rampas dengan segala tipu daya Negara. Seperti yang saya kemukakan sebelumlanya ini bukanlah soal moralitas, bukan menunggu kebijakan arif dari pemerintah yang pro terhadap pemodal, tetapi ini adalah soal kemanusiaan dan soal mempertehankan hidup selayak-layaknya. System kapitalisme telah memperlihatkan keburukannya, telah merampas hak mayoritas umat manusia. System kapitalisme bukanlah system yang memanusiakan-manusia melainkan sebuah system dimana penguasaan atas hajat hidup orang bayak yang dikontrol oleh segelintir orang yaitu kapitalis (pemodal). Sosialisme jalan sejati pembebasan rakyat tertindas, dan panjang umur perlawanan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar, mengkritik, di kolum dibawah dengan komentar-komentar serrta kritikan yang ilmiah. study, organisasi, dan revolusi. salam muda kerakyatan, salam sosialisme