PERNYATAAN SIKAP BERSAMA
Solidaritas Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan & Rakyat Marginal
Hari Perempuan Internasional diperingati
setiap 8 Maret di seluruh dunia sebagai peringatan perjuangan perempuan dari berbagai bentuk diskriminasi, penindasan dan ketidak adilan di
berbagai bidang. Sejak
PBB mengadakan Konferensi Perempuan Sedunia Pertama tahun 1975, International Women’s Day (IWD) menjadi bagian takterpisahkan dalam jaringan perjuangan perempuan sedunia. Sejaksaat itu, Hari perempuan Internasional diperingati di
berbagai belahan dunia termasuk Indonesia,
tanpa terkecuali
di SulSel. Pada Hari Perempuan Internasional tahun ini,
jaringan masyarakat sipil & kelompok muda mahasiswa/i yang tergabung dalamSolidaritas Anti
KekerasanTerhadapPerempuandan Rakyat mengusung tema“Ciptakan Rasa
AmanbagiPerempuandan Rakyat Marginal”.
Tema ini diambil dengan melihat fakta dan kondisi perempuan dan kelompok marginal yang masih mengalami penindasan di berbagai aspek kehidupan. Sistem sosial
yang partiarkhi telah mengontrol tubuh, pikiran, dan hasil kerja perempuan,
sehingga perempuan dipinggirkan dan
terpinggirkan dari berbagai sistem termasuk dalam pengambilan keputusan. Sistem penindasan perempuan, baik yang dilakukan sosial
maupun negara, telah menjadikan perempuan kehilangan kedaulatannya untuk menentukan hidup dan sumber-sumber kehidupannya.
Situasi tersebut berdampak pada penindasan berlapis terhadap kedaulatan perempuan, mulai di dalam keluarga, masyarakat, tempat kerja dan bahkan
Negara. Sehingga rasa aman perempuan menjadi terancam.
Minimnya jaminan perlindungan bagi perempuan buruh migrant dan anggota keluarganya memnjadikan buruh migrant rentan mengalami penindasan berlapis mulai dari pra sampai kepulangan.Undang-undang Nomor
39 Tahun 2004 yang khusus mengatur mengenai Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di LuarNegeri, lebih banyak mengatur mengenai aspek penempatan disbanding aspek perlindungannya.
Pemerintah gagal menterjemahkan Konvensi Migran
1990 kedalam RUU Revisi UU No. 39/2004 malahan mengeluarkan kebijakan yang semakin menindas dan mendiskriminasi Perempuan buruh migran. Artinya,
lagi-lagi Negara juga menjadi pelaku penindasan terhadap perempuan. Begitupun yang dialami oleh pekerja rumah tangga
(PRT) serta mereka yang memilih bekerja di Industri manufaktur, kerap kali menjadi korban kekerasan seksual. Dengan adanya PP No. 78 Tahun
2015 tentang Pengupahan,
maka penetapan upah buruh berpatokan pada tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi, Bila tingkat inflasi 5% dan pertumbuhan ekonomi 5%, maka total
kenaikan upah adalah 10%. Hal ini sangat merugikan bagi kaum pekerja/buruh baik laki – laki maupun perempuan, dampak bagi kaum pekerja akan jauh dari kata sejahtera,
buruh akan kehilangan haknya dalam menentukan besaran upah. PP Pengupahan merupakan upaya pemiskinan structural dan menutup ruang demokrasi karena membungkam aspirasi buruh.
Penindasan perempuan lewat perampasan sumber-sumber daya alam akibat investasi dihadapi oleh perempuan dalam berbagai konteks.Di
wilayah pedesaan,
perempuan petani kehilangan tanah untuk digarap akibat alih fungsi lahan-lahan produktif menjadi perkebunan skala besar, pertambangan, proyek-proyek infrastruktur, proyek perubahan iklim.Sementara,
perempuan pesisir kehilangan ekosistem lautnya, sehingga kehilangan
pula sumber kehidupannya akibat proyek infrastrktur termasuk reklamasi pantai. Pola investasi juga mengakibatkan
air yang merupakan hak asasi manusia berubah menjadi komoditas ekonomi. Data
pemantauan atas air bersih
yang telah dilakukan perempuan, tiga bulan terakhir menunjukkan 35,15
% menyatakan buruknya pelayanan perusahaan daerah air di 3 wilayah Kecamatan Bangkala, Ujung Tanah,
Tallopesisir Kota Makassar. Hal itu berdampak pada terlanggarnya hak atas air di mana perempuan menjadi pihak yang
mengalami persoalan berlapis akibat privatisasi air.
Berbagai peraturan perundang-undangan masih mencantumkan banyak kebijakan
yang mendiskriminasi perempuan berdasarkan norma-norma, adat istiadat/kebiasaan dan prasangka social budaya.walau perempuan punya peran penting dalam kelangsungan hidup keluarga dan masyarakat serta kontribusi mereka bagi pembangunan,
namun mereka telah dipinggirkan dari kehidupan politik, ekonomi, dan social budaya serta proses pengambilan keputusan,
yang bagaimana pun juga menentukan pola kehidupan mereka sehari-hari dan menentukan masa depan masyarakat. Sementara dunia dan konstitusi, dalam hal ini
CEDAW yang telah diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1984 tidak membenarkan perlakuan diskriminatif terhadap siapapun,
baiklaki-laki dan perempuan.
Dalam situasi
di atas, perempuan harus sadar dan bertindak untuk merebut kembali kedaulatan atas seksualitas, pekerjaan, sumber pangan dan sumber kehidupannya untuk dapat melawan berbagai bentuk penindasan perempuan. Rasa aman bagi perempuan dan rakyat menjadi keharusan untuk diciptakan oleh pemerintah, sebagaimana tanggung jawab Negara untuk menghormati, memenuhi dan melindungi hak setiap warga negaranya. Rasa aman dari ancaman penggusuran, rasa aman dalam berekspresi,
rasa aman dalam beribadah dan berkeyakinan, rasa aman di sector pendidikan/kampus, rasa aman dalam bekerja adalah sesuatu yang
harus kita rebut
bersama. Karena persoalan perempuan adalah persoalan sosial, sehingga perlu gerakan bersama dalam merespon segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan rakyat marginal.
Berdasarkan fakta diatas, maka sebagai bentuk penolakan terhadap kekerasan di Sulsel, kami yang tergabung dalam Solidaritas Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Rakyat menyatakan sikap dan tuntuntan:
1. Kembalikan Hak Rakyat atas
pengelolaan Sumber Daya Alam danHentikan “Reklamasi”Pesisir
Kota Makassar.
2.
Wujudkan
Perlindungan Perempuan Buruh Migran Dan Keluarganya di Sulawesi Selatan. Peraturan yang dimaksud harus
mengacu sepenuhnya pada Konvensi Perlindungan Buruh Migran Dan Anggota
Keluarganya serta melakukan harmonisasi terhadap CEDAW dan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO).
3.
Naikkan
upah buruh50%&Cabut PP 78 tentang Pengupahan.
4.
Ratifikasikonvensi ILO 189 danSahkan RUU PekerjaRumahTanggasebagaiwujudpengakuandanperlindunganbagi
PRT.
5.
Menolaksegalabentukperaturan yang memfasilitasiinvestasi
yang merampassumber-sumberhidupdankehidupanperempuan.
6.
Selamatkan
‘Pita’ dan semua BuruhMigranIndonesia di luar negeri dari “hukuman mati”.
7.
Cabut
PeraturanDiskriminatif yang menyasarseksualitastubuhperempuan, yang mengekang kebebasan berekspresi serta kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap warga negara
Indonesia.
8.
Pemerintah
daerah Sulawesi Selatan (Eksekutif dan Legislatif) untuk mengambil
langkah-langkah konkrit sebagai bentuk tanggungjawab pemerintah atas penghormatan,
pemenuhan dan perlindungan hak-hak rakyatnya, terutama perempuan sesuai dengan instrument dan
mekanisme HAM nasional dan internasional.
9.
Menolak
kebijakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang diskriminatif terhadap perempuan dan rakyat
yang mengekang
kebebasan berekspresi dan berkreatifitas masyrakat, khususnya di Sulawesi
Selatan.
10. Wujudkan Pendidikan gratis,
Ilmiah dan demokratisyang berspektif Gender.
Makassar, 8 Maret 2016
Solidaritas Anti KekerasanTerhadapPerempuandan Rakyat
(SPAnging Mammiri, GSBN, LBH Makassar,
GIPA, PerempuanAmanSulsel, SRIKANDI, JalinHarmoni, KSM, KopriCabang Makassar,
Pembebasan, Komunal, FMD - SGMK, FMK, GRD, FGM, FOSIS UMI, PMII Hukum, HIMA-AK
UNM, FOISC, SJPM, WALHI Sulsel)