Laman

Kamis, 27 Februari 2014

Tulisan: "Postmodernisme dari persepektif Materialisme Dialektik"


Sebagai sebuah aliran pemikiran idealis yang cukup dominan di dunia akademis, meskipun belum menjadi ideologi dominan borjuasi, postmodernisme adalah sebuah tantangan. Sebelum menjawab tantangan ini, kita harus memahami terlebih dahulu postmodernisme. Makalah ini mencoba memahami postmodernisme dari asal-usul sejarah masyarakat secara global dan kemudian mengajukan kritik terhadapnya.  


1. Asal Usul Historis Postmodernisme: Ekonomi Politik Internasional dan Pandangan tentang Masyarakat dan Ilmu

Dalam memahami Postmodernisme, kita tidak mungkin hanya mengacu pada substansi pemikirannya, karena kehadiran postmodernisme sejak dasawarsa 1970an sangat terkait dengan kondisi ekonomi politik internasional pasca Perang Dunia II sebagai perang antar negara imperialis. 
Dalam Perang ini, di satu sisi ada negara-negara fasis: Jerman, Italia dan Jepang, sementara di sisi lain ada Sekutu dan negara sosialis baru, yakni Uni Soviet dan satelitnya. Sementara itu, pada dasawarsa 1940an, masyarakat China sendiri masih melancarkan perjuangan kemerdekaan melawan fasisme Jepang dalam koalisi antar partai nasionalis (partai Kuo Min-tang pimpinan Chiang Kai-sek) dan Partai Komunis China. Koalisi ini juga terjalin karena nasehat dan seruan Uni Soviet dibawah pimpinan Stalin. Namun, pembantaian ribuan kaum komunis oleh partai nasionalis China itu adalah pelajaran berarti sehingga Partai Komunis China yang program-programnya secara nyata melawan imperialisme fasis Jepang, mulai melancarkan perang internal terhadap partai nasionalis China itu. Di bawah kepemimpinan Mao, mereka mulai mengadakan long march tentara rakyat dari China Selatan untuk menyerang kekuasaan Kuo Min-tang yang reaksioner terhadap kebangkitan rakyat China melawan imperialisme Jepang.
Jadi, posisi Uni Soviet yang menyarankan koalisi ini menimbulkan bencana bagi perjuangan revolusioner rakyat China melawan imperialisme Jepang. Setelah Stalin digantikan Kruschev, pendirian ini tidak berubah, bahkan setelah Partai Komunis China dibawah pimpinan Mao dan kekuatan revolusioner China melancarkan serangannya terhadap kaum nasionalis Kuo Min-tang sampai mereka mampu mengalahkan partai nasionalis ini dan memproklamasikan negara Republik Rakyat China pada tanggal 1 Oktober 1949.

Setelah Perang Dunia II, ketegangan politik dunia menyangkut: persekutuan Uni Soviet yang mengambil jalan damai dengan kaum imperialis AS dan sekutunya, Revolusi Kebudayaan Rakyat China dan pendirian revolusioner China pada Era Mao (sampai wafatnya tahun 1976) dalam mendukung perjuangan pembebasan nasional dan kekuatan revolusioner melawan kolonialisme Eropa (Prancis, Belanda, Spanyol) di Afrika, Asia dan Amerika Latin.

Oleh karena itu, imperialisme setelah Perang Dunia II mencakup:
  • Hegemoni AS dan Imperialisme di kawasan barat secara ekonomi, politik, keuangan dan militer;
  • Pembenahan blok politik di negara-negara imperialis di Eropa dan Jepang untuk melawan blok Soviet;
  • Meningkatnya biaya negara untuk mengintegrasikan kelas pekerja dalam sistem kapitalis, atau dikenal dengan ‘negara kesejahteraan’, dengan kata lain kapitalisme monopoli negara;
  • Pembengkakan ekonomi militerisasi secara permanen, terutama di AS.
Sementara itu, Neo kolonialisme di negara Dunia Ketiga[1] mencakup:
  • Krisis imperialisme Eropa di negara-negara jajahan, perjuangan kemerdekaan politik dari borjuasi nasional selama dan setelah Perang Dunia II, hubungan partai-partai Stalinis dengan borjuasi nasional, seperti di China dengan Kuomintang, revolusi China dan Vietnam;
  • Penindasan perjuangan rakyat dan menerapkan kembali kekuasaan kolonial (status quo)dibawah kekuasaan militer dari imperialisme AS dan lembaga keuangan internasional;
  • Perkembangan kapitalisme global tergantung pada pemerasan luar biasa dari upah murah, syarat-syarat perdagangan yang berat sebelah dalam pemerintahan diktator yang anti demokrasi dan campur tangan langsung dari negara-negara imperialis;
  • Kekuasaan kapital multinasional dan pembagian kerja internasional yang tidak adil, penghancuran pertanian tradisional dan pengenalan ekspor tunggal dari hasil pertanian.
Posisi Uni Soviet ini sendiri akhirnya menarik dukungan perjuangan revolusioner dari kawasan kolonialisme dan hanya mendukung perang rakyat anti kolonial sebagai diplomasi (bargaining)dengan imperialis AS dan sekutunya. Apalagi, di kawasan Eropa Timur dan Asia Barat, Uni Soviet menegaskan kepemimpinannya dalam blok sosialis, bahkan dengan menindas pemberontakan rakyat di Berlin Timur 1953 dan Hungaria 1956, serta pendudukan militer di Cekoslovakia pada bulan Agustus 1968. Dengan demikian, hanya China pada era Mao yang berdiri pada posisi mendukung perjuangan pembebasan nasional dan kekuatan revolusioner di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Dukungan nyata ini pertama-tama terbukti dalam Perang Korea pada 1950-1953 dan Perang Vietnam. Dukungan terhadap perang ini tidak hanya menjadi pendirian Negara China di bawah pimpinan Partai Komunis China-Mao, namun dari seluruh rakyat, entah sebagai sukarelawan atau aksi-aksi long march besar-besaran di seluruh penjuru China.

Di luar daratan China, RRC pada era Mao juga mendukung perjuangan pembebasan di Afrika termasuk Aljazair sebagai kawasan koloni Prancis seperti halnya Vietnam, perjuangan rakyat Palestina melawan imperialisme AS dan Inggris, dan yang paling penting adalah dukungan terhadap konferensi Asia-Afrika sebagai kekuatan non blok di luar Uni Soviet dan AS-Sekutu. Meskipun demikian, kecuali bantuan militer yang besar dalam perang Korea dan Vietnam, China hanya memberikan bantuan terbatas untuk perjuangan pembebasan nasional di Afrika dan Asia secara umum, dan menekankan ekonomi berdikari serta garis perjuangan massa dalam melawan imperialisme-neo kolonialisme.
Ketegangan internasional ini sesungguhnya ditentukan oleh perebutan kekuatan-kekuatan produksi: antara ekonomi politik independensi-revolusioner dan imperialisme-neo kolonialisme. Posisi pertama tentu saja berbasis sosialisme Marxis dan posisi kedua berbasis liberalisme AS-revisionisme modern Uni Soviet. Inilah sejarah perjuangan kelas global pada dasawarsa 1940an-1960an: antara bangsa-bangsa terjajah dan bangsa-bangsa penjajah serta antara kelas-kelas tertindas dan kelas-kelas yang berkuasa di kawasan Afrika, Asia dan Amerika Latin, jadi antara independensi nasional-sosialis dan imperialisme-neo kolonialisme.
Oleh karena itu, pada dasawarsa 1960an, politik dunia bergolak dalam bentuk aksi-aksi rakyat Amerika Serikat menentang perang Vietnam yang dilancarkan oleh rejim imperialis, perang-perang gerilya di Afrika, pembantaian massal anggota Partai Komunis Indonesia dan simpatisannya serta pelarangan Marxisme secara legal di Indonesia, intervensi militer Uni Soviet di negara-negara satelitnya, pembangunan pangkalan-pangkalan militer AS di kawasan Asia Pasifik dan Timur Tengah, aksi buruh dan student di Prancis dalam menentang rejim negaranya yang menerapkan politik upah murah dan sistem pendidikan yang represif. Peristiwa penting lagi adalah kebangkitan revolusioner yang mengejutkan dari Partai Panther Hitam di jalan-jalan Oakland, California dan ledakan aksi dari lebih seratus kota ketika pemimpin perjuangan masyarakat sipil, Martin Luther King, Jr. dibunuh pada bulan April 1968, yang menandai pemusatan perjuangan melawan supremasi kulit putih dan signifikansi dari kemajuan hak-hak sipil dalam pembebasan kulit hitam.

Lalu dimanakah posisi Prancis sebagai tanah kelahiran postmodernisme? Sejak tahun 1830, Prancis adalah imperium kolonial di kawasan Afrika Utara dan Afrika Barat Aljazair, Tunisia Maroko dan Senegal, Indochina (Vietnam dan Kamboja), Komoro di Madagaskar, Tahiti di kawasan samudera Pasifik, kawasan Karibia, Amerika Latin dan Kanada di Amerika Utara. Perang Dunia I dan krisis ekonomi kapitalis pada tahun 1929-1930, berdampak besar pada negara Prancis serta mendorong Perang Dunia II setelah Revolusi Oktober 1917 di Rusia dan munculnya negara fasis Jerman dan Italia.

Dalam Perang Dunia II, di bawah rejim kolaboratif Vichy Prancis[2], kelompok-kelompok gerilya kecil terbentuk pasca serangan Jerman ke Paris. Kelompok-kelompok ini diorganisasikan dengan baik di kawasan selatan dan menarik dukungan dari pelbagai partai, terutama kaum komunis. Kontak dengan pemerintahan de Gaulle yang menjalankan pemerintahan di London dan perlawanan di Prancis terus meningkat. Secara bertahap, de Gaulle mampu mengontrol perlawanan rakyat Prancis dari luar negeri.

Pada tahun 1943, de Gualle pindah ke Aljazair setelah bertentangan dengan Churchill dan presiden AS, Franklin Roosevelt.  Selama perang berkecamuk melawan pendudukan Jerman, tuntutan tenaga kerja untuk industri perang Jerman semakin besar dari Prancis, sehingga tingkat perlawanan kelas pekerja Prancis semakin meningkat. Selama 1944, rakyat Prancis menunjukkan perlawanan berarti terhadap Jerman. Setelah pasukan Sekutu mendarat di Normandia pada tanggal 6 Juni 1944, Prancis secara bertahap dibebaskan dari pendudukan Jerman. Kaum komunis kemudian berupaya mengambil alih kekuasaan, terutama melalui perlawanannya terhadap Jerman di Paris pada bulan Agustus 1944. Namun, de Gaulle akhirnya mampu mengukuhkan kekuasaannya di seluruh Prancis. Pemerintahan sementara terbentuk di bawah kepemimpinan de Gaulle. Serangan terhadap kolaborator Nazi, pemerintahan Vichy, dilancarkan. Kira-kira 10.000 orang dihukum mati dan 40.000 orang dipenjarakan. Laval diadili dan dihukum mati. Pétain juga diadili dan didakwa hukuman mati, namun diperingan dengan penjara seumur hidup.

Meskipun pemerintahan de Gualle secara umum berhasil mereformasi kapitalisme dan integrasinya dengan pasar bersama Eropa, namun ia kurang berhasil menyelesaikan masalah kolonial. Di Vietnam, gerakan-gerakan perlawanan rakyat dilancarkan pada Jepang yang menduduki Vietnam selama Perang Dunia II. Setelah Perang, gerakan-gerakan ini mengarah pada perlawanan terhadap imperialisme Prancis. Dari tahun 1946 sampai 1954, tentara Prancis berupaya menekan perlawanan rakyat Vietnam di bawah pimpinan Ho Chi Minh dan mengalami kekalahan yang memalukan di Perang Indochina ini. Pemicu perang ini adalah kegagalan Republik Demokratik Vietnam dan Pemerintahan Prancis dalam kesepekatan kompromis tentang kekuasaan Prancis di Vietnam setelah Perang Dunia II. Selama tahun 1950, Partai Komunis China mendukung penuh perjuangan Vietnam, sebaliknya AS mendukung Prancis. Setelah kekalahan ini, Perdana Menteri Prancis, Mendès-France menarik kekuatan militernya dari Vietnam dan menghadapi masalah penyerahan kedaulatan di Maroko dan Tunisia.

Pemerintahan Prancis juga menghadapi kondisi yang lebih sulit di Aljazair dan mayoritas bangsa Aljazair menginginkan kemerdekaan meskipun sekitar satu juta orang Eropa di sana menuntut perlindungan dari kekuasaan Prancis. Perang kemerdekaan pecah pada tahun 1954 di Aljazair dan sejumlah besar pasukan Prancis yang dikirimkan ke Aljazair mulai dikurangi. Dalam perang inilah, China juga mendukung perjuangan rakyat Aljazair dengan melatih para gerilyawan di kamp-kamp militer rahasia. Pendirian ini sangat bertentangan dengan Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) yang menarik campur tangan terhadap perjuangan rakyat di kawasan kolonial berdasar tiga jalan revisionis mereka: hidup berdampingan secara damai dengan imperialisme AS, persaingan damai antara blok kapitalis dan blok sosialis, dan transisi damai menuju sosialisme. Partai Komunis Prancis bahkan berpendirian bahwa Aljazair adalah bagian dari Prancis. Oleh karena itu, China menganggap PKUS dan partai-partai komunis yang berpendirian sama dengannya sebagai “para pembela neokolonialisme.”

Dalam kondisi politik internasional ini, pada bulan Mei 1968, buruh Prancis melancarkan pemogokan terbesar dalam sejarah. Ia dikobarkan oleh krisis politik yang bertolak dari pemberontakan student di Paris. Aksi ini juga berlangsung dengan latar belakang kebangkitan perjuangan kaum perempuan dan kulit hitam di akhir dasawarsa 1960an dan radikalisasi pemuda secara global.

Partai Komunis Prancis dengan salah satu jajaran pemimpinnya adalah Louis Althusser, tidak mendukung gerakan massa ini, karena pendirian mereka yang sama dengan revisionisme modern dari Partai Komunis Uni Soviet. Selain itu, ia adalah bagian dari rejim de Gualle dan meskipun pernah membangun front persatuan rakyat melawan Nazi Jerman pada masa Perang Dunia II, popularitasnya sangat merosot karena pendirian-pendirian yang revisionis dan reaksioner, terutama terhadap perjuangan kemerdekaan Aljazair.

Pada dasawarsa 1960an ini, Marxisme sangat dominan dalam melandasi perjuangan rakyat dunia yang sedang bergolak sampai di Eropa Barat dan Amerika Serikat sebagai kota metropolitan dari imperialisme. Kiblatnya tidak ada lagi kecuali China pada era Mao yang di dalam negeri sendiri juga sedang menghadapi sosok-sosok pimpinan Partai Komunis China yang menempuh jalan kapitalis atau merestorasi kapitalisme seperti Deng Xiaoping dan faksinya. Sampai pada dasawarsa 1970an, tradisi ilmiah di universitas secara global masih sangat kuat dipengaruhi oleh Marxisme. Di atas perang rakyat dan radikalisasi pemuda melawan kapitalisme, imperialisme dan neo kolonialisme inilah, para pemikir postmodernis seperti Foucault, Derrida, Lyotard and Baudrillard melancarkan serangan pemikiran terhadap Marxisme. Di samping mereka, kesimpulan yang sama dicapai dari sudut pandang berbeda, yakni pendirian “neo-skeptis” dari filsafat modern Amerika: Quine, Rorty, De Man and Stanley Fish. Karya para filosof Amerika ini pun secara khusus mengajukan kritik terhadap Marxisme.

Dalam menanggapi gerakan massa pada bulan Mei 1968, psikolog postmodernis, Deleuze dan Guattari berpendapat bahwa Mei 1968 adalah molekul… tidak bisa direduksi pada wilayah kelas. Letusan perjuangan kelas pekerja setelah kekalahan tiga dasawarsa di Eropa Barat, sepenuhnya diabaikan oleh analisa postmodernis tentang aksi Mei 1968. Analisa postmodernis lainnya mengungkapkan, “Paris sedang bergolak. 10 juta rakyat Prancis turun aksi. Long March damai ini kemudian menjadi perang: barikade, pembakaran mobil dan pelemparan bom molotov. Bahkan fakultas Baudrillard dikacaukan selama dua bulan. Siapa yang bertanggung jawab? Mereka adalah student yang dikenal dengan Enragés (kaum maniak) dan beberapa diantaranya adalah murid Baudrillard. Namun mereka diilhami oleh Situasionis Internasional. Revolusi ini gagal. Beberapa sejarahwan menganggapnya kadaluwarsa karena student memasuki libur musim panas.”[3]

Faktanya, 10 juta demonstran adalah buruh. Sementara mayoritas student radikal bukan mendapat ilham dari Situasionis Internasional, namun dari Leninisme, Trotskyisme dan Maoisme, jadi secara umum Marxisme. Revolusi May 1968 gagal karena kekuasaan Partai Komunis Prancis yang Stalinis-revisionis, melumpuhkan buruh dan memisahkan mereka dari pemberontakan student.

Lalu apa isi pandangan para pemikir postmodernis tentang masyarakat dan ilmu? Selama satu dasawarsa, mayoritas intelektual Prancis mengabaikan Marxisme dan secara terbuka memeluk kapitalisme Prancis. Mereka yang masih ingin mempertahankan pendirian kritis terhadap kapitalisme tanpa Marxisme harus mengembangkan strukturalisme dalam ortodoksi anti rasional. Sebastiano Timpanaro[4] menjabarkan peran penting Louis Althusser yang memadukan Marxisme dengan strukturalisme dalam mengendapkan transisi serangan terhadap Marxisme.

Frederick Jameson kemudian memaparkan kondisi postmodern ini sebagai berikut: “Berapa tahun terakhir ditandai dengan pandangan masa depan yang terbalik… matinya ideologi, seni atau kelas sosial, ‘krisis’ Leninisme, demokrasi sosial atau negara kesejahteraan, dsb). Semua ini adalah tanda dari apa yang disebut postmodernisme.”[5] Jameson kemudian mengunngkapkan kondisi masyarakat pasca industri, teori chaos dalam ilmu pengetahuan dan tentu saja “berakhirnya sejarah“. Sebagai serangan pada apa yang disebut narasi agung Marxisme, kritik postmodernisme bisa diabstraksikan sebagai berikut:
  • tidak ada kebenaran obyektif yang bisa dipahami pemikiran ilmiah;
  • tidak ada subyek manusia yang bebas, individu hanya hasil hubungan dengan pengaruh luar dan unsur-unsur determinan;
  • bahasa tidak merepresentasikan realitas, karena itu konsep ideologi sebagai kesadaran palsu tidak bermakna;
  • kemajuan dan keharusan sejarah tidak bermakna: formasi sosial dalam sejarah, sosiologi dan antropologi harus dipetakan, bukan dinilai dan dikategorisasi;
  • gerakan sosial atau masyarakat yang didasari kemungkinan pengetahuan ilmiah dan kebenaran obyektif bersandar pada “narasi agung” ketimbang logika internal yang mengesahkan eksistensinya; semua “meta-narasi” ini hanya mengesahkan penindasan;
  • perjuangan kelas dan sosialisme adalah contoh dari meta-narasi ini dan sudah ketinggalan zaman dalam dunia modern;
  • perlawanan terhadap penindasan yang tidak beralih pada penindasan lainnya adalah perlawanan terbatas, bersifat lokal dan kecil, seperti tertuang dalam analisa gerakan sosial baru. Bentuk perlawanan yang pokok adalah mengubah diri kita sendiri, mengolah kehidupan kita dalam “karya seni”.
Seni modern sendiri membantu mendefinisikan aspek penting dari ideologi borjuasi pada tahap imperialisme. Lapisan kecil dari borjuasi mampu mendorong dinamisme dari sistem mereka dan liberalisme ekonomi politik mereka melalui kreativitas seni progresif. Setelah 1945, imperialisme mengalami “masa kejayaan”. Pengukuhan imperlisme AS yang mencakup CIA, secara aktif mengajukan modernisme pasca Perang Dunia II dengan hiasan perkembangan teknologi progresif. Namun ledakan kapitalisme sejak eksplorasi minyak bumi dan pengembangan mekanika modern ini tetap mengalami krisis silih berganti per dasawarsa, yakni gelembung keuangan dalam lembaga-lembaga kapitalis perbankan dan pasar saham. Selain itu, ketika modernisme diterapkan secara fungsional, terutama dalam arsitektur, keyakinannya ditekukkan ketika kota-kota pencakar langit berubah menjadi perkampungan kaum miskin kota dan beberapa bangunannya dihancurkan. Namun pada umumnya, kapitalisme tetap mengesahkan seni dan ilmu yang mengabaikan manusia, tidak mengulas penderitaan yang dialami manusia dalam kapitalisme. Kapitalisme dengan seni modernnya bertahan secara dingin di atas ironi ini dan pertanyaan serius manapun.

Meskipun demikian, perubahan ideologi yang mendasar adalah krisis kepercayaan pada konsep kemajuan kapitalisme itu sendiri dan postmodernisme adalah salah satu hasilnya. Unsur irasional dari pemikiran borjuasi ini menantang dominasinya karena peristiwa penting selama tiga dasawarsa sebelum tahun abad ke 21: berakhirnya ledakan ekonomi pasca Perang Dunia; kekalahan perjuangan kelas pekerja dan runtuhnya Uni Soviet yang revisionis.
Oleh karena itu, beberapa pemikir postmodernis seperti Derrida, berkecil hati terhadap dunia yang tak berpengharapan ini dan menyerukan kembali pada Marxisme sebagai teori radikal. Yang lainnya seperti Rorty secara bersemangat memeluk realitas reaksioner baru yang mendesak kita untuk menerima Amerika modern sebagai teladan dari bentuk masyarakat terbaik,[6] dan mengungkapkan harapan bahwa Amerika akan terus memberi contoh toleransi dan persamaan. Dengan demikian, kita mendengar nada tentang “krisis postmodernisme”. Dalam hal ini, Jean Baudrillard mengungkapkan kepada para pengikutnya tentang kegagalan postmodernisme sebagai pandangan dunia: Postmodernisme adalah kemunduran. Ia adalah tahap paling merosot, artifisial dan ekletik. Ia tak bermakna. Kita mustahil mendefinisikan apa yang sedang terjadi saat ini. Ada kekosongan dari apa yang saya analisa.[7]

2. Kritik atas Postmodernisme: Idealisme versus Materialisme Dialektik
Lantaran fosil-fosil postmodernisme masih menarik perhatian, diangkat dan dibicarakan di dunia akademis sebagai tempat student mencari pengetahuan ilmiah, maka kritik-kritik terhadap postmodernisme harus diungkapkan. Kritik ini sepenuhnya bertolak dari materialisme historis dan dialektika karena postmodernisme sendiri menyerang secara kritis dasar-dasar sosialisme ilmiah ini. Metode ini juga bertujuan memahami secara jelas apa itu sosialisme ilmiah karena kritik postmodernisme sering kali mengaburkan pandangan sosialisme ilmiah di khalayak pembacanya atau dengan sengaja mengabaikan konsep-konsep dasarnya.

Seperti diabstrasikan sebelumnya, salah satu dasar kritik postmodernisme terhadap Marxisme adalah penolakannya atas kemampuan bahasa dalam merepresentasikan realitas. Para pemikir postmodernis menemukan metodenya dalam kritik atas “strukturalisme” dari ahli bahasa Ferdinand de Saussure. Saussure berupaya memahami struktur bahasa dengan mengungkap hubungan antara dunia dan pikiran yang menandainya. Dia mengungkap otonomi relatif dari struktur bahasa dari dunia yang dibahasnya, karena sifat bahasa yang arbiter.

Oleh karena itu, semua “teks” terbentuk dari metafor atau alat linguistik lainnya yang menyembunyikan makna sebenarnya. Tugas pemikir kritis adalah membongkar teks ini dan mengungkap makna internalnya melalui “pembacaan tertutup”. Seperti dokter ahli jiwa yang memeriksa kejangan pasien untuk mengungkap sebab mendasar dari penyakitnya, Derrida memandang “teks marjinal” sebagai titik pijak penting untuk kritik terhadap serangkaian ide. Derrida memberikan ulasan literal terhadap pelbagai aspek budaya Barat. Dia tidak meletakkan kebenaran absolute yang disembunyikan oleh bahasa. Seperti semua pemikir postmodernis, ia menolak konsep ideologi.

Bilamana Derrida mengingkari bahwa ada dunia yang bisa diketahui di balik teks, maka Foucault melihat sebuah refleksi hubungan kekuasaan dari masyarakat dalam makna-makna tersembunyi yang diungkap melalui dekonstruksi. Para pemikir postmodernis berpendapat bahwa setiap meta wacana atau meta narasi akan melegitimasi kekuasaan dan penindasan politiknya. Rasionalitas Pencerahan (Englightment) mengungkapkan sejumlah meta wacana ini: liberalisme, Marxisme, fasisme, filsafat Hegelian, Darwinisme Sosial, dsb. Menurut mereka, tugas intelektual adalah mengkritik rasionalitas itu sendiri sehingga pelanggaran kekuasaan tidak terulang.

Postmodernisme pada dasarnya memandang masalah “kekuasaan” (power) sebagai penindasan sosial yang merujuk pada pemikiran Nietzsche. Dia memandang bahwa perjuangan kelas hanyalah salah satu ekpresi dari perjuangan yang lebih mendasar di dalam masyarakat, yakni “will to power”. Foucault menolak untuk memberikan penilaian antara represi dan kekuasaan yang dilawan oleh gerakan sosial. Dia menolak menulis “sejarah” dan lebih memilih “geneologi”, misalnya kemajuan yang tidak mendorong kemajuan, hukum atau keharusan.

Namun, di dalam perspektif postmodernisme, ada kesepakatan umum, yakni kritik terhadap Marxisme. Secara mendasar, para pemikir postmodernis menolak kemungkinan mengetahui dunia obyektif. Ketika mereka memahami dunia sosial, semua menolak historisitasnya.

Setelah mengetahui substansi pemikiran postmodernis ini, kritik bisa dikemukakan dari materialisme dialektik. Materialisme dialektik sesungguhnya tidak bertolak dari filsafat pemikiran itu sendiri, tapi dari perkembangan ilmu alam dan sejarah masyarakat. Menurut Marx, Hegel adalah pemikir pertama yang mengungkap signifikansi dialektika sebagai sistem pemikiran dalam memahami realitas sosial dan alam. Namun, dialektika Hegel mengacu pada pikiran atau ide dari manusia abstrak. Dalam hal ini, Marx menegaskan bahwa dialektika itu sesungguhnya terdapat di dalam sejarah masyarakat dan alam, sementara dialektika pikiran itu sendiri adalah refleksi dari dialektika realitas itu sendiri. Lantaran Hegel tidak beralih dari bidang ide dan hanya memandang sejarah masyarakat sebagai realitas yang tak beraturan (chaos), maka dia merefleksikan bahwa sejarah masyarakat ini sesungguhnya adalah dialektika ide: tesis—anti tesis, sebagai perkembangan diri dari ide absolut. Dengan demikian, Hegel tidak pernah memikirkan hukum-hukum internal dari sejarah masyarakat itu, tapi menyelesaikannya sebagai perkembangan ide absolut.

Dengan mengakui dialektika dalam sejarah masyarakat dan alam, maka Marx mencoba mengungkap konsep-konsep materialis tentang sejarah sebagai kritik terhadap filsafat Hegelian dan kritik atas materialisme Feuerbach yang masih mengabstraksi manusia sebagai sosok individual. Materialisme historis inilah titik pembeda pendirian Marx dan Engels dengan idealisme Jerman dan idealisme secara umum.

Saya sudah mengungkapkan kritik panjang lebar di dalam buku saya (Materialisme Historis: Ilmu Sejarah Masyarakat) tentang persoalan pokok dalam postmodernisme, seperti idealisme-skeptis Kantian yang ada didalamnya: das ding an sich, bahwa benda dan hal ihwal tidak bisa diketahui secara obyektif, dan masalah skriptualisme: memahami realitas dari teks saja dan sebagai masalah bahasa dalam linguistik dan semiotika. Dalam idealisme-skeptis Kantian, subyek tak mungkin memahami obyek, namun Hegel kemudian menentangnya bahwa subyek bisa mengetahui obyek sesuai dengan perkembangan pemikirannya. Marx kemudian mengambil analogi tentang hakekat air sungai. Hakekat air sungai adalah kondisinya yang nyata dalam perjalanan waktu, dulu air sungai di Rhineland jernih dan masih liar, namun kemudian tercemar limbah pabrik setelah industrialisasi di Jerman.

Dalam makalah ini, saya hanya mengungkap kritik lebih lanjut tentang skeptisisme terhadap realitas obyektif, misalnya hukum gerak yang nyata dan sudah ditemukan. Jutaan orang di dunia ini bepergian dengan pesawat udara. Pesawat ini digerakkan oleh mesin yang didasari hukum aerodinamika yang melawan gravitasi. Ilmu ini telah mengungkap hukum alam yang obyektif. Namun, para pemikir postmodernis yang tidak percaya pada kebenaran obyektif dan menganggap hukum-hukum ini hanya sebagai metafor yang tidak mengacu pada realitas sebenarnya, mungkin bisa berpikir bahwa metafor yang sama bisa didapatkan dalam puisi tentang bidadari yang terbang ke bulan. Akan tetapi, mereka hanya bisa terbang ke Amerika Serikat dengan menggunakan pesawat udara, bukan dengan impian tentang sayap bidadari itu.

Materialisme dialektik menentang skeptisisme terhadap fakta sejarah yang menunjukkan bahwa manusia sudah menguasai hukum alam dengan pengetahuan yang lebih akurat. Kemajuan kekuatan produksi dari zaman primitif sampai masyarakat sipil modern, berlangsung karena interaksi pikiran manusia, kesadaran dan dunia obyektif. Jika dunia obyektif ini tak bisa diketahui melalui panca indera yang berpusat di otak, maka kemajuan ini tidak akan pernah tercapai. Namun, sebelum penolakan postmodernis terhadap kebenaran obyektif ini, Althusser sudah mengkritik ilmu pengetahuan (science) yang menjadi pelayan dunia nyata. Ilmu harus dipisahkan dari bidang praktek sosial. Jika dunia nyata bukan titik pijak yang sah untuk menciptakan pengetahuan teoritis, kemudian apa itu ilmu? Menurut Althusser, ilmu hanyalah soal membaca (reading) dari ilmuwan yang dingin, jadi dalam ruang idealisme.


Althusser kemudian menyusun trik penting bagi seorang Marxis dalam memisahkan teori dari dunia nyata dan tidak memberikan panduan apapun tentang bagaimana teori diterapkan dalam praktek di dunia ini agar bisa mengubahnya. Akhirnya, dia kembali pada idealisme rasionalis yang memandang kebenaran sebagai serangkaian logika internal yang koheren di dalam praktek. Menurut Lacan, Althusser meminjam ide bahwa dunia nyata tidak bisa diketahui secara sadar sehingga orang terjerat dalam pemahaman imajinatif tentang dunia dan kedudukan mereka di dalamnya.

Althusser sesungguhnya mencoba mencari materialisme historis non-Stalinis dengan menolak Hegel. Tidak seperti Marx, dia sesungguhnya tidak menolak idealisme Hegel, namun hanya menolak sejarah komprehensif dan sistemik dari Hegel. Dia akhirnya menghancurkan koherensi Marxisme: konsep materialis yang mendasar bahwa manusia yang sadar adalah sosok aktif dari perubahan sosial. Menurut hemat saya, pandangan Althusser memang a-historis dan kembali juga pada skriptualisme sebagai praktek ilmiah yang absolut, karena dia hanya mengusulkan pembacaan atas teks Marx, dan teks apapun sebenarnya. Pada titik ini, dia sesungguhnya pemikir transisional dari postmodernisme.

Akhirnya dari dua point kajian ini, saya menyimpulkan bahwa postmodernisme adalah perangkat ideologis dari seksi borjuis kecil Prancis, atau kreasi kapitalisme Prancis untuk melawan kebangkitan perjuangan kelas pekerja yang diminati kaum muda radikal dan berbasis pada “ilmu sosial klasik”: Marxisme. Selain itu, ia adalah pengingkaran dari elit Partai Komunis Prancis sendiri atas konsep-konsep dan pendirian revolusioner dalam Marxisme. Dalam siklus krisis kapitalisme, ia menjadi penghibur bagi kelas menengah: intelektual yang pro kapitalisme dan imperialisme dan mengabaikan bencana sosial dan dampak lingkungan dari krisis ini. Jadi, ia bisa menjadi alibi intelektual di tengah penindasan struktural kapitalisme.

Mengingat bukti sejarah bahwa Sosialisme Ilmiah telah memandu revolusi sosial dan pembebasan kelas-kelas tertindas di kawasan Asia dan Amerika Latin serta Afrika, maka gerakan sosial di dunia ketiga dalam kondisi ekonomi-politik dan ilmu pengetahuan yang tak imbang dengan negara-negara imperialis, berkepentingan untuk bersandar kembali pada dialektika dan materialisme historis. Selama gerakan sosial masih terperangkap dalam idealisme, maka ia tidak akan pernah bisa memahami kondisi masyarakatnya dan konsekwensinya tidak pernah mampu mengajukan solusi bagi perjuangan revolusioner melawan kapitalisme dan imperialisme. Perangkap inilah yang secara tersembunyi dipasok dalam kesadaran ilmiah dengan mengingkari perspektif perjuangan kelas dalam sejarah masyarakat. Borjuasi dan kelas menengah di negara-negara imperialis tentu akan ketakutan melihat kebangkitan revolusioner dari masyarakat dunia ketiga, karena ini berarti menghapuskan pengerukan sumber alam dan tenaga kerja dunia ketiga. Pendek kata, materialisme historis dan dialektika alam adalah ilmu yang bermanfaat bagi pembebasan manusia dalam kontradiksi internal dan eksternalnya. Ilmu sejarah manusia dan alam ini adalah resolusi konflik antara manusia dan alam serta antara sesama manusia–resolusi yang sejati dari perpecahan antara eksistensi dan hakekat kehidupan, antara obyektifikasi dan konfirmasi diri, antara kebebasan dan keharusan, antara individu dan spesies.

[1] Istilah Dunia Ketiga ini pertama digunakan oleh Frantz Fanon, seorang ahli psikologi dan politisi keturunan Prancis. Dia mengkajinya dalam konteks Perang Dingin, yakni pertikaian dua blok: blok Dunia Pertama dipimpin AS, dan blok Dunia Kedua dipimpin Uni Soviet Rusia. Dalam dua blok ini, Negara Ketiga mencakup negara-negara yang kurang berkembang secara ekonomi dan teknologi. Negara-negara Dunia Ketiga ini terletak di Amerika Latin, Afrika dan Asia. Secara politik, mereka pada umumnya tidak bersekutu dengan kedua blok. Beberapa negara kemudian segera mencapai tingkat negara-negara industri baru, namun yang lain tetap tak mampu berkembang menjadi negara industri maju. Republik Rakyat China sendiri mengambil langkah restorasi kapitalisme setelah kematian Mao Zedong pada tahun 1976.

[2] Vichy adalah kota besar di Prancis Tengah. Setelah Prancis dikalahkan Jerman pada tahun 1940, selama Perang Dunia II, Vichy menjadi wilayah pemerintahan Prancis yang berkolaborasi dengan Jerman di bawah pimpinan Marshal Henri Pétain dan wakilnya Pierre Laval. Rejim Vichy adalah pemerintahan fasis yang bersekutu erat dengan Jerman, namun menjalankan kekuasaan di kawasan Prancis yang tidak diduduki Jerman dan kawasan kolonial sampai akhir tahun 1942, ketika Jerman menduduki semua kota metropolitan Prancis.

[3] C. Horrocks and Z Jevtic, Baudrillard for Beginners, Cambridge, 1996.

[4] S. Timpanaro, On Materialism, London 1975. Lihat juga S. Clegg “The remains of Louis Althusser”,International Socialism, No 53, London, 1991.

[5] F. Jameson, Postmodernism or the Cultural Logic of Late Capitalism, London, 1991.

[6] Bandingkan, R.Rorty, Contingency, Irony and Solidarity, Cambridge, 1989.

[7] Dikutip dalam C. Horrocks and Z Jervin, op cit.

OLEH : HIDAYAT PURNAMA

sumber utama: fmdmakassar.blogspot.com

Selasa, 25 Februari 2014

Puisi "Sajak si miskin Dan si kaya"

Oleh: Jamezz dapo siin

Di tanah inilah aku berpijak
Tanah kering bekas jajahan belanda
Tanah yg hampar akan keadilan
Tanah orang pecundang
Aku tersenyum menyapa pagi
Sorotan mentari menyambut ku
Hingga aku tersadar..ohhh
Ternyata aku di negeri asing.

Aku berasal dari tanah miskin
Tanah orang-orang tak berdasi
Tanah orang-orang yg tersingkir dari
Sarjana-sarjana kantor.

Kamu berasal dari tanah orang kaya
Tanah orng-orang berdasi,
Berpangkat,yg menang dalam pergulatan
Nyenyak dalam selimut,bahagia di atas tangisan rakyat jelata
Inilah sajakku….

Sajak si miskin Dan si kaya
Seperti Bawang merah vs bawng putih
si kaya makin kaya,si miskin makin miskin
yg tak pernah terpisah dalam goresan realita manusia.


KOMPAK KERAKYATAN- Komite Persiapan Sentra Gerakan Muda Kerakyatan (KP-SGMK)

Puisi "SEKEDAR...."

SEKEDAR.......
oleh: Mogatuah purba

Berjalan di jalan yang setapak....
Yang tergilas majunya pendidikan..
Katanya...
hahahaha
Sambil menyaksikan orang-orang berseragam memasuki gerbang sekolah yang didalamnya berkibar warna usang merah putih...
mereka berlari mereka takut terlambat...
atau sekedar takut mendapat tempat duduk paling belakang...

berlomba....
berpacu dan saling mengalahkan..
itukah yang diajarkan oleh orang-orang yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa??
inilkah yang didapatkan dari setengah perjalanan hidupmu??
mereka diajarkan menjadi kuda pacu atau sekedar macan dihutan yang siap sedia menerkam mereka yang lemah dan tak berdosa??

tentu di luar gerbang masih banyak anak-anak sang pertiwi yang mengutuk takdirnya...
mereka merasa kurang beruntung karena tak bisa melaksanakan upacara bendera setiap hari senin nya....
mereka menjadi penjual nuanyian mimpi di lampu merah, atau sekedar mengumpulkan botol plastik bekas berisi harapan besok tidak memakan nasi basi lagi...

sekedar...
terpampang poster2 kampanye berisikan harapan semu para caleg..
dan melintaslah mobil emas milik mereka...
terlihat wajah mereka yang berwibawa, atau sekedar memikirkan cara berlomba juga??

apa ini yang dihasilkan rumah-rumah pendidikan kita??
melahirkan penindas-penindas baru bagi rakyatnya atau sekedar menjadi atau sekedar menambahkan gelar yang panjang di belakang nama mereka??
hahaha

adakah yang melawan??
adalah yang berontak dan tak patuh??
hahahaha
ataukah mereka hanya berdiam diri dan mendengar ceramah dari dosenya,
atau sekedar duduk didekat kamar mandi yang tak terurus ...
dan dianggap sampah!!!

sekedar, hanya sekedar melihat matahari pagi ini.


Anggota: Gerakan Mahasiswa Pro Demokrasi - Komite Persiapan Sentra Gerakan Muda Kerakyatan

Senin, 24 Februari 2014

"Ucapan Terima Kasih Untuk Marx"


"Ucapan Terima Kasih Untuk Marx"

Masih duduk di tempat dimana kami selalu berteduh
Menyandarkan tubuh yang lelah tapi tak pernah menyerah
Tempat dimana kami menyusun gerak langkah di esok hari
Di mana sesekali kuberfikir akankah semuanya terus seperti ini


Kupercaya padanya si pembawa ajaran
Ku masih setia mengikuti pedoman-pedomannya
Kini mungkin ia tenang atau mungkin bahkan terbelenggu dalam penyesalan
Sesal karena dunia yang masih saja gelap
Gelap akan penghisapan, gelap akan penindasan


Kini kumandang Adzan mulai terdengar di sudut-sudut kota
Malam mulai menyelimuti kota tua dimana kini ku berada
Dingin malam seakan sudah bersahabat denganku
Dingin yang tak mampu lagi membekukan tulang-tulang
yang memang sudah sedari dulu terbakar
Terbakar api kemarahan dan benci akan kondisi hari ini
yang tak akan pernah lenyap jika tak ada perlawanan


Dalam sunyi malam, kami berdoa
apa yang menjadi cita-cita kami, apa yang menjadi solusi permasalahan rakyat
semoga tak bersifat utopis belaka


Terima kasih kami ucapkan padamu Tuan Marx
yang telah menjadi guru bagi kami kaum pelopor, kaum proletariat, kaum buruh
dan kaum miskin kota
Terima kasih atas strategi-strategi dan pedoman-pedoman dalam kitabmu
walaupun kitab asli dan tulisan tangan mu sendiri susah kami temukan
dan maafkan kami jika bumiku Indonesia
tidak terlalu bersahabat ketika mendengar namamu dan ajaranmu
namun kami percaya semua itu adalah kontradiksi seperti yang kau ajarkan
dan kami pun percaya akan hukum dialektikamu yang pastinya semua akan berubah


Sekali lagi kami ucapkan Terima kasih
dan sampaikan pula terima kasihku pada kawan-kawanmu

Kami berjanji akan terus di garis perjuangan
kami akan melanjutkan perjuangan kawan-kawanmu
dan menggapai cita-citamu, cita-cita kawanmu dan cita-cita kita bersama
cita-cita rakyat pekerja, cita-cita rakyat tertindas.

FIGHT FOR SOCIALISM
REVOLUTION FOR SOCIALISM

22 Februari 2014 oleh : Abdul Rahman/Ame’ GPMD (anggota komite Persiapan Sentra Gerakan Muda Kerakyatan) KP-SGMK-GPMD

"Curhatan hati Sang Gembel"



ku melangkah diatas dunia yg tak menganggapku ada,
alunan sentakan kaki ini berjalan tanpa arah,
di tengah-tengah mereka yg berdasi dan memakai sepatu elit,
beda dengan diri ini yg hanya memakai baju compang camping,
aku juga mau seperti mereka tapi itu hanyalah mimpi.

ku tak pernah merasakan bangku pendidikan,
kata mereka aku ini seorang anak yg patah pulpen,
dan itu benar.



usaha kami adalah harapan yg tak pasti,
adakah panji untuk kami?
relakah mereka berbagi untuk kami?

ku rindu kasih Tuhan!!!
ku rindu sosialisme!!


Oleh : Chairul Red Card.

Sabtu, 22 Februari 2014

Cinta dan Revolusi

Bersamamu dan Revolusi:
mimpi menjadi nyata,
dari hasil perjuangan,
hasil kerja,
agar menjadikan ada,
dengan hati murni.

Bersamamu dan Revolusi,
kembali berjuang dan bekerja: m e l a w a n
karena kerja perlawanan saja lah yg menyempurnakan manusia', bukan yg lainnya.

Bersamamu dan Revolusi
hidup dalam kenyataan, bukan keinginan
menghimpun pahit-manis menjadi kekuatan melaju
Tak ada tempat bersembunyi dari kemajuan,
ia menuntut, menghardik, menyeret kesadaran palsu; musnah tinggal sejarah.

Tak ada yg persis sama; karena memang tak pernah sama.
Sehingga pilihan yg ada tinggal kutukan atau toleransi; penyesalan atau penyelesaian yg tak (perlu) berkesudahan; kontradiksi atau selimut kedamaian palsu.
Setiap jengkalnya menuntut nyali, yg berharga dipertaruhkan.

Hidup untuk kebebasan yang baik hati adalah Revolusi yang harus kita pintal dengan keberanian dan kejujuran.
Kita bukan ternak;
Kita otak yang berontak
terhadap semua kepalsuan, pamrih, kesombongan, kepengecutan.
Kita mau bergandengan tangan dengan kebebasan, berpelukan dengan kebahagiaan sejati: milik semua orang.
Kita tak hidup untuk kita
tapi untuk orang-orang yg berjuang.

Satu waktu, kita temukan hasrat cinta untuk seseorang di sana,
lain waktu ia menghilang,
oleh sebab-sebab yang baru sanggup dinilai setelah kepergiannya.
Kadang, ia menyakiti dengan perihnya, tapi tak jarang ia melembutkan dengan sedikit
saja bahagia.

By: yg masih hidup dan tetap berlawan


Jumat, 21 Februari 2014

Perempuan Karir Dimata Kita

Oleh ; Desi Natalia Mebang
  • Perempuan karir  “eksploitasi perempuan”
Wanita derajatnya lebih rendah dari laki–laki, ini anggapan umum yang berlaku sekarang mengenai kedudukan kaum hawa didalam masyarakat. Anggapan ini tercermin dengan prasangka– prasangka seperti "seorang istri harus melayani suami” “ perempuan tak pantas menjadi pemimpin “, “ setinggi apapun tingkat pendidikannya anak perempuan kalau sudah lulus, terus nikah, paling didapur saja”. lalu prasangka-prasangka ini mendapat penguatan dari struktur moral masyarakat yang terwujud dalam peraturan-peraturan agama dan adat. Bahkan dari zaman nenek-moyang kita, keadaannya memang sudah begini. Namun dengan perkembangan zaman, semakin terbuka lebar peluang bagi perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya. Kita banyak melihat perempuan–perempuan yang bekerja diluar rumah sebagai “wanita karir“, menjadi seorang wanita karir sudah menjadi hal yang lumrah di zaman modern seperti sekarang ini dan mayoritas perempuan beranggapan, perempuan tanpa karir, ibarat ikan tanpa air, dan ketinggalan zaman.  Keadaan kaum perempuan saat ini, tak seperti pada saat awal fase feodalisme kala itu, yang dimana perempuan semakin tidak mampu bergiat dalam lapangan produksi, maka iapun semakin tergeser ke pekerjaan-pekerjaan domestik (rumah tangga). Dan pada saat perempuan telah semakin terdesak ke lapangan domestik, pada saat itulah patriarki mulai menampakkan batang hidungnya.

Munculnya wanita karir  ditengah pandangan masyarakat saat ini, yang memandang“perempuan berderajat lebih rendah daripada laki-laki” dan lain–lainnya itu, terkait kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat, hal ini terjadi karena kaum perempuan sendirilah yang mendobrak pandangan itu dari dirinya sendiri, sehingga ia dapat keluar dari batas materilnya, dan ini merupakan hal yg baik bagi kaum perempuan walaupun hal ini tidak dapat menghilangkan watak patriarki. Selain di tindas oleh sistem kapitalisme, budaya patriarki yang menganggap kedudukan perempuan tidak sama dengan laki-laki; bahwa kaum perempuan secara biologis memang lebih lemah, adalah penghambat historis kemajuan tenaga produktif perempuan. Usia patriarki ini sudah ribuan tahun lamanya, ditandai sejak berakhirnya sistem komunal primitif[1]. Sehingga tak heran jika kaum perempuan sendiri sering kali tidak sadar dan pasrah, bahkan membela anggapan bahwa ketidaksetaraan gender adalah takdir biologisnya sebagai perempuan. Contoh nih, banyak kasus yang sering kita jumpai, para “ wanita karir “ memikul beban ganda , disatu sisi ia harus bekerja entah dimanapun itu setelah pulang kerja ia harus mengurusi suami, anak, rumahnya, perempuan bahkan harus menjadi “superwoman” dengan berperan ganda sebagai istri, ibu dan wanita karir. Di satu sisi, para wanita karir itu berjuang mengejar karirnya, di sisi lain mereka berjuang untuk mendapatkan kembali kehidupan mereka sebagai perempuan. Dan di satu sisi lain ada kelompok perempuan yang mengklaim mendapatkan kebebasan itu, (yang dimaksud disini kaum perempuan yang memaknai kebebasan dalam berekspresi, tetapi malah menjadi liberal), padahal mereka tidak lebih hanya sebagai alat jual-beli produk. Perempuan-perempuan ini tidak sungkan-sungkan memanfaatkan kemolekan tubuhnya untuk keperluan iklan komersial, menjual senyumnya saat bekerja sebagai sales dan menggunakan uang gajinya dari pekerjaan itu hanya untuk membeli barang-barang yang diperintahkan “harus mereka miliki”. Pendek kata, kaum perempuan yang sudah menjadi budak entitas komersil yang sebenarnya tidak membuat hidup kaum perempuan lebih sejahtera, bahkan rendah dimata masyarakat.
  • Perempuan dan perjuangannya
Hal diatas kaum perempuan massa kini malah memaknai kebebasan dirinya, malah menjadikan dirinya sangat liberal, berbeda dengan kisah perjuangan pembebasan kaum perempuan feminisme yang menuntut kebebasannya untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan setara, begitu juga dikesehatan, bahkan diranah politik , kaum perempuan menuntut adanya partisipasi perempuan dalam ranah perpolitikan,  seperti sejarah gerakan kaum perempuan internasional yang menuntut hak pilih di Amerika dan di Inggris pada tahun 1890 dan 1920 Feminisme gelombang pertama ini mewakili feminisme terorganisir dengan penekanan pada reformasi pada hukum keluarga dan peluang ekonomi [2].Pergerakan ini juga merupakan kelahiran gerakan feminisme pertama, yang pada awalnya dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet di Middelburg, Belanda, yang membentuk perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan, mendorong perhatian dunia terhadap feminisme menjelang abad 19. Perempuan-perempuan Eropa mulai mengkampanyekan Universal Sisterhood. Pergerakan perjuangan perempuan yang semula berpusat di Eropa pun kemudian berpindah ke Amerika Serikat dan berkembang pesat sejak terbitnya karya John Stuart Mill yang berjudul The Subjection of Women (1869). Dan untuk Indonesia sendiri, dari sejarah gerakan perempuan di Indonesia, awal gerakan pertama itu massanya R.A Kartini yang ia memandang pendidikan bagi kaum perempuan sebagai salah satu syarat, penting untuk memajukan rakyatnya, karena ibu yang terpelajar bisa diharapkan kemampuannya dalam mendidik anak-anak lebih baik; tidak hanya perempuan kalangan miskin, perempuan kalangan atas pun harus diberi kesempatan menjadi pencari nafkah sendiri, dan mencari pekerjaan yang cocok bagi mereka, misalnya menjadi perawat, bidan, dan guru; poligini harus dihapuskan karena merendahkan martabat kaum perempuan.

sebagian besar unsur gerakan perempuan Indonesia pada masa sebelum perang. Keanggotaan gerakan berasal dari kalangan atas. Perjuangan untuk pendidikan kaum perempuan dan reformasi perkawinan merupakan masalah pokok. Seperti halnya dengan organisasi-organisasi perempuan umumnya ketika itu, baik di Eropa maupun di kebanyakan negeri Dunia Ketiga [3], persoalan yang menjadi perhatian perempuan Indonesia adalah yang lebih berkaitan langsung dengan perempuan kelas atas. Sesudah berhasil mengatasi berbagai kesulitan yang besar, akhirnya R.A Kartini berhasil membuka sekolah yang pertama untuk gadis-gadis pribumi, di pekarangan rumah orangtuanya. Kartini bukanlah satu-satunya perempuan yang berjuang untuk pendidikan kaum perempuan pada zamannya. Beberapa butir dari cita-cita perempuan yang dinamis, dan dalam banyak hal juga berjiwa pemberontak ini, diikuti oleh tokoh-tokoh perempuan lainnya, terutama cita-citanya tentang pendidikan bagi kaum perempuan. Di Jawa Barat, Dewi Sartika menyebarkan pandangan yang sama, dan di daerah Minangkabau, Sumatra Barat, Rohana Kudus berbuat serupa pula. Meskipun demikian, Kartini yang menjadi simbol gerakan perempuan Indonesia, yang diperingati hari lahirnya, 21 April. Selanjutnya gerakan perempuan di Indonesia pun bermunculan, perempuan yang pertama, Poetri Mardika didirikan tahun 1912 , yang ada hubungannya dengan organisasi pertama di Indonesia Boedi Oetomo, dan bermunculan perkumpulan-perkumpulan perempuan dengan nama-nama "Putri Sejati" dan "Wanita Utama."[4] Dan masih banyak lagi organisasi–organisasi perempuan lainnya, namun sebelum organisasi-organisasi nasional ini berdiri, Kartini sudah sering mendengungkan gagasan-gagasan nasionalisnya.

Namun gerakan perempuan yang paling besar dan paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia adalah Gerakan Wanita Indonesia atau GERWANI, dan dalam kurun waktu itu GERWANI mengambil peranan sangat aktif dalam kampanye-kampanye untuk pemilihan umum parlementer, dan berhasil pula: empat orang anggotanya terpilih dalam pemilihan umum 1955 itu. Para aktivis GERWANI melakukan kegiatan besar-besaran pemberantasan buta huruf di kalangan perempuan, sekaligus mendidik para peserta mengenai masalah-masalah politik yang hangat pada masanya, termasuk masalah-masalah perempuan. Bersama dengan kaum perempun dari organisasi-organisasi lain, mereka saling membantu menyelenggarakan berbagai macam kegiatan, baik di tingkat kampung, kota,maupun provinsi, mengenai soal-soal seperti kesejahteraan keluarga, kesehatan, kebersihan, dan juga soal-soal yang lebih bersifat "feminis" seperti pelacuran, perkawinan anak-anak, dan perdagangan perempuan. Dan masih banyak lagi yang dilakukan oleh GERWANI, walaupun pada saat Suharto menjadi presiden organisasi perempuan “GERWANI” yang sangat erat kaitannya dengan PKI pada massa itu, dan ikut diberangus pula oleh Suharto pada saat pemerintahannya bersamaan dengan pembantaian PKI[5].

  • Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?
Dengan melemahnya gerakan - gerakan yang ada hari ini, mau itu buruh, petani, nelayan, KMK, mahasiswa, pemuda, perempuan dan sektor – sektor lainnya. Dan untuk kondisi digerakan perempuan hari ini baik itu feminisme liberal, radikal, sosialis, dan masih banyak lagi alirannya dan dengan organisasinya masing – masing. Namun menurutku untuk di Indonesia sendiri dengan kondisi gerakan di beberapa tahun terakhir belum ada gerakan perempuan yang benar – benar massif perjuangannya, apalagi setelah di brangusnya GERWANI pada rezim Soeharto, setelah itu tidak ada organisasi perempuan yang benar – benar bisa, baik itu dari kepemimpinan program , bahkan dari program – programnya sendiri terkhususnya yang mengatakan dirinya Feminisme Sosialis, program – programnya kebanyakan hanya membahas atau isu yang sering diangkat masalah “kekerasan seksual” dan yang berhubungan dengan kekerasan terhadap perempuan. Belum ada yang mampu menciptakan atmosfer perjuangan di Indonesia yang lebih progresif, bahkan tidak ada identitas yang membedakan mana organisasi yang feminisme sosialis, mana yang feminisme liberal, radikal bahkan dengan LSM, karena dari segi program tidak ada yang membedakan, semuanya bicara masalah kekerasan seksual, kebebasan seksual, masalah LGBT ( lesbi, gay, bioseksual, transeksual) , ya memang benar ini juga merupakan bentuk pembebasan yang harus diperjuangkan oleh kaum perempuan bahkan laki – lakipun wajib terlibat, namun menurutku tidak hanya harus berkutat di permasalah ini yang lama kelamaan menjadikan perspektif kita yang mengatakan feminism sosialis, malah lebih mengarah pada perspektif liberal dan radikal.  Satu – satunya hal yang dapat membedakan yaitu dari segi program.

Bagi kita hal yang bisa dilakukan saat ini sekaligus membedakan kita dengan kaum liberal dan radikal ialah mendorong isu-isu perempuan agar menjadi perhatian publik; memaksa pemerintah untuk membuat rekomondasi-rekomendasi rancangan kebijakan yang ditujukan untuk memajukan kesetaraan perempuan dalam bidang sosial, politik dan ekonomi serta memperluas organisasi gerakan perempuan yang berspektif social di Indonesia. Yang dalam tahap perjuangan, bicara masalah tuntutan adanya aturan mengenai diskriminasi, pelecehan seksual, serta kekerasan domestik. Lebih jauh lagi, untuk menjamin kesetaraan penuh antara perempuan dan laki-laki di tempat kerja adalah mengakui pekerjaan rumah tangga sebagai aktitivas yang produktif secara ekonomi, sehingga memberikan ibu rumah tangga hak untuk mendapatkan jaminan sosial[6]. Bahkan pada penghapusan budaya patriarki yang sudah sejak dahulu kala mengakar dimasyarakat kita.

Penulis Adalah: Biro Politik Komite Persiapan Sentra Gerakan Muda Kerakyatan (KP-SGMK)

catatan kaki:
[1] Lihat: The Dispossesion of Women, Pat Brewer, Resistance Book, 2000; diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Lilik HS, dengan judul Menyingkirkan Perempuan, terbit di PEMBEBASAN—tabloid PRD—sebanyak 5 edisi, pada tahun 2005.

[2] Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme.

[3] Kumari Jaya Wardena, Feminism and Nationalism in the Third World in 19th and early 20th Centuries ( The Haque: iss, 1982).

[4] Freede-de Stuars, op.cit.

[5] (Seri Bacaan Perempuan) [Sekolah Feminis] Sejarah Gerakan Perempuan Di Indonesia

[6] Perjuangan Pembebasan Perempuan dalam Revolusi Bolivarian Venezuela Diterjemahkan dari beberapa tulisan Sarah Wagner di www.venezuelanalysis.com