Catatan ringkas ini tidak akan
menjelaskan panjang lebar soal teori-teori negara, namun hanya
menunjukkan bentuk aktual dari negara yang menindas perempuan. Soal
negara sendiri bukan hal yang agung, tapi menyangkut sejarah masyarakat
dimana asal usul negara bisa diketahui, apalagi menyangkut wilayah
tertentu. Dalam sejarah ini, kita mengetahui munculnya keluarga
patriarhhal sebagai transisi dari keluarga kekerabatan klasik menuju
keluarga monogami modern.
Apa yang perlu digarisbawahi
dari munculnya keluarga patriarkhal sebagai sejarah kekalahan perempuan
bukan hanya suatu ‘revolusi’ dalam tatanan masyarakat, tetapi salah
satu pengalaman yang sangat menentukan dalam sejarah kemanusiaan.
Perubahan mendasar bisa terjadi tanpa menghancurkan salah satu anggota
masyarakat (kaum lelaki). Karena industri besar telah memindahkan
perempuan dari rumah ke pasar kerja dan pabrik sehinga perempuan
menjadi pemberi nafkah keluarga, maka sisa-sisa terakhir dari dominasi
laki-laki dalam rumah tangga kelas pekerja sudah kehilangan semua
dasarnya, kecuali mungkin tinggal brutalitas terhadap perempuan yang
masih terikat kuat pada stabilitas keluarga monogamy ala borjuasi.
Jadi, keluarga kelas pekerja tidak lagi merupakan monogami dalam
pengertian ketat, bahkan dalam soal gairah cinta dan ikatan cinta kasih
yang sangat kuat dari kedua belah pihak. Perempuan sekarang sudah
menyadari hak cerai dan ketika lelaki dan perempuan tidak bisa hidup
bersama lagi, mereka pun bercerai.
Namun, kendala pembebasan
perempuan ini tetap menyangkut organisasi reproduksi dari keluarga
individual, jadi juga menyangkut pertumbuhan populasi dalam masyarakat.
Ketika perempuan pekerja memenuhi kewajibannya sebagai pelayan pribadi
keluarga, dia disisihkan dari produksi publik dan tidak bisa
mendapatkan penghasilan lagi. Sebaliknya, ketika dia ingin mengambil
bagian dalam industri publik dan mendapatkan penghasilan secara
independen untuk hidupnya, dia tidak bisa memenuhi
kewajiban-kewajibannya. Keluarga monogami dalam rumah tangga kelas
pekerja perempuan sesungguhnya rapuh, oleh karena itu, premis awal dari
emansipasi perempuan adalah keterlibatan kembali seluruh perempuan
dalam industri publik sehingga kualitas yang ada dalam keluarga
individual sebagai unit ekonomi masyarakat bisa dihapuskan. Dengan
mengalihkan sarana-sarana produksi pada pemilikan umum, maka keluarga
individual akan berhenti menjadi satuan ekonomi masyarakat. Urusan
rumah tangga kemudian ditranformasi menjadi industri sosial dan
pemeliharaan serta pendidikan anak-anak menjadi masalah publik.
Sementara itu, setelah
penghapusan keluarga di antara kelas pekerja pada tahap awal dari
revolusi industri, kapitalisme berupaya menerapkan bentuk keluarga
borjuis pada paruh kedua abad ke 19 sebagai cara satu-satunya untuk
meyakinkan generasi pekerja masa depan. Oleh karena itu, hukum sipil
dan khutbah keagamaan gencar membatasi keterlibatan perempuan dalam
kerja industrial. Namun, sejak Perang Dunia II, gerak akumulasi kapital
yang tanpa kenal kasihan sudah menghancurkan hambatan-hambatan ini,
sehingga bahkan di negara-negara yang didominasi oleh moral Khatolik
atau hukum Islam, jumlah perempuan yang bekerja meningkat tajam,
sementara di Inggris, mayoritas perempuan sudah bekerja.
Akan tetapi, reproduksi tetap
diprivatisasi, meskipun negara mempunyai peran yang lebih besar dalam
pelayanan sosial dan pendidikan pada era negara kesejahteraan
diterapkan. Banyak perempuan mendapatkan penghasilan dan berharap hidup
secara bebas, namun mereka tetap harus kembali memelihara anak dalam
batas-batas keluarga monogami. Di luar kondisi ini berkembang
perlawanan di antara baik kaum perempuan maupun laki-laki terhadap
kondisi-kondisi historis dari masa silam: gaji rendah, diskriminasi
seksual, komoditas tubuh perempuan, kekerasan dalam keluarga,
kekecewaan dan sesal atas perkawinan yang hancur. Hanya saja perlu
dicatat bahwa di satu sisi, emansipasi perempuan saat ini cenderung
menjadi wacana dan tuntutan perempuan “kelas menengah” keatas karena
kekuasaan politik dan sistem kekerabatan patriarkhi (termasuk kasus
perceraian) yang membatasi peran kaum perempuan ini, di sisi lain, kaum
perempuan dari kelas-kelas tertindas dan tersisih dari ekonomi formal
kapital, bekerja dalam rumah tangga kelas borjuis dalam mengasuh anak
atau urusan rumah tangga. Karena itu, masalahnya penindasan perempuan
sesungguhnya tidak terkait dengan masalah gender, tapi pembagian kerja
dalam tatanan masyarakat borjuis. Bahkan pelacuran maupun bentuk-bentuk
eksploitasi seks lainnya juga berlangsung dalam konteks kehidupan
kelas menengah ini. Jadi, emansipasi perempuan sesungguhnya tetap
berkaitan dengan kondisi-kondisi kelas dalam sejarah masyarakat, bukan
konsepsi ideal dan liberal. Hanya saja, perlawanan-perlawanan yang
berlangsung dari semua kelas tertindas dalam menuntut kehidupan lebih
baik bertentangan dengan tatanan masyarakat borjuis yang justru
membunuh harapan ini.
Inilah kontradiksi-kontradiksi
dalam upaya pembebasan perempuan dalam tatanan masyarakat borjuis.
Kontradiksi-kontradiksi ini pada akhirnya mengarah pada perjuangan
kelas pekerja melawan kelas borjuasi dan negara yang mengesahkan dan
melembagakan pemilikan individual atas kekuatan-kekuatan produksi,
karena disanalah kontradiksi pokok yang menyebabkan penindasan terhadap
perempuan sebagai bagian kelas tertindas yang sama dengan laki-laki
pekerja.
Ditulis Oleh: Hidayat Purnama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar, mengkritik, di kolum dibawah dengan komentar-komentar serrta kritikan yang ilmiah. study, organisasi, dan revolusi. salam muda kerakyatan, salam sosialisme