Laman

Rabu, 12 Februari 2014

Undang-undang Pendidikan Tinggi dan Kurangnya Respon Gerakan Mahasiswa yang Tercerai-berai

Kini timbul beberapa pertanyaan dari saya tentang dunia pendidikan dan gerakan perlawanan mahasiswa sebagai manusia seribu macam strategi dan kesadaran tinggi akan penindasan, baik penindasan secara ekonomi, politik, maupun dalam dunia pendidikan yang mereka geluti setiap harinya.

Sedikit bayak mahasiswa yang ingin terlibat dalam perkembangan pendidikan bangsa sendiri, ini terbukti dari sikap kritis yang dimiliki mahasiswa tidak ada lagi, dengan sejumlah aktivitas akademik menyibukkan banyak mahasiswa saat ini untuk menyelesaikan studynya dan mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang sangat tinggi.., agan-agan..!

Indonesia dengan Negara yang jumlah masyarakat terpadat dinuia dan memiliki sumber daya alam yang melimpah, tidak bisa dipungkiri semua Negara lain memperebutkannya menjadi sebagai tuan dan menjadikan budak seluruh penghuninya (pribumi) dari Negara yang tersubur  yang disebut sebgai Negara Republik  Indonesia. Kita kembali pada persoalan pendidikan bangsa ini, beberapa dekade yang lalu mengesahan UU Perguruan Tinggi telah di sahkan oleh DPR-RI sebagai legalitimasi untuk meningkatkan mutu pendidikan dan memberikan aktivitas penuh kepada setiap kampus untuk bisa mandiri, sebuah alasan yang mengada-ngada.!
UU Pendidikan Tinggi (selanjutnya disebut UU PT) yang disahkan pada 13 Juli 2012, terus menuai kritik. Dari sisi para pekerja universitas, UU PT dianggap melegalkan praktek-praktek multi-sistem kepegawaian yang merugikan pekerja dan sudah berlangsung secara ilegal sejak zaman BHMN. Seharusnya, kalau sebuah universitas negeri sudah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), maka semua pegawai juga dirubah statusnya menjadi pegawai universitas yang tunduk pada UU Ketenagakerjaan. Pegawai yang sudah menjadi PNS dialihkan menjadi pegawai universitas, sementara pegawai non-PNS diangkat menjadi pegawai universitas, ini membuktikan bahwa ladang pendidikan Indonesia yang coba dipraktekkan oleh pemerintah adalah berstatus murni sebagai industry dengan mempekerjakan banyak karyawan kontrakan dan sebagian besar berstatus “TIDAK JELAS”. Andri Gunawan mengatakan  melihat praktek perguruan tinggi dalam BHMN seperti UI yaitu ada tiga lapisan pegawai di UI. Ada 4000-an pekerja berstatus PNS, sementara 7000-an berstatus non-PNS. Dari 7000-an yang berstatus non-PNS, hanya 300 orang saja yang berstatus sebagai pegawai universitas. “Sisanya, pekerja tanpa status”.

Perguruan tinggi Indonesia telah murni menjadi ladang bisnis para pemodal dan seluruh kampus bersaing untuk mendapatkan pasar dan tak bisa dipungkiri bahwa seluruh keuntungan yang didapat sebagian besar dari pembayaran orang tua mahasiswa, jika rakyat kecil dengan pendapatan orang tuanya sangat minim seperti para buruh, buruh tani lebih para pedagang kaki lima dan para anak jalanan tidak akan memeliki kesempatan untuk menikmati pendidikan karena setiap perguruan tinggi sangat bernafsu untuk mendapatkan keuntungan.

Mengapa UU PT itu muncul.?

Ada indikasi bahwa UU PT ini didorong oleh Bank Dunia (World Bank). “Ada amanat dari World Bank, setelah BHP dibatalkan agar UU serupa dibuat secepatnya,” tandas Yura. Sejak 2006, Bank Dunia memang sudah mengatakan studi tentang arah pendidikan tinggi di Indonesia sesuai dengan versi mereka. Kemudian, pada 17 April 2010, Bank Dunia mengeluarkan lagi sebuah dokumen berjudul Indonesia: Financing Higher Education. Dalam dokumen itu terlihat jelas bagaimana pendidikan tinggi dibiayai. Masalah pendidikan di Indonesia dilihat sebagai masalah publik yang kurang mengeluarkan uang untuk pendidikan tinggi.[1] Jadi, masyarakat didorong untuk mengeluarkan lebih banyak uang untuk pendidikan tinggi yang dianggap sebagai barang tersier. Proses dokumen Bank Dunia ini berjalan beriringan dengan dimulainya proses sampai menjadi UU PT sekarang ini.

Krisis kapitalisme telah mengantarkan kita pada liberalisasi secara terang-terangan yang dilakukan oleh pada pemodal untuk mempertahankan perputaran modal dan mempertahankan system kapitalisme. Namun, serangan liberalisasi besar-besaran ini tidak disambut dengan derasnya arus perlawanan dengan kesadaran politik untuk sebuah system yang ada. Kita melirik perlawanan mahasiswa yang mungkin sudah paham akan gerakan liberalisasi di dunia-dunia ketiga seperti Indonesia, akan tetapi sebagian mahasiswa sebagai manusia sadar telah di rasuki dan bahkan ada yang menjadi motor penggerak kampanye akan liberalisasi pendidikan. Kita akan membahasnya, ada dengan gerakan mahasiswa..?

Pro-Kontra Mahasiswa Dalam Menyikapi UU PT

Kalau pendidikan tinggi dijadikan ranah bisnis, maka universitas-universitas swasta kecil akan sulit bersaing dan dipaksa untuk merger di antara mereka. Lalu, untuk universitas-universitas besar, negara memang tetap memberikan dana, tapi dana itu sejatinya adalah lump sum, cukup tidak cukup, negara hanya akan memberikan dana dalam jumlah itu. Akibatnya, akan terjadi kekurangan anggaran di tingkat operasional dan kekurangan ini akan diisi oleh kredit dari mahasiswa. Saat ini, berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI) bulan Maret 2012 tentang konsumsi kredit, pendidikan termasuk kredit konsumsi yang menempati ranking atas. ”Pendidikan tinggi harus diprivatisasi dalam kerangka menggenjot kredit konsumsi,” ungkap Gede.

Di Indonesia sendiri, tidak semua kalangan akademik menolak privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Di UI, misalnya, ada kalangan yang justru mendorong terjadinya liberalisasi pendidikan, seperti Emil Salim. ”Ada pasal yang kita sebut pasal Emil Salim,” tandas Andri. Pasalnya, Emil Salim sebagai Wantimpres pernah mengirim surat ke Presiden agar draft RUU PT (waktu itu masih RUU) dirubah pasalnya, sehingga universitas-universitas negeri yang sudah berstatus BHMN langsung ditetapkan menjadi perguruan tinggi badan hukum. Sebelumnya, universitas-universitas negeri diberi pilihan untuk menjadi PTN atau PTN dengan pola keuangan BLU atau Badan Hukum, yang disebut otonomi penuh. Permintaan "Emil Salim" ini kemudian diakomodir. ”Ada di pasal peralihan di UU PT ini,” pungkas Andri.

Di kalangan mahasiswa, juga terjadi hal yang sama. Tidak semua mahasiswa menolak privatisasi pendidikan atau UU PT. Ada juga mahasiswa yang menjadi ”tukang kampanyenya” UU PT. misalnya Di UI, kalangan yang pro-privatisasi pendidikan membuat gerakan Save UI yang kemudian menjadi Gerakan UI Bersih. Mereka pun berusaha merekrut mahasiswa. Namun, BEM seluruh fakultas sudah tidak mau lagi bergabung dengan gerakan itu. ”Kita melihat tendensi mereka untuk menjadikan UI ini otonom,” tandas Robie.[2]

Jika kita menelaah dan mempelajari apa yang disebutka diatas kita bisa menyimpulkan bahwa gerakan mahasiswa tidak sepenuhnya kita andalkan dalam gerakan perubahan secara mendasar kita butuh bantuan dari gerakan rakyat seperti buruh, tani, kaum miskin kota dan seluruh rakyat yang merasa tertindas oleh system yang dijalankan pemerintah ini. Saya teringat apa yang terjadi di negara Chili mahasiswa, pelajar, dan para pekerja (buruh) bersatu dalam satu barisan menentang komersialisasi pendidikan. Dan saya harapkan kepada seluruh element gerakan di indonesia untuk menyatukan gerakan menuju SOSIALISME ILMIAH.

Penulis adalah anggota: Komite-Persiapan Sentra Gerakan Muda Kerakyatan (SGMK)

Referensi:
[1] Strategi melawan komersialisasi pendidikan oleh Prof. Dr. Sofian Effendi
[2] UU Pendidikan Tinggi dan Hak Atas Pendidikan di Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar, mengkritik, di kolum dibawah dengan komentar-komentar serrta kritikan yang ilmiah. study, organisasi, dan revolusi. salam muda kerakyatan, salam sosialisme